Pertanian dan pedesaan merupakan
satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Pertanian merupakan komponen utama yang
menopang kehidupan pedesaan di Indonesia. Apa yang terjadi di pertanian akan
secara langsung berpengaruh pada perkembangan pedesaan, dan juga sebaliknya.
Pertanian dalam hal ini tidak hanya sebatas pertanian dalam artian sempit,
namun dalam artian luas yaitu penghasil produk primer yang terbarukan. Dengan
demikian termasuk di dalamnya adalah pertanian tanaman pangan dan hortikultura,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Pertanian merupakan sektor yang
memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian. Peranan pertanian antara
lain adalah (1) menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan masyarakat
untuk menjamin ketahanan pangan, (2) menyediakan bahan baku bagi industri,
(3) sebagai pasar potensial bagi produk-produk yang dihasilkan oleh industri, (4)
sumber tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi pembangunan
sektor lain, dan (5) sebagai sumber perolehan devisa (Kuznets, 1964). Di
samping itu, pertanian memiliki peranan penting untuk (6) mengurangi
kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan, dan
(7) menyumbang secara nyata bagi
pembangunan pedesaan dan pelestarian lingkungan hidup.
1 Disampaikan pada Seminar Nasional ”Dinamika
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari
Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi
Rakyat” yang diselenggarakan oleh Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Departemen Pertanian. Pada tanggal 4 Desember 2007 di Bogor.
2 Staf Pengajar Departemen Agribisnis-FEM IPB
Sumbangan sektor pertanian terhadap
PDB memang cenderung turun, sesuai dengan semakin meningkat dan
terdiversifikasinya perekonomian Indonesia. Namun yang perlu diamati juga adalah peranan
pertanian dalam menyerap angkatan kerja.
Pangsa sektor pertanian dalam
penyerapan tenaga kerja ternyata masih yang paling besar. Dari kenyataan itu dapat
dilihat bahwa ada ketimpangan dalam struktur ekonomi Indonesia, di mana sektor yang
sudah mulai menyusut peranannya dalam menyumbang PDB ternyata harus tetap
menampung jumlah tenaga kerja yang jauh lebih banyak daripada yang sewajarnya
terjadi.
Pembangunan yang berlangsung selama
ini ternyata memang belum berhasil mengangkat petani dan pertanian kepada
posisi yang seharusnya. Kesenjangan kesejahteraan petani dibandingkan
dengan pekerja di sektor lainnya memang semakin melebar. Produktivitas usahatani dan
kualitas produk tidak menunjukkan perbaikan yang berarti. Produk-produk pertanian
semakin berkurang daya saingnya dibandingkan dengan negara-negara
tetangga.
Keterpurukan dan tidak berkembangnya
sektor pertanian ini memiliki dampak luas dan dalam bagi pembangunan
ekonomi dan pembangunan Indonesia secara keseluruhan. Tertinggalnya sektor
pertanian mengakibatkan pembangunan ekonomi dan pembangunan negara pada umumnya
tidak memiliki landasan yang kokoh dan mudah runtuh saat terjadi perubahan
keadaan. Dampak negatif nyata dari terpuruknya pertanian adalah: (1)
tingkat kemiskinan meningkat, (2) ketahanan pangan rendah, (3) ketergantungan pada
pangan luar negeri menjadi tinggi, (4) industrialisasi yang terjadi sangat
tergantung pada faktor produksi atau bahan baku
impor, (5) pengangguran di pedesaan
tinggi, (6) stabilitas keamanan rendah, (7) mutu kehidupan di pedesaan merosot, (8)
kualitas sumberdaya manusia menurun, (9) kualitas lingkungan dan sumberdaya
alam merosot, dan (10) kemampuan atau daya saing bangsa dan negara rendah.
Semuanya itu akan dapat dicegah apabila pemerintah memberikan prioritas dan perhatian
yang besar terhadap pembangunan pertanian dan pedesaan di Indonesia. Indonesia sulit
menjadi negara maju, modern, dan sejahtera jika segmen mayoritas dari rakyat
tetap hidup dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Segmen terbesar rakyat
dengan kondisi seperti ini berada di sektor pertanian dan pedesaan.
Permasalahan yang Dihadapi
Pertanian di Indonesia kondisinya
tidak homogen, baik antar tempat maupun antar komoditas. Pertanian di
Jawa memiliki karateristik yang berbeda dengan pertanian di Luar Jawa.
Demikian juga sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki karakteristik yang
berbeda dengan sub sektor perkebunan ataupun peternakan. Dalam sub sektor
yang sama pun belum tentu memiliki ciriciri yang juga sama. Pertanian yang
diusahakan oleh petani rumahtangga akan berbeda karakteristiknya dengan
pertanian yang dilakukan oleh perusahaan (enterprise). Motif menjalankan usaha
di sektor pertanian juga tidak homogen.
