Beberapa hari terakhir ini sektor hortikultura Indonesia sedang
memperoleh serangan bergelombang dari pihak asing dan sekian macam
sekondan-nya di dalam negeri. Sejak Indonesia berupaya memperketat impor
produk hortikultura dan mendorong kemajuan buah lokal, sayur khas dalam
negeri dan bunga eksotik domestik, banyak pihak merasa terganggu.
Langkah Pemerintah yang sedang berupaya memberikan sistem insentif
ekonomi bagi petani hortikultura di dalam negeri untuk meningkatkan
produksi dan produktivitasnya benar-benar memperoleh tantangan dan ujian
nyata di tingkat lapangan.
Di antara sekian kebijakan
operasional tentang sektor hortikultura, dua peraturan menteri yang
dipermasalahkan adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012
dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Impor
Hortikultura. Ketentuan operasional yang sebenarnya resmi berlaku sejak
September 2012 telah memberikan tenggang waktu masa transisi sampai
Desember 2012, sambil diikuti sosialisasi dan diskusi terbuka tentang
setting agenda kebijakan lain pada sektor hortikultura yang lebih luas
dan strategis.
Untuk periode Januari-Juni 20013, Pemerintah
melarang impor untuk enam jenis buah lokal, empat jenis produk sayuran
dan tiga jenis bunga, karena komoditas itu tidak mendapatkan secara
formal Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Alasan utama yang
disampaikan Pemerintah adalah bahwa produk hortikultura yang dihasilkan
di dalam negeri masih cukup untuk memenuhi permintaan produk
hortikultura yang terus berkembang. Enam jenis buah yang dilarang masuk
ke Indonesia yakni durian, nanas, melon, pisang, mangga dan pepaya.
Selain itu, empat jenis sayuran yang dilarang diimpor ke Indonesia
adalah kentang, kubis, wortel dan cabe; dan tiga jenis bunga adalah
krisan, anggrek dan helicona.
Serangkan pertama terhadap
hortikultura Indonesia muncul pada awal Januari 2013, walaupun upaya
tertulis dari pihak asing itu sebenarnya telah muncul pada akhir tahun
2012. Masyarakat benar-benar agak dikejutkan dengan langkah notifikasi
dan keberatan (baca: protes keras) Pemerintah Amerika Serikat (AS)
kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap kebijakan Indonesia
tentang pembatasan impor produk hortikultura dan impor hewan dan produk
hewan. Alasan yang disampaikan AS adalah bahwa kebijakan impor yang
diterapkan Indonesia dinilai kompleks dan berdampak buruk bagi kegiatan
ekspor produk hortikultura dan daging dari AS.
Langkah yang
diambil AS itu sebenarnya cukup mengejutkan, jika tidak dikatakan
berlebihan, karena volume impor hortikultura Indonesia dari AS tidak
terlalu besar, hanya bernilai sekitar US$120 juta per tahun. Impor
daging Indonesia dari AS juga hanya 3,5 persen dari total daging sapi
impor yang mencapai US$ 417. Pada 2012, total impor sapi hidup
(bakalan) mencapai 97 ribu ton ekuivalen daging dan impor daging
mencapai 37 ribu ton, sebagian berasal dari Australia dan Selandia Baru.
Negara yang seharusnya melancarkan protes keras kepada WTO karena
ketentuan impor hortikultura adalah China dan negara yang seharusnya
komplain pertama karena ketentuan impor daging sapi adalah Australia.
Belum
hilang keterkejutan masyarakat terhadap reaksi berlebihan dari AS
terhadap hortikultura Indonesia, serangan berikutnya justru datang dari
dalam negeri sendiri. Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo)
bahkan melempar ejekan menyakitkan terhadap produk hortikultura lokal.
Buah lokal nan eksotik seperti manggis, apel, jeruk, dan mangga dituduh
dapat menciptakan diare karena rasanya asam (DetikFinance, Ahad, 27 Januari 2013).
Apakah akan terdapat reaksi yang lebih keras lagi kepada para importir
buah tersebut, semua akan tergantung dari penanganan dan langkah
kebijakan yang sedang dan akan diambil pemerintah dan kemampuannya untuk
mewujudkan kebijakan tertentu.
Untuk memberikan kontribusi nyata pada pembangunan hortikultura nasional, kelompok masyarakat madani (civil society organizations)
sebenarnya sedang memainkan peran penting, terutama dalam kerangka
governansi kebijakan ekonomi. Berbagai gerakan dilakukan oleh masyarakat
luas, setidaknya telah dimotori oleh Himpunan Alumni Institut Pertanian
Bogor (HA-IPB) selama dua tahun terakhir, untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat luas, agar mau mencintai dan mengonsumsi buah lokal. Secara
implisit tentu di sana terkandung pesan strategis untuk mengurangi, jika
perlu menghentikan, konsumsi buah impor.
