Ibarat sebuah kapal, implementasi kebijakan pembangunan Indonesia
saat ini, khususnya di bidang pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan
lingkungan hidup, bagaikan kapal yang berlayar di tengah samudera luas
yang mesinnya mati. Akibatnya, motor dan semua perangkat pengendali
gerak kapal (buritan) dan pemandu arah kapal (navigator) tidak
berfungsi. Gerak kapal sepenuhnya hanya bergantung pada gelombang dan
angin yang menerpanya, sehingga kapal terombang-ambing kehilangan arah
dan tujuannya.
Jika gelombang besar datang menerpa, apalagi
disertai hujan, angin dan badai sekaligus, hampir dapat dipastikan kapal
akan segera “karam”, selanjutnya bisa terbalik dan tenggelam. Kapal
beserta seluruh muatan dan penumpangnya berada dalam kondisi darurat
(bahaya) serta perlu pertolongan segera, “S.O.S” (Safe Our Souls).
Pertanyaannya sekarang, mungkinkah kondisi kapal yang demikian masih
dapat diselamatkan? Jawabannya bisa ya bisa juga tidak.
Secara
internal, semua bergantung pada kesigapan dan ketangguhan sang kapten
(nakhoda) dan kru serta sikap dari penumpang. Secara eksternal, sangat
bergantung pada cuaca yang ada, normal (tidak ada badai) atau tidak
normal alias ekstrem (ada badai). Jika cuaca normal, kapten kapal dan
kru sigap (tangkap dan tangkas) serta tangguh dalam mengatasi kemacetan
(matinya) mesin kapal tersebut sehingga semua perangkat pengendali gerak
(buritan) dan alat navigator seperti kompas dan GPS (Geographical
Position System) dapat diperbaiki dan difungsikan kembali, apalagi
ditunjang oleh sikap dan perilaku penumpangnya yang peduli (turut
membantu) maka keadaan darurat (bahaya) kapal akan dapat segera diatasi.
Muatan dan semua penumpang bisa diselamatkan.
Sebaliknya, jika
kapten dan kru kapal tidak sigap bertindak, hanya bersikap pasif tanpa
inisiatif memperbaiki mesin kapal atau tanpa meminta bantuan dari kapal
lain melalui pesan S.O.S., maka kondisi darurat kapal tidak mungkin
dapat diatasi. Bahkan jika cuaca berubah jadi ekstrem (ada topan dan
badai), maka bisa segera berubah menjadi musibah (malapetaka). Kapal
terbalik dan tenggelam di laut. Jika sudah demikian, semua upaya yang
dilakukan sia-sia belaka. “Nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin bisa
dirubah lagi dikembalikan menjadi nasi!”.
Dalam hal kasus
pengelolaan SDA dan lingkungan hidup di Indonesia analoginya adalah
berupa hancurnya tatanan (stabilitas) ekosistem secara permanen dan
sistemik yang akan berdampak luas terhadap stabilitas ekonomi nasional
dan stabilitas sosial masyarakat secara keseluruhan. Contoh kasus nyata
dan aktual serta masih berlangsung sampai saat ini dan belum dapat
diatasi adalah bencana meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur,
banjir rob (rutin) di pantura Jakarta dan Semarang serta longsor di
berbagai daerah.
Dalam skala lebih luas (regional) adalah
bencana banjir rutin tahunan yang terjadi di hampir seluruh wilayah kota
di Indonesia, baik di Jawa maupun luar Jawa, bahkan juga terjadi di
berbagai negara Eropa, Australia, Amerika dan tentu saja di Asia. Hal
tersebut menjadi suatu pertanda bahwa kerusakan SDA dan lingkungan di
Indonesia saat ini sudah parah. Kerusakan di tingkat global berupa
pemanasan global (global warning) di seluruh dunia yang saat ini sedang
berlangsung.
Tujuan Pembangunan
Pembangunan
dilakukan bertujuan untuk membuat kualitas hidup dan kehidupan
masyarakat semakin baik dan sejahtera (lahir dan bathin), baik secara
individu, kelompok maupun sebagai suatu negara. Pembangunan yang
dilaksanakan secara baik dan benar sesuai kaidah (prinsip) pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) akan berdampak positif pada
kualitas kehidupan masyarakat secara ekonomi, sosial maupun ekologi
(lingkungan).