Ada petani yang menjalankan
usahataninya dengan tujuan utama pemenuhan pangan keluarga (subsisten), namun ada
juga petani yang mengelola usahataninya dengan sepenuhnya bermotif keuntungan
finansial. Kondisi yang beragam ini tentunya memiliki implikasi penting
bagi perumusan strategi, kebijakan, dan program pembangunan pertanian ke
depan.
Pembangunan pertanian dan pedesaan
perlu dilakukan secara paripurna, terintegrasi, dan sinergi. Setiap
unsur atau komponen yang menjadi landasan pertanian perlu dikembangkan dengan optimal.
Unsur-unsur pertanian pokok adalah (a) petani dan keluarganya, (b) sumberdaya alam,
(c) teknologi, (d) dan lingkungan sosial budayanya. Keempat unsur ini menjadi satu
kesatuan yang saling terkait dan mempengaruhi. Petani dan keluarga
petani serta generasi penerusnya tentunya perlu diletakkan sebagai unsur sentral yang
seharusnya memperoleh manfaat terbesar dari pembangunan pertanian. Kualitas petani
dan keluarganya perlu memperoleh prioritas agar mampu melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Tanpa
adanya perbaikan kualitas petani dan keluarganya, maka berbagai peluang
yang muncul dari proses pembangunan akan tidak mampu diraihnya. Apabila hal ini
terjadi berarti pembangunan sebagai proses yang memerdekakan rakyat telah gagal
mencapai tujuannya.
Akses petani terhadap sumber-sumber
produktif semakin terbatas. Pemilikan lahan semakin terbatas dari tahun ke
tahun. Sebagian besar petani di Indonesia dapat dikategorikan sebagai petani gurem,
dengan penguasaan aset produktif yang minimal dan jauh dari memadai untuk suatu
usaha yang layak bagi pemenuhan pendapatan keluarga. Dari keadaan ini tercermin
bahwa peningkatan kesejahteraan petani akan tidak mencukupi apabila hanya
mengandalkan pada hasil usahataninya. Perlu adanya kesempatan untuk memperoleh pendapatan
di luar usahatani. Upaya-upaya peningkatan pendapatan petani dari
usahatani yang diusahakan perlu ditambahkan dengan pendapatan yang dapat diperoleh
dari usaha atau bekerja di luar usahatani atau di luar pertanian. Itulah
sebabnya, pembangunan pertanian tidak dapat dilepaskan dari pembangunan pedesaan
dalam arti luas. Peluang-peluang ekonomi di pedesaan perlu lebih didiversifikasi
dan tidak hanya menggantungkan diri pada ekonomi usahatani.
Pada satu sisi lahan yang diusahakan
per petani semakin sempit, pada sisi yang lain kualitas lahan juga semakin
turun. Lahan yang diusahakan petani kualitas dan produktivitasnya juga semakin sulit
untuk ditingkatkan. Eksploitasi lahan yang berlebihan akhirnya berdampak nyata
pada produktivitas lahan yang semakin menurun. Keadaan yang sama dihadapi
oleh nelayan yang menggantungkan nafkahnya dari laut. Tanpa adanya
kebijakan-kebijakan yang bersifat pemihakan terhadap petani miskin, maka
pembangunan akan gagal mencapai tujuan asasinya, seperti yang diamanatkan oleh
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Peranan Sektor Pertanian Para pemikir ekonomi pembangunan telah
lama menyadari bahwa sektor pertanian memiliki peranan yang besar
dalam perekonomian, terutama di tahap-tahap awal pembangunan (Lewis, 1954;
Johnston dan Mellor, 1961; Kuznets, 1964). Sektor pertanian yang tumbuh dan menghasilkan
surplus yang besar merupakan prasyarat untuk memulai proses transformasi
ekonomi. Sektor non-pertanian, umumnya terlalu kecil untuk melakukan peranan itu.
Pertanian pertama-tama harus mampu mengatasi kendala pangan yang sering dihadapi
negara-negara berkembang. Selama kendala pangan ini masih ada, maka pembangunan
sektor non-pertanian akan terhambat. Setiap ada kenaikan di sektor
non-pertanian, maka permintaan pangan akan meningkat. Penawaran pangan yang
relatif inelastis akan menyebabkan harga pangan
meningkat yang pada gilirannya akan
mendorong naiknya upah di sektor nonpertanian.
