Pertanian menandakan hidup matinya sebuah negeri. Keadaan pertanian Indonesia dalam arti luas sekarang ini kentara mengindikasikan pemerintah sedang mencari mati.
Sejak 1998 krisis pertanian ditandai berbagai masalahnya yang melilit nasib petani, peternak, dan nelayan, meluasnya kerusakan sumber daya alam, dan buruknya kebijakan sosial ekonomi pertanian adalah ironi yang menjatuhkan harga diri, merusak, dan memperlemah kedaulatan bangsa.
Impor hortikultura, impor beras, impor sapi, impor bawang, dan kekacauan impor kedelai terakhir ini adalah wujud krisis pertanian yang menjadi-jadi. Semuanya adalah dampak yang dituai dari sembrononya pemimpin negeri mengelola bumi pertiwi. Modal tanah subur, lautan luas, kelimpahan sumber daya alam tidak diimbangi rasa syukur, tidak dijiwai mental bangga dan kebijakan utama dari para pemimpin untuk sampai tetes darah terakhir melindungi tanah, air, udara, dan merawat sumberdaya Indonesia sebagai negara berharga di Khatulistiwa. Para pemimpin negeri lebih senang menjual warisan leluhur daripada merawat Indonesia sebagai negeri agraris.
Bertambah miris lagi hari-hari ini mendengar kabar selama sepuluh tahun terakhir jumlah keluarga petani susut 5,04 juta keluarga dalam hitungan Badan Pusat Statistik. Kalau satu keluarga beranggota empat manusia, maka kira-kira ada dua puluh juta manusia yang tidak lagi tertarik mengolah bumi. Salah urus pertanian sangat parah terjadi, sehingga sektor utama negeri ini tak lagi menarik hati dan serasa patut dijauhi.
Sayangnya keadaan gawat darurat yang demikian tidak pernah ditangani secara radikal dan militan dengan kebijakan mendasar, komprehensif, dan fundamental dari negara. Yang ada adalah kebijakan tambal sulam, kebijakan abal-abal, yang selalu salah berulang-ulang. Dulu pernah kesulitan kedelai, sekarang terjadi lagi kedelai mahal sekali.Beberapa tahun lalu kekurangan daging sapi, sekarang harga daging melambung tinggi tak bisa diatasi, sementara sapi-sapi rakyat dihargai tak sebanding harga daging impor. Lebih parah hancurnya sektor pertanian ditambahi bobroknya tubuh kementrian bersangkutan yang terjerat skandal korupsi. Sementara menteri yang gagal memimpin macam terakhir ini terus dipercayai oleh pemimpin tertinggi. Lengkaplah sembrononya.
Maju Mundur Kebijakan Pertanian
Pada masa Kementrian Pertanian dipimpin oleh Anton Apriyantono sebenarnya cercah-cercah harapan kemajuan pertanian mulai dibangun. Meski tentu juga punya kelemahan, tetapi sebagai menteri Anton Apriyantono pada masanya dengan tegas menolak pola-pola kebijakan dan pelaksanaan impor barang pertanian dan berusaha memperbaiki serta mengangkat harga diri petani dalam negeri.
Anton Apriyantono berani menolak impor sapi, sehingga iklim berternak sapi di tingkat petani periode 2005-2008 sangat bergairah karena harganya stabil tinggi. Tapi sayang karena keberaniannya ini Anton Apriyantono diganti dengan menteri separtai yang haluan kebijakannya jauh berbeda. Apalagi pada 2009 saat kunjungan ke Australia, SBY berkompromi untuk membuka lebar pintu impor sapi dari Australia sehingga pada saat itu jatuhlah harga sapi lokal. Tahun 2009-2011 harga sapi petani hancur-hancuran. Di tingkat petani kecil pedesaan hal itu sangat melemahkan semangat.
Fenomena di atas patut diresapi. Bagaimana negara mendorong iklim pertanian yang baik dan membela pertanian ternyata melahirkan situasi desa yang bersemangat. Sebaliknya kebijakan negara yang meninggalkan rakyat petani di pedesaan dan mengalihkan perhatian kepada impor selalu membuat negeri ini mengalami impotensi untuk berdaulat dan berharga diri. Pola-pola kebijakan tambal sulam menjadikan negara kelihatan tidak punya platform yang utuh di bidang pertanian dan tak punya kewibawaan.
Pertanian dan Ideologi Bangsa yang Jaya
Sekalipun Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan Israel, mungkin kita bisa berkaca dari Israel untuk menilik keadaan negeri ini. Israel dengan segenap tenaga, sekalipun dikucilkan oleh bangsa-bangsa termasuk oleh Indonesia negara kita, tapi mereka tekun memelihara sektor pertanian dan menjaga bumi sebagai pertahanan utama selain dengan senjata perang. Dengan mempertahankan pangan dan menumbuhsuburkan pertanian maka mereka akan tetap hidup sekalipun digempur dan diasingkan.