Namun dalam kenyataannya (fakta) yang terjadi di
lapangan bisa sebaliknya, jika pembangunan dilakukan oleh pemerintah
atau oknum pemerintahan yang tidak amanah dan tidak jujur, apalagi
korup? Tingkat kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di berbagai
wilayah di Indonesia saat ini pada umumnya masih relatif rendah dan
sangat beragam. Ada yang sangat miskin sekali (fakir) dan ada pula yang
sangat kaya sekali (konglomerat).
Proporsi masyarakat yang hidup
di bawah standar (garis) kemiskinan relatif sangat tinggi (lebih dari
30 persen), angka tingkat pengangguran (tak terdidik dan terdidik) juga
sangat tinggi serta setiap tahun jumlahnya terus meningkat, sementara
lapangan kerja baru tidak tersedia. Seperti kita saksikan dalam berita
media massa (cetak maupun elektronik) selama ini, kondisi sosial
masyarakat di berbagai wilayah penuh dengan konflik. Sementara kondisi
ekosistem (lingkungan) darat maupun di perairan (laut dan sungai)
semakin rusak parah.
Bila dikaji secara cermat, sebenarnya
hasil-hasil pembangunan di Indonesia selama ini lebih banyak dinikmati
oleh sekelompok (sebagian) kecil masyarakat dari kalangan pejabat
pemerintah (penguasa) dan pengusaha (konglomerat), baik di pusat maupun
daerah, yang jumlahnya relatif kecil, mungkin tidak lebih dari 10 persen
dari jumlah masyarakat Indonesia keseluruhan yang mencapai 240 jutaan.
Sisanya, sekitar 60 persen dapat dikatakan tingkat kualitas hidup dan
kehidupannya termasuk kategori pas-pasan, yaitu pas berada di atas garis
kemiskinan (sedikit) versi pemerintah (kriteria almarhum Sajogyo),
yaitu terpenuhinya kebutuhan kalori manusia 2100 kilo kalori (kkal)
perhari atau kira-kira setara 800 gram beras perorang perhari atau
sekitar 24 kg perbulan.
Dengan asumsi bahwa beras yang
dikonsumsi tersebut berkualitas rendah seperti halnya beras bantuan
untuk orang miskin (Raskin) dengan harga di pasar sekitar Rp4.500 per kg
dan jumlah anggota keluarga sebanyak lima orang per keluarga, total
penghasilan masyarakat termasuk dalam kategori miskin (versi pemerintah)
setara dengan 24 kg x 5 orang = 120 kg beras x Rp4.500 = Rp540 ribu
perbulan. Jika kualitas beras yang dikonsumsi dinaikkan sedikit menjadi
sekitar Rp7.000 per kg, maka katagori miskin jika penghasilan sebesar
Rp840 ribu. Jika dinaikkan lagi dengan kualitas beras tertinggi Rp10
ribu per kg, jumlah penghasilan masyarakat yang termasuk katagori miskin
sebesar Rp1,2 juta per bulan per keluarga.
Dengan demikian kriteria batas (garis) kemiskinan berdasarkan
kriteria Sayogyo tersebut bisa bervariasi dengan tingkat penghasilan
sebesar Rp540 ribu hingga Rp1,2 juta per keluarga. Selama ini,
pemerintah dalam menetapkan proporsi masyarakat miskin di Indonesia
seringkali menggunakan besaran tingkat penghasilan dengan batas paling
bawah: menggunakan kualitas beras paling rendah (murah) Rp4.500 per
kilogram. Jadi setara penghasilan Rp540 ribu per bulan perkeluarga. Jika
dihitung dengan beras kualitas tinggi, kriteria tingkat penghasilan
masyarakat miskin naik menjadi Rp1,2 juta per bulan per keluarga.
Hal tersebut sama dengan angka yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
upah minimum regional (UMR) yang berlaku di wilayah Jabodetabek, khusus
DKI Jakarta (untuk perkotaan). Jika kriteria penghasilan batas atas
tersebut diterapkan dalam perhitungan proporsi masyarakat miskin
keseluruhan, sudah pasti proporsi warga miskin di Indonesia saat akan
lebih tinggi lagi dari 30 persen. Bisa jadi proporsi masyarakat miskin
50-60 persen. Artinya, tujuan pembangunan untuk mensejahterakan hidup
seluruh warga sampai saat ini selama hampir 67 tahun sejak NKRI berdiri
(merdeka) belum berhasil, bahkan masih jauh dari harapan.