Impor pangan merupakan salah satu
alternatif mengatasi masalah tersebut, tetapi keterbatasan devisa
menjadikannya alternatif yang mahal (Mellor, 1984). Oleh sebab itu, sektor pertanian yang
dinamis dan tumbuh dengan cepat merupakan kondisi yang diinginkan untuk mendorong
transformasi ekonomi(Timmer, 1988).
Pada masa awal transformasi ekonomi,
pertanian berperan penting melalui beberapa cara. Pertama, sektor
pertanian yang tumbuh cepat akan mampu meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan penduduk di pedesaan yang pada gilirannya dapat meningkatkan
permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor non-pertanian. Permintaan
yang tumbuh tidak saja terjadi bagi produkproduk untuk konsumsi akhir, tetapi juga
produk-produk sektor non-pertanian yang digunakan petani sebagai input
usahatani ataupun untuk investasi (Tomich et al, 1995).
Kedua, pertumbuhan sektor pertanian
akan mendorong pembangunan agroindustri. Agroindustri yang ikut
berkembang adalah industri yang mengolah bahan baku primer yang dihasilkan
pertanian, seperti industri pangan, tekstil, minuman, obat-obatan, dan juga
sekarang industri bahan bakar nabati. Di bagian hulu, agroindustri yang ikut tumbuh
adalah industri yang menyediakan input penting bagi pertanian, seperti industri
pupuk, obat dan pestisida, maupun industri mesin pertanian. Berkembangnya agroindustri,
juga mengakibatkan semakin tumbuhnya infrastruktur, pedesaan dan perkotaan,
serta semakin meningkatnya kemampuan manajerial sumberdaya manusia.
Pengalaman Korea dan Taiwan menunjukkan bahwa sektor pertanian dan agroindustri yang
tumbuh kuat dapat menjadi sarana penting bagi berkembangnya aktivitas-aktivitas
di sektor non-pertanian, seperti industri kimia, mesin, ataupun logam (Otsuka dan
Reardon, 1998).
Ketiga, kemajuan teknologi di sektor
pertanian yang diwujudkan dalam peningkatan produktivitas tenaga
kerja, menjadikan sektor ini dapat menjadi sumber tanaga kerja yang relatif murah bagi
sektor non-pertanian (Timmer, 1988). Keempat, pertumbuhan sektor pertanian yang
diikuti oleh naiknya pendapatan penduduk pedesaan akan meningkatkan tabungan.
Tabungan tersebut merupakan sumber modal untuk membiayai pembangunan sektor
non-pertanian (Mellor, 1973). Kelima, sektor pertanian yang tumbuh cepat dapat
menjadi sumber penerimaan devisa. Kontribusi devisa pertanian ini diperoleh melalui
peningkatan ekspor dan peningkatan produk pertanian substitusi impor. Devisa
dari pertanian ini menjadi sarana strategis bagi industrialisasi di suatu negara. Pertumbuhan sektor pertanian yang
cepat terutama disebabkan oleh intensifikasi di subsektor tanaman
pangan, yaitu dengan diterapkannya padi ataupun gandum varietas unggul beserta
pemanfaatan pupuk, pestisida, dan irigasi. Sektor
pertanian yang tumbuh pesat, tentunya
tidak menjamin sektor non-pertanian yang juga bertumbuh dengan cepat pula, seperti
contohnya Sri Lanka ataupun Pakistan. Berbagai faktor lainnya perlu dipenuhi
agar pertumbuhan sektor pertanian juga secara efektif mampu menjadi pendorong
pertumbuhan di sektor non-pertanian (Tomich et al, 1995), yaitu: (a) adanya kebijakan
yang lebih terbuka, dimana proteksi yang berlebihan bagi sektor industri,
terutama lewat nilai tukar, akan menghambat tumbuhnya pertanian dan menghambat
terbangunnya industri yang kompetitif; (b) terbentuknya pasar kredit dan
perbankan yang efisien; (c) terbangunnya infrastruktur pedesaan yang mencukupi dan
berkualitas untuk menghubungkan daerah pedesaan dengan pasar output maupun input;
(d)manfaat dari pertumbuhan sektor pertanian terdistribusi dengan baik. Rumahtangga
tani skala kecil dan menengah akan membelanjakan peningkatan
pendapatannya untuk membeli barang atau jasa yang bersifat intensif tenaga kerja dan
nontradables dengan pangsa yang lebih besar daripada rumahtangga tani skala luas