Sebagian besar
masyarakat merespons ajakan, imbauan, dan gerakan itu dengan menjadikan
hari Jumat sebagai Hari Buah Lokal. Bahkan banyak instansi pemerintah
yang secara sadar tidak lagi menyajikan hidangan buah lokal pada
berbagai rapat dinas dan acara formal lain. Pesan berantai yang tersebar
melalui media sosial, seperti Blackberry, Twitter, Facebook, pesan
pendek biasa (sms) untuk mengingatkan tentang Hari Buah Lokal itu tampak
cukup efektif, terutama pada era serba cyber seperti sekarang.
Bahkan di beberapa tempat, permintaan buah lokal meningkat cukup
drastis, sehingga banyak petani hortikultura, yang umumnya berlahan
sempit dan bermodal pas-pasan untuk memenuhi permintaan buah lokal yang
ada. Hal yang paling jelas saat ini adalah bahwa serangan terhadap
sektor hortikultura Indonesia, masih akan terus bergulir, apa pun
kondisi dan reaksi yang dikeluarkan pemerintah.
****
Rekomendasi
kebijakan dan langkah ke depan yang wajib dilakukan Pemerintah dan
pejuang hortikultura domestik adalah terus memantau, menjawab, dan
mengantisipasi serangan–serangan yang datang secara bergelombang
tersebut.
Pertama, pada arena diplomasi internasional,
tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah, untuk segera menghadapi
notifikasi AS kepada WTO itu secara jantan dan berwibawa. Pemerintah
perlu segera mengeluarkan hak jawab dan penjelasan yang memadai sebelum
”bola panas” itu disampaikan kepada lembaga DSB (Dispute Settlement Body)
di dalam WTO. Apalagi jika sampai terbawa ke lembaga arbitrase
internasional yang lebih tinggi lagi. Esensinya adalah bahwa apabila
lembaga negara telah mengambil sikap dan mengeluarkan suatu kebijakan,
hal itu merupakan kebijakan resmi Negara Indonesia, bukan kebijakan
Kementerian Perdagangan atau Kementerian Pertanian.
Kedua,
menyusun Tim Perundingan Perdagangan Internasional (TPPI) yang tangguh
dan memahami persoalan hortikultura nasional, baik pada aspek ekonomi
dan perdagangan internasional, maupun pada aspek agronomi dan dimensi
teknis lainnya. Sekadar informasi, pada arena WTO sebenarnya cukup
banyak kamar-kamar perundingan dan kelompok-kelompok diplomasi ekonomi,
yang harus secara elegan mampu dimainkan oleh para diplomat Indonesia.
Kekuatan diplomasi yang paling tangguh adalah apabila ditopang oleh
soliditas kebijakan ekonomi di dalam negeri dan dukungan penuh
masyarakat untuk menunjukkan kewibawaan kebijakan pangan negara yang
sebenarnya.
Ketiga, mengambil tindakan tegas bagi
importir atau siapa pun yang mengganggu dan melecehkan kebijakan ekonomi
nasional. Pemerintah masih memiliki banyak “kartu berharga” yang dapat
dimainkan dalam beberapa arena kesempatan kebijakan ekonomi hortikultura
di dalam negeri. Langkah ini perlu melibatkan komponen akademisi dan
organisasi lain yang peduli pada pengembangan hortikultura di dalam
negeri sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Keempat, memperbaiki governansi ekonomi, ekosistem inovasi dan kebijakan hortikutura Indonesia. Kosa kata governansi ekonomi (economic governance) saat ini sedang menjadi salah satu jargon baru, yang dipercaya mampu meningkatkan kualitas kebijakan ekonomi dan hasil (outcome) kinerja
pembangunan ekonomi secara umum. Ekosistem inovasi wajib diperbaiki
dengan memberkan insentif yang memadai bagi inovasi baru yang dilakukan
oleh lembaga riset, sektor swasta dan komponen masarakat banyak.
Dengan
demikian, tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pemimpin
Indonesia di masa depan adalah bagaimana meramu dan mendorong kerjasama
empat pilar utama penopang pembangunan. Kerjasama kemitraan yang sering
disebut dengan ABGC (academics, business, government and civil society) akan menjadi harapan baru bagi kemajuan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Prof. Dr. Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA dan Ekonom Senior INDEF-Jakarta.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Serangan Bergelombang terhadap Hortikultura Lokal"
Post a Comment