Kebutuhan Dasar Hidup dan UMR
Untuk
dapat hidup layak dan beraktivitas secara optimal, manusia tidak hanya
membutuhkan makan (pangan) tetapi butuh juga sandang (pakaian), papan
(tempat tinggal), pendidikan, kesehatan, keamanan dan energi, yang
semuanya merupakan kebutuhan dasar (primer) yang harus dipenuhi setiap
saat. Sesuai amanat UUD 1945 semua kebutuhan dasar tersebut merupakan
tugas (kewajiban) pemerintah untuk menyediakan dan memenuhinya. Oleh
karena itu, bahan untuk kebutuhan dasar harus selalu tersedia dalam
jumlah yang memadai di pasaran dengan harga yang murah dan terjangkau.
Dengan UMR Rp540 ribu per bulan untuk masyarakat di perdesaan dan Rp1,2
juta untuk masyarakat di perkotaan tentu saja masih sangat minim dan
masih jauh dari cukup.
Dengan asumsi tiap keluarga terdiri atas
lima orang (jumlah anak 3), nilai UMR sebesar itu baru bisa untuk
memenuhi kebutuhan pangan (beras) saja. Adapun untuk memenuhi kebutuhan
dasar lainnya, seperti pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan
energi (listrik, transportasi, masak, dll) sudah tidak mungkin. Padahal,
untuk pemenuhan kebutuhan pangan bukan saja dari segi jumlah
(kuantitas), tapi juga kualitasnya.
Kualitas pangan yang baik
akan berdampak positip terhadap kesehatan manusianya. Kualitas pangan
yang baik harus mengandung zat gizi yang cukup, meliputi karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral. Karbohidrat dapat bersumber dari
tepung beras, jagung atau ubi-ubian, sedangkan protein dapat bersumber
dari ikan, daging, telor (hewani) bisa juga dari nabati (tahu &
tempe). Adapun vitamin dan mineral bisa didapat dari sayuran dan
buah-buahan, sedangkan lemak sebagai zat gizi cadangan umumnya berasal
dari daging ternak (ayam, kambing, sapi dan babi).
Jika kesemua
zat gizi tersebut bisa terpenuhi dalam menu pangan, maka kualitas pangan
demikian telah memenuhi kriteria empat sehat, yaitu mengandung empat
zat gizi: karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Jika ditambah satu
produk lagi berupa susu (protein kualitas tinggi), kualitas pangan sudah
memenuhi kriteria lima sempurna. Jika kualitas pangan masyarakat
memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna, dapat dipastikan kualitas
kesehatan dan kecerdesan masyarakat akan tinggi.
Masyarakat yang
sehat dan cerdas tentu saja akan melahirkan generasi penerus bangsa
yang sehat dan cerdas pula. Bagaimana dengan kondisi menu pangan
masyarakat kita saat ini? Mungkinkah dengan bantuan Raskin masalah
kekurangan gizi (gizi buruk) bisa diatasi? Mungkinkah dengan nilai UMR
yang telah ditetapkan pemerintah masyarakat bisa memenuhi kebutuhan
dasarnya?
Kemiskinan Berkelanjutan di Tengah SDA Melimpah
Dengan
tingkat UMR yang rendah dan tingkat harga kebutuhan pokok yang mahal
dan selalu mengalami kenaikan, kemampuan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya juga tentu saja sangat rendah. Dengan tingkat UMR
sebesar Rp540 ribu untuk masyarakat perdesaan dan Rp1,2 juta untuk
masyarakat perkotaan, sudah dapat dipastikan kualitas pemenuhan
kebutuhan pangan, pakaian, perumahan dan pendidikan serta kesehatan yang
dapat dipilih adalah yang serba murah dan meriah atau serba seadanya
(dibawah standar).