(Mellor, 1995). Salah satu syarat untuk pertumbuhan sektor pertanian yang
equitable adalah distribusi tanah beserta hak kepemilikan atau penguasaan yang lebih
merata. Dengan semakin lanjutnya transformasi
ekonomi, peranan pertanian dalam
pangsa PDB akan semakin berkurang
dengan cepat, yang berarti juga peranannya dalam pertumbuhan ekonomi juga
berkurang. Sebaliknya peranan sektor nonpertanian dalam pertumbuhan ekonomi semakin
penting. Berbagai faktor dapat menjadi penyebab turunnya pangsa
pertanian dalam PDB, antara lain adalah: (a) Engel’s Law; (b) elastisitas
permintaan terhadap off-farm marketing services lebih elastis daripada permintaan terhadap
produk di tingkat petani; dan (c) perubahan dan diferential teknologi antara sektor
pertanian dan sektor non-pertanian, dimana pertumbuhan teknologi di sektor
non-pertanian relatif lebih cepat; dan (d) akumulasi kapital dan pengaruhnya terhadap
endowments kapital-tenaga kerja (Martin dan
Warr, 1992) yang mengakibatkan pangsa
sektor pertanian yang intensif tenaga kerja turun relatif terhadap sektor
non-pertanian yang cenderung intensif kapital. Kecepatan turunnya pangsa pertanian
dalam PDB ternyata tidak diikuti dengan kecepatan penurunan yang sama dalam
pangsa tenaga kerja. Akibatnya, rata-rata produktivitas per tenaga kerja turun,
yang juga menunjukkan turunnya pendapatan petani. Turunnya pangsa pertanian
dalam PDB yang tidak disertai dengan turunnya pangsa tenaga kerja dengan kecepatan
yang memadai, menjadikan gap produktivitas tenaga kerja sektor pertanian semakin
tertinggal dengan sektor non-pertanian.
Ekonomi Pedesaan
Jika diamati dengan seksama,
rumahtangga di pedesaan relatif heterogen dalam aspek aktivitas yang dilakukan, serta
kepentingan relatif dari aktivitas tersebut dalam memberikan pendapatan rumahtangga.
Sebagian besar rumahtangga pedesaan beraktivitas di pertanian. Namun
banyak di antara rumahtangga tersebut sumber pendapatan utamanya berasal dari
aktivitas non-pertanian. World Bank (2007) menunjukkan bahwa rumahtangga pedesaan
di Indonesia lebih dari 60 persen berpartisipasi di pertanian, namun
kurang dari 30 persen pangsa pendapatan rumahtangga pedesaan yang berasal dari
pertanian. Sumber pendapatan rumahtangga pedesaan
berasal dari pertanian, tenaga kerja upahan di desa, ataupun dari migrasi.
Sumber pendapatan migrasi adalah dari anggota rumahtangga yang bekerja di
luar pedesaan atau bahkan bekerja di luar negeri. Jumlah rumahtangga pedesaan di
Indonesia yang pangsa terbesar pendapatannya bersumber dari pertanian
hanyalah 16 persen (World Bank, 2007). Pertanian yang tumbuh memiliki peran
penting dalam transformasi ekonomi pedesaan. Pertanian dapat mempengaruhi
aktivitas non-pertanian di pedesaan melalui tiga cara, yaitu produksi, konsumsi,
dan keterkaitan pasar tenaga kerja. Pada sisi produksi, pertumbuhan sektor pertanian
memerlukan input berupa pupuk, pestisida, benih, ataupun alsintan yang
diproduksi dan didistribusikan oleh perusahaan nonpertanian. Sektor pertanian yang tumbuh mendorong
semakin berkembangnya aktivitas-aktivitas di bagian
hilirnya, yaitu dengan menyediakan bahan baku untuk diproses ataupun didistribusikan. Pada
sisi konsumsi, meningkatnya pendapatan menyebabkan konsumsi rumahtangga tani
meningkat, yang juga berarti permintaan barang ataupun jasa yang dihasilkan
sektor non-pertanian meningkat. Sektor pertanian mempengaruhi sisi
penawaran dari ekonomi sektor nonpertanian di pedesaan. Upah di sektor pertanian
menjadi patokan biaya oportunitas dari tenaga kerja yang disalurkan ke
aktivitas-aktivitas non-pertanian. Permintaan tenaga kerja di sektor pertanian yang
bersifat musiman tentunya berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja untuk aktivitas
non-pertanian. Peningkatan kesempatan kerja di sektor non-pertanian belum tentu
akan menyebabkan meningkatnya tingkat upah.