Sejak zaman Perjanjian Lama konteks agraris dan kebudayaan menyuburkan tanah sebagai ciri kemunculan Israel yang menetap di kawasan subur Tanah Kanaan sejak tahun 1200 SM dengan struktur masyarakat sebagai petani yang hidup di desa-desa selalu diutamakan dan dilestarikan dengan nilai-nilainya kepada setiap generasi. Konstruksi keutamaan, kemuliaan, dan etos kerja manusia yang berelasi dengan alamnya dibangun sedemikian rupa dan tetap dilindungi negara.
Ingatan kepada kemakmuran Kerajaan Daud yang bersumber dari kerja kaum tani Israel yang mengusahakan komoditas anggur menjadi tradisi yang dijaga hingga kini. Anggur dari kebun-kebun anggur di dataran Palestina yang subur adalah produk pertanian yang diunggulkan. Peradaban agraris dan pembangunan etos kerja pertanian untuk menciptakan kemakmuran Bangsa Israel dengan kepatuhan terhadap ideologi yang muncul dan mengakar sejak zaman Perjanjian Lama merupakan kesatuan tak terpisahkan sampai hari ini. Jiwa leluhur yang memuliakan kekayaan alam lestari tidak pernah ditinggalkan. Keyakinan yang bersumber dari kebudayaan kuno menjadi etos kerja sebagai fondasi terciptanya kelimpahan dan kemakmuran negara hingga kini.
Pula, selain Israel, sekalipun menjadi bangsa yang maju dengan industrinya negara Jepang, Korea Selatan, Kanada, Amerika Serikat, Australia, New Zealand, dan negara-negara Eropa tidak lupa akan jatidiri bahwa pertanian adalah modal utama kelestarian kehidupan warga negara dan kedaulatan sebagai bangsa. Mulut dan perut warga negara bergantung dari petani dan hasil bumi, sehingga sangat dihargai. Kelaparan dan kelangkaan pangan akan menimbulkan kekacauan dan pemberontakan. Sehingga petani beserta tanah dan aset pertanian dilindungi bahkan disubsidi dengan ketat oleh negara. Sumber daya alam dijaga dalam tradisi penghormatan kepada bumi yang sedemikian hormat.
Negara-negara kaya sekalipun maju dalam industrinya tidak pernah meninggalkan sektor pertanian sebagai penentu hidup mati bangsanya. Bahkan Malaysia yang dulu berguru kepada Indonesia di zaman kemajuan Orde Baru dengan mengirimkan banyak mahasiswa pun sudah lebih maju memperlakukan pertanian dalam menjaga negerinya.
Penghancuran Budaya Tani dan Mental Makelar
Lalu kenapa negara kita yang pernah dijadikan tempat berguru beberapa negara justru mengalami kemunduran sementara mereka maju? Yang jelas karena keyakinan dan etos kita menjaga negeri agraris ini tidak pernah radikal dan militan. Kita tidak menjaga tradisi leluhur yang menghormati tanah, air, dan udara. Etos kita untuk memuliakan tanah air tidak pernah total, sehingga dalam semua lini, terutama di sektor pertanian kita gagal.
Negara agraris Indonesia menjadi tercerai-berai karena pemimpinnya tidak punya jiwa yang memegang teguh prinsip penguasaan atas pangan sebagai tanda kedaulatan negara yang harus dipertahankan. Hal ini patut dipahami karena para pengambil kebijakan kebanyakan adalah mereka yang tidak berkeringat di sawah atau pun tidak melihat orang tuanya berkutat di tanah untuk mendapatkan berkah. Budaya pragmatis para pemimpin yang tidak menyembuhkan kebobrokan sektor pertanian terus terjadi. Mungkin pula ini karena harga diri pemimpin kita mudah digadai. Makanya dalam kebijakan pertanian mereka abai dan sukanya membeli pangan dari luar negeri. Inilah pertanda pemimpin negeri bermental makelar yang gampang dibeli dan tidak punya empati kepada petani apalagi belarasa kepada bumi yang tercabik hari-hari ini.
Maka sekarang patutlah kita berhati-hati, karena para pemimpin kita yang tidak menghargai kedaulatan petani apalagi mencintai Ibu Pertiwi dengan hasil buminya sedang membawa Indonesia menuju kuburan, membawa kita menuju bencana pangan.
Penulis: W. Kristian Wijaya
Belum ada tanggapan untuk "Pertanian Indonesia dan Masa Depan Bangsa"
Post a Comment