Makan seadanya, artinya kalau ada makanan ya
makan kalau tidak ada makanan ya tidak makan, atau sehari makan sehari
tidak, rumah seadanya, bila terpaksa bisa tinggal dimana saja asal bisa
untuk berteduh seperti: bantaran sungai, rel kereta api atau di bawah
kolom jembatan. Tidak sedikit dari mereka yang menyandang sebutan tuna
wisma. Apalagi bicara soal pemenuhan pendidikan dan kesehatan, tentu
saja ”jauh panggang dari api” alias mustahil terjangkau.
Kondisi
masyarakat Indonesia yang demikian nyata ada di depan mata kita, baik
di wilayah perkotaan dan pedesaan. Mungkin itulah porsi 30 persen yang
dimaksud oleh Pemerintah yang selama ini diatasi dengan program BLSM
(Bantuan Langsung Sementara)? Bila didata dengan baik, jumlah mereka
akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Apalagi kalau harga BBM jadi
dinaikkan. Mereka selamanya tenggelam dalam lumpur kemiskinan yang tiada
ujung. Istilah yang lebih tepat sebenarnya bukan miskin lagi, tapi
fakir, yaitu hasil kerja hari ini tidak cukup memenuhi kebutuhan
hidupnya hari ini juga alias kondisinya selalu minus atau defisit.
Kondisi ekonomi masyarakat yang sangat fakir demikian tentu saja akan
melahirkan kondisi sosial yang rawan konflik dan dekat dengan
kriminalitas.
Di tingkat negara hal tersebut tercermin dari
nilai utang Indonesia yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Di sisi
lain, pengurasan SDA dan pengerusakan lingkungan terus berlangsung.
Sungguh sangat kontradiktif, kemiskinan dan kefakiran rakyat serta
negara terjadi di tengah-tengah kekayaan SDA yang sangat melimpah, baik
di darat maupun di laut. Di darat, ada hutan yang terhampar luas dari
Sabang (Aceh) sampai Marauke (Papua). Kondisinya saat ini sangat parah
dan sangat menyedihkan karena hanya ditebang saja (dieksploitasi dan di
rusak) tanpa pernah mau menanam dan memelihara, apalagi memulihkan
(rehabilitasi), tidak peduli lagi hutan lindung atau bukan?
Di
perairan (laut dan sungai), ada ikan yang sangat banyak serta melimpah
ruah jumlah dan jenisnya selama ini hanya ditangkap saja, habitatnya
dirusak dan dicemari. Di dalam tanah (perut bumi), ada berbagai bahan
tambang mulai dari pasir biasa, pasir besi, nikel, tembaga sampai emas,
bahkan batubara, minyak dan gas bumi. Selama lebih dari 30 tahun terus
menerus dikuras (dieksploitasi) untuk dijual (diekspor) keluar negeri
dengan mengatasnamakan ”pembangunan”?
Kekayaan SDA Indonesia yang sangat melimpah ruah bukannya disyukuri
dengan cara dihemat dan dimanfaatkan secara arif dan bijaksana, tapi
malah dieksploitasi secara boros dan brutal untuk dijual ke luar negeri
demi menghasilkan rupiah secara cepat. Untuk selanjutnya rame-rame
dikorupsi oleh para pengelolanya (pemerintah dan aparatnya) yang
difasilitasi oleh para pengusaha (konglomerat) nakal. Jadi tidak heran
kalau Negara saat ini dalam kondisi ”sangat kritis”.
Sudah pasti
ada (bahkan banyak) yang salah dalam pengelolaannya, baik di level
kebijakan (perencanaan) maupun pelaksaaan. Pertanyaannya, sadarkah
pemerintah, baik pusat maupun daerah), beserta seluruh aparatnya tentang
adanya kesalahan dalam pengelolaan tersebut? Tahukah mereka jalan
keluar dari kondisi krisis yang sedang dialami tersebut? Akankah nasib
negara Indonesia ke depan nanti seperti kapal yang karam karena mati
mesin sehingga kehilangan arah, terombang-ambing di tengah samudra luas
tidak tahu lagi dimana dan kemana tujuan perjalanan berakhir? Atau kapal
akan segera tenggelam masuk kedasar laut karena dihantam gelombang dan
badai yang ganas?