Peningkatan kesempatan kerja di
non-pertanian akan menyebabkan kenaikan upah terjadi apabila ekonomi sektor
non-pertanian tumbuh akibat meningkatnya permintaan dan meningkatnya
produktivitas tenaga kerja. Jenis dan jumlah produk yang
dihasilkan sektor pertanian di suatu daerah juga akan mempengaruhi aktivitas-aktivitas
non-pertanian apa saja (pemasaran, pengolahan, ataupun transportasi) yang
akan berkembang. Studi lintas negara yang dilakukan Hazell dan Haggblade pada
tahun 1993 menunjukkan adanya hubungan yang positif antara pendapatan
pertanian, yang diukur dengan pendapatan pertanian per kapita penduduk pedesaan, dan
pangsa tenaga kerja non-pertanian di pedesaan. Terutama untuk kasus Indonesia,
ditemukan peningkatan yang tajam dari pangsa tenaga kerja non-pertanian saat
pendapatan pertanian per kapita meningkat. Pertumbuhan sektor pertanian
menjadikan ekonomi pedesaan lebih terdiversifikasi. Sektor non-pertanian
di daerah pedesaan menjadi sumber pertumbuhan dan kesempatan kerja yang
penting. Sektor non-pertanian yang semula
bersifat usaha sampingan dan
berorientasi subsisten, semakin menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi dan menjadi sumber
pendapatan yang penting bagi rumahtangga di pedesaan.
Indikator lain yang dapat dilihat dari
semakin pentingnya aktivitas nonpertanian di pedesaan adalah perkembangan pangsa
tenaga kerjanya. Sektor nonpertanian memiliki pangsa tenaga kerja yang
semakin meningkat. Di daerah perkotaan, sektor non-pertanian
menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja. Sedangkan di pedesaan kontribusi
tenaga kerja sektor non-pertanian telah mencapai di atas 36 persen. Komposisi atau sebaran
tenaga kerja sektor non-pertanian di daerah pedesaan terutama didominasi oleh
aktivitas di bidang perdagangan, manufaktur, dan jasa. Pangsa tenaga kerja sektor
non-pertanian di daerah pedesaan tentunya akan meningkat jika di dalamnya dimasukkan
daerah-daerah kota yang masih bersifat desa (rural towns ) seperti yang
dikemukakan oleh Hazell dan Haggblade (1991). Rural towns adalah daerah-daerah yang
struktur ketenagakerjaannya masih mencerminkan keterkaitan yang kuat dengan
pertanian. Sebaliknya urban towns adalah daerah yang memiliki basis ekonomi yang independen
terhadap pertanian. Di daerah pedesaan, jasa dan industri
rumahtangga menjadi sumber penampung tenaga kerja yang penting.
Sedangkan di daerah rural towns lebih didominasi oleh perdagangan dan jasa.
Tenaga kerja non-pertanian di daerah pedesaan dan rural towns juga
cenderung bersifat informal, jika dibandingkan dengan di urban towns.
Kesempatan kerja di sektor
non-pertanian di pedesaan terutama penting bagi penduduk pedesaan yang miskin. Buruh
tani ataupun petani gurem mengandalkan pendapatannya terutama dari aktivitas
non-pertanian. Pangsa pendapatan dari nonpertanian memiliki korelasi negatif dengan skala
usahatani yang diusahakan. Aktivitas yang bersumber dari investasi usaha
yang membutuhkan modal rendah dan tidak memerlukan ketrampilan tinggi dari
tenaga kerjanya, merupakan sumber pendapatan utama dari rumahtangga miskin pedesaan
relatif jika dibandingkan rumahtangga yang kaya. Sebaliknya aktivitas yang
bersumber dari investasi yang memerlukan modal besar, umumnya relatif sulit diakses
oleh penduduk miskin pedesaan.
Perempuan memiliki pangsa yang cukup
besar dalam tenaga kerja di sektor pertanian dan juga di sektor
non-pertanian di pedesaan. Lebih dari 35 persen tenaga kerja di sektor pertanian adalah
perempuan. Sedangkan pangsa perempuan yang bekerja di sektor pertanian lebih dari
65 persen dari total tenaga kerja perempuan. Di sektor non-pertanian di pedesaan,
perempuan lebih terkonsentrasi bekerja di bidang perdagangan, industri pengolahan, dan
jasa. Pangsa perempuan yang bekerja di bidang lain, seperti transportasi,
konstruksi, dan keuangan relatif kecil. Sebaliknya, laki-laki relatif tersebar bidang
aktivitasnya di sektor non-pertanian.
Strategi Ke Depan
Secara umum proses pembangunan akan
menuju pada transformasi perekonomian yang dominan pertanian
menuju pada dominasi sektor non-pertanian. Berbagai alasan dapat dikemukakan
mengapa pada akhirnya ada pergeseran struktur perekonomian dari pertanian ke
non-pertanian. Pertanian pada akhirnya dibatasi oleh daya dukung lahan dan pasar produk
pertanian. Turunnya peranan pertanian secara relatif merupakan sesuatu yang tak
terhindarkan, karena (a) meningkatnya spesialisasi dalam produksi, yang mengakibatkan
adanya transfer pekerjaan non-pertanian dari rumahtangga pertanian ke daerah urban,
(b) elastisitas pendapatan yang relatif rendah dari permintaan akan produk-produk
pertanian di bandingkan produk non-pertanian pada kondisi pendapatan yang meningkat,
dan (c) biaya transport yang tinggi untuk berbagai produk pertanian menghalangi
adanya spesialisasi yang sangat lanjut pada produksi pertanian. Dengan demikian
sulit mengharapkan adanya pencapaian standard hidup yang tinggi tanpa
adanya pergeseran yang berarti menuju aktivitasaktivitas non-pertanian.
Proses pembelajaran untuk menuju
industrialisasi memerlukan waktu yang panjang, namun bukan berarti
diperlukan upaya-upaya yang bersifat “lompatan” dalam pembangunan agar proses dapat
dipercepat. Strategi terbaik adalah mengutamakan pada pembangunan
pertanian dan pedesaan yang didukung oleh industri penyokong secara selektif.
Industrialisasi yang dilakukan dengan cepat dan dalam spektrum yang luas akan
mengalami hambatan secara internal dalam bentuk kebutuhan akan wage goods dan
kapasitas pembentukan modal yang hanya dapat dilakukan oleh sektor pertanian dan
pedesaan yang telah berkembang. Ringkasnya, jika Indonesia menginginkan
industrialisasi maka harus bersedia terlebih dahulu
membangun pertaniannya.
Bagaimana strategi pembangunan
pertanian yang tepat untuk diikuti? Ada tiga alternatif strategi pembangunan
pertanian yang dapat dipilih. Strategi pembangunan pertanian yang pertama adalah
membiarkan kekuatan-kekuatan ekonomi pasar menentukan arah pembangunan. Peranan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan pasar yang dapat
berfungsi dengan efisien. Strategi ini dilandaskan pada asumsi bahwa dalam
jangka panjang harga produk pertanian primer cenderung menurun akibat kemajuan
teknologi. Peranan sektor pertanian akan menurun secara proporsional pada sisi
output dan menurun secara absolut dalam penyerapan tenaga kerja. Strategi ini
selaras dengan pandangan bahwa ekonomi yang terbuka akan menunjukkan kinerja yang
lebih baik jika dibandingkan dengan
perekonomian yang tertutup.
Strategi kedua pembangunan pertanian
lebih menekankan perlunya keterlibatan pemerintah yang besar
dalam pembangunan. Keterlibatan pemerintah diperlukan sejak dari perancangan
strategis sampai pada implementasinya. Strategi pembangunan pertanian yang kedua ini
berbeda sekali dengan strategi yang pertama. Tujuan pembangunan pertanian dapat
dicapai melalui interaksi berbagai kekuatan atau strategi, yaitu: percepatan
pertumbuhan di sektor pertanian, produksi wage goods, strategi strukturisasi permintaan yang
mengarah pada barang atau jasa yang bersifat intensif tenaga kerja, meningkatkan
kesempatan kerja, dan meningkatkan permintaan efektif penduduk berpendapatan rendah.
Strategi yang saling berkaitan tersebut harus diarahkan oleh perencanaan pemerintah.
Ada tiga elemen kunci keberhasilan strategi pembangunan pertanian yang kedua ini,
yaitu (a) investasi yang besar di
pembangunan sumberdaya manusia,
terutama di pedesaan, (b) penciptaan struktur organisasi pedesaan yang mampu
memberikan layanan pada petani sekaligus sebagai sarana penyampaiaan aspirasi petani,
dan (c) investasi yang besar pada perubahan teknologi yang sesuai bagi petani
skala kecil, sehingga mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan
masyarakat desa secara simultan. Strategi pembangunan pertanian yang
ketiga berada di antara strategi pertama dan strategi kedua. Intervensi
kebijakan pemerintah mungkin diperlukan untuk mempengaruhi hasil akhir. Namun
intervensi tersebut memanfaatkan pasar dan sektor private sebagai kendaraannya. Strategi
pembangunan pertanian ketiga ini disusun dengan kesadaran bahwa memang ada “kegagalan
pasar” di samping juga ada “kegagalan pemerintah” dalam
implementasi aktivitas-aktivitas ekonomi. Strategi pembangunan pertanian yang ketiga ini
memerlukan pengetahuan yang jelas tentang interaksi antara sektor publik dan
sektor private. Faktor-faktor yang dibutuhkan “ to get agriculture moving” antara lain
adalah kombinasi antara teknologi yang tepat, kelembagaan pedesaan yang fleksibel,
dan orientasi pasar yang memungkinkan petani memperoleh imbalan yang memadai dari
upaya yang telah dikeluarkannya.