Kondisi negara Indonesia saat ini sedang
dikepung arus gelombang globalisasi dan badai liberalisasi yang ganas
yang siap melumpuhkan sendi-sendi dasar persatuan dan kesatuan serta
patriotisme bangsa. Sanggupkah nakhoda kapal (pemerintah) dan seluruh
kru (aparat) beserta seluruh penumpang (rakyat atau masyarakat)
mengatasi kemacetan mesin (pemerintah), sehingga negara bisa berfungsi
normal kembali? Berfungsi normal artinya kembali kepada cita-cita luhur
berdirinya NKRI dengan dasar (landasan idiil) Pancasila dan UUD 1945.
Negara dibangun di atas lima fondasi utama, yaitu pertama,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Outputnya adalah lahirnya manusia Indonesia
yang bertaqwa kepada Tuhannya, ditandai dengan sifat jujur dan amanah
(tanggung jawab) dalam setiap aktivitasnya dari seluruh lapisan
masyarakat, mulai dari presiden, gubernur, bupati sampai kepala desa
sebagai pemerintah atau penyelenggara (pengelola) negara, para pengusaha
(konglomerat) sebagai mitra pemerintah serta seluruh rakyat atau
masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.
Kedua,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Outputnya melahirkan manusia yang
berbudi luhur, punya adab dan sopan santun (budaya) yang sangat tinggi,
mampu saling menghargai dan menghormati satu sama lain baik dalam
statusnya sebagai individu, anggota masyarakat maupun bagian dari
pemerintahan sehingga selalu menjunjung tinggi rasa adil dan keadilan.
Ketiga,
Persatuan Indonesia. Outputnya lahirnya rasa bangga terhadap
patriotisme untuk NKRI sehingga rasa kesatuan dan persatuan sebagai satu
bangsa Indonesia menjadi sesuatu harga mati (harus ada) dalam setiap
diri (pribadi) masyarakat Indonesia yang sangat dibutuhkan serta harus
kokoh.
Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dalam
Permusyawaratan dan Perwakilan. Outputnya adalah lahirnya rasa rendah
hati dan selalu memihak (pro) kepada rakyat (yang serba lemah dan papa)
dari para wakil rakyat yang duduk di parlemen, baik di DPR, MPR maupun
DPD, sehingga aspirasi dan suara (kepentingan) rakyat menjadi prioritas
utama kepentingan perjuangannya di parlemen.
Kelima,
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Outputnya adalah lahirnya
para pemimpin bangsa yang selalu berpijak dalam setiap langkah
aktifitasnya mengelola negara untuk tercapainya sebesar-besarnya dan
secepat-cepatnya kemakmuran rakyat melalui penerapan kebijakan (prinsip)
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali dan pandang bulu
(sama kedudukannya di depan hukum).
Negara dijalankan berlandasan
konstitusi UUD 1945 yang dijabarkan dalam bentuk pasal-pasal lebih
rinci sebagai pedoman penunjuk arah yang lurus, baik dan benar sesuai
dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, yaitu menuju
terwujudnya Indonesia Raya, yaitu NKRI yang tangguh, kuat, berperan
aktif dan positip dalam kancah (percaturan) bangsa-bangsa di dunia
(Internasional) yang didukung penuh oleh seluruh rakyatnya yang hidup
makmur dan sejahtera serta mendapat perlindungan hukum secara penuh dari
negaranya.
Adakah solusinya?
Tentu saja ada. Pertama,
kembalilah kepada nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar dan
falsafah negara. Pahami dan hayati isi serta maknanya, wujudkan
(implementasikan) dalam bentuk perilaku nyata (kepribadian bangsa)
sehari-hari. Kedua, jadikanlah UUD 1945 sebagai haluan (arah
dan pedoman) untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu
kesejahteraan rakyat yang adil dan merata. Implementasikan isi dan
pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945 tersebut secara konsekwen dan
konsisten, sehingga terwujud pemerintahan yang bersih, jujur, berwibawa
dan bertanggung jawab.
Surjono Hadi Sutjahjo
Guru
Besar Fakultas Pertanian IPB dan Staf Pengajar Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Belum ada tanggapan untuk "Negara Tanpa Haluan: Pengurasan Sumberdaya Alam dan Kerusakan Lingkungan Berkelanjutan"
Post a Comment