Agenda Ke Depan
Untuk mewujudkan sektor pertanian dan
pedesaan yang maju, modern, berdaya saing, dan mampu memberi
kesejahteraan bagi para pelakunya, maka diperlukan upaya-upaya yang
terstruktur dan terukur. Berbagai upaya tersebut tentunya perlu dipetakan dalam dimensi
waktu menurut prioritas dan kepentingannya. Ada upaya-upaya yang memang perlu
dilakukan secara terus-menerus (rutin), dan ada upaya yang harus selesai pada kurun
waktu tertentu. Upaya-upaya jangka pendek perlu diidentifikasi untuk diletakkan
secara harmonis menjadi kesatuan dengan upaya-upaya yang bersifat jangka menengah dan
jangka panjang, sehingga terlihat kesinambungan antara masa kini dan
masa depan. Upaya peningkatan kesejahteraan petani
dapat diringkaskan ke dalam dua kelompok agenda besar, yaitu: (a)
perbaikan dan peningkatan penguasaan petani terhadap aset atau tanah pertanian,
dan (b) peningkatan nilai produk yang dihasilkan per satuan aset yang dikuasai. Secara
ringkas berbagai upaya dan program yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani melalui dua agenda tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut ini.
Untuk meningkatkan penguasaan petani
terhadap aset produktif, maka perlu dilakukan agenda yang mampu mengurangi
tekanan tenaga kerja pada sektor pertanian ataupun memperbesar
kapasitas produktif pertanian. Untuk itu agenda ke depan yang perlu dilakukan antara lain
adalah:
1. Secara konsisten melaksanakan
reforma agraria yang memungkinkan petani dapat memperoleh akses yang lebih luas
terhadap sumberdaya lahan dan pertanian.
2. Memperluas kesempatan kerja di luar
usahatani, melalui peningkatan industri pedesaan yang berbasiskan sumberdaya
lokal serta pengembangan industri yang mampu menyerap kelebihan tenaga
kerja sektor pertanian. Itulah sebabnya keberhasilan pembangunan
pertanian tidak dapat dilepaskan dari pembangunan pedesaan dalam arti luas.
3. Memperbaiki akses petani terhadap
sumber-sumber pembiayaan untuk investasi.
4. Memperbaiki prasarana dan sarana
pertanian dan pedesaan yang memungkinkan lahan-lahan yang selama
ini tidak produktif (terbengkalai) dapat diusahakan oleh petani.
5. Meningkatkan pendidikan dan
kesehatan anggota rumah-tangga petani, sehingga keluarga tani mampu
mengadopsi teknologi yang lebih menguntungkan, dan mampu memperoleh
kesempatan yang lebih luas untuk berkompetisi dan memperoleh pendapatan
dari luar usahatani ataupun luar
pertanian.
6. Mendorong dan meningkatkan
pembangunan industri yang berbasiskan sumberdaya alam. Industri yang
dibangun hendaknya memberikan prioritas terhadap industri yang mampu
memberikan nilai tambah terhadap produk primer yang dihasilkan pertanian, yang
mampu menyerap tenaga kerja di pedesaan, dan yang mampu mengurangi
kesenjangan kesejahteraan antar daerah atau wilayah. Sedangkan peningkatan nilai produk
dari setiap satuan aset yang digunakan dapat ditempuh dengan perbaikan
produktivitas, perbaikan kualitas, dan peningkatan harga per satuan produk yang diterima
petani. Agenda yang dapat dilakukan antara lain adalah:
7. Memperbaiki dan meningkatkan
teknologi di setiap tahapan produksi, yang memungkinkan peningkatan kuantitas dan
kualitas produksi per satuan aset ataupun per satuan tenaga kerja.
8. Memperkuat kelembagaan yang
memungkinkan adanya transfer teknologi dengan benar dan cepat.
9. Memperbaiki kualitas dan
meningkatkan kuantitas ketersediaan sarana produksi pertanian.
10. Memperbaiki dan meningkatkan akses
petani terhadap sarana produksi pertanian dan akses pada pembiayaan
untuk modal kerja.
11. Meningkatkan kualitas dan
kuantitas infrastruktur pertanian dan pedesaan.
12. Mengurangi resiko harga yang
dihadapi petani, baik harga output maupun input pertanian melalui kebijakan yang
tepat.
13. Meningkatkan pendidikan dan
kesehatan bagi petani sehingga petani mampu memanfaatkan peluang-peluang yang
memungkinkan untuk meningkatkan nilai produksi per satuan aset yang
diusahakannya.
14. Menghapuskan berbagai pungutan
yang membebani produk pertanian, terutama pungutan liar ataupun yang
menurunkan daya saing.
15. Meningkatkan kerjasama antar
daerah otonom dalam mengelola sumberdaya alam.
16. Melindungi petani dari persaingan
yang tidak sehat dan tidak adil.
Berbagai program dan kebijakan
tersebut akan sulit memperoleh hasil yang memuaskan apabila lingkungan ekonomi
yang bersifat makro tidak mendukung. Kebijakan moneter (nilai tukar, suku
bunga, maupun inflasi) dan kebijakan fiskal (pajak, tarif, maupun subsidi) perlu
memperhitungkan dampaknya bagi pembangunan pertanian dan pedesaan. Upaya peningkatan kesejahteraan petani
dan nelayan sering menghadapi berbagai kendala. Tinggi-rendahnya
harga yang diterima petani bagi produk yang dihasilkannya ataupun harga yang harus
dibayar petani bagi sarana produksi yang dibutuhkannya ternyata tidak
sepenuhnya ditentukan oleh kondisi permintaan dan penawaran. Praktek-prektek
monopolistik (monopsonistik) maupun olipolistik (oligopsonistik) sering muncul di
sektor pertanian dan pedesaan. Apabila pasar tidak dapat diandalkan untuk menjadi alat
yang baik bagi alokasi sumberdaya yang efisien dan adil, maka diperlukan
kebijakan-kebijakan yang bersifat kelembagaan.
Kesimpulan
Pertanian yang tumbuh memiliki peranan
yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Sejarah
menunjukkan bahwa pembangunan pertanian merupakan prasyarat untuk adanya
kemajuan dalam tahapan-tahapan pembangunan selanjutnya. Karena pertanian memiliki
keterkaitan dengan berbagai aspek dalam perekonomian, maka pembangunan
pertanian merupakan penentu utama dalam pertumbuhan ekonomi pedesaan, termasuk
di dalamnya non-pertanian di pedesaan.
Dengan demikian, pembangunan pertanian
menjadi bagian yang esensial bagi upayaupaya
pengurangan kemiskinan di pedesaan
maupun di perkotaan.
15
Daftar Pustaka
Hazell, P. and Haggblade, S. 1991.
Rural-Urban Growth Linkages in India. Indian
Journal of Agricultural Economics. 46
(4): 515-529.
______________________. 1993.
Farm-Nonfarm Growth Linkages and the Welfare of
the Poor. In Lipton, M. and van der
Gaag, J. (edt). Including the Poor. The World Bank.
Washington, DC.
Johnston, B.F. and Mellor, J.W. 1961.
The Role of Agriculture in Economic
Development. American Economic Review.
51 (4): 566-593.
Kuznets, S. 1964. Economic Growth and
Contribution of Agriculture. In Eicher, C.K.
and Witt, L.W. (eds). Agriculture in
Economic Development. McGraw Hill. New York.
Lewis, W.A. 1954. Economic Development
with Unlimited Supplies of Labour.
Manchester School of Economic and
Social Studies. 22: 139-91.
Martin,W. and Warr, P.G. 1992. The
Declining Economic Importance of Agriculture: A
Supply Side Analysis of Thailand.
Working Paper in Trade and Development No. 92/1.
Research School of Pacific Studies,
Department of Economics and National Centre for
Development Studies. The Australian
National University. Canberra.
Mellor, J.W. 1984. Agricultural
Development and Intersectoral Transfer of Resources.
In Eicher, C.K. and Staat, J.M. (eds).
Agricultural Development in the Third World.
Johns Hopkins University Press.
Baltimore.
__________ (Editor). 1995. Agriculture
on the Road to Industrialization. Johns Hopkins
University Press. Baltimore.
Otsuka, K. and Reardon, T. 1998.
Lessons from Rural Industrialization in East Asia: Are
They Applicable to Africa? Paper
presented at an IFRI/World Bank-sponsored
Workshop on Strategies for Stimulating
Growth of the Rural Nonfarm Economy in
Developing Countries.
Warrenton-VA.USA. May, 1998.
Timmer, C.P. 1988. The Agricultural
Transformation. In Chenery, H.B. and Srinivasan,
T.N. (eds). Handbook of Development
Economics. Volume 1. North Holland.
Amsterdam.
Tomich, T.P., Kilby,P. and Johnston,
B.F. 1995. Transforming Agrarian Economies:
Opportunities Seized, Opportunities
Missed. Cornell University Press. Ithaca, NY.
World Bank. 2008. World Development
Report 2008: Agriculture for Development.
Washington, DC
Belum ada tanggapan untuk "PERANAN PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN"
Post a Comment