Mereka memanfaatkan limbah tahu menjadi biogas.
Ke mana pun bersembunyi di dalam rumah, Sumarni selalu terkepung bau
tak sedap. Celakanya itu berlangsung hampir 24 jam selama
bertahun-tahun. Bau tak sedap itu berasal dari limbah pembuatan tahu.
Suami Sumarni, Amin Sugianto dan sembilan produsen lain di Dusun Dringo,
Desa Bendung, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta,
memang membuat tahu setiap hari.
Sehari menjelang hari pasaran, seorang produsen mengolah 50 kg
kedelai; pada hari nonpasaran, 5 kg. Dalam sepekan terdapat dua hari
pasaran. Nah, limbah pembuatan tahu itu mereka buang ke selokan selebar
100 cm dan kedalaman 1 meter. Wajar jika bau tak sedap terus menguar.
Intesitas aroma tak sedap itu kian meningkat saat musim hujan.
Biogas
Menghadapi masalah itu warga tak berdaya. Mau protes juga tak
mungkin. Sebab, para produsen itu masih kerabat atau tetangga dekat.
Akhirnya selama bertahun-tahun mereka pasrah hingga pada 2007 Sumarni,
ketua UKM (Usaha Kecil Menengah) Sumber Mulyo, berembuk dengan warga
lain untuk mengatasi persoalan itu. Mereka mengajukan proposal ke Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi Yogyakarta. Hasilnya adalah pemanfaatan limbah
tahu itu menjadi biogas.
Akhirnya, pada Oktober 2010 masyarakat Dringo dan Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Yogyakarta didampingi lembaga Sanimas (Sanitasi Berbasis
Masyarakat) bergotong-royong membangun instalasi biogas. Pembuatan
instalasi itu membutuhkan waktu tiga bulan, sedangkan gas muncul tujuh
bulan pascapembangunan. Pembangunan instalasi biogas itu berefek ganda,
yakni mengatasi persoalan limbah cair tahu sekaligus memenuhi kebutuhan
bahan bakar rumah tangga.
Limbah cair tahu mengandung bahan organik. Bakteri metanogen mengubah
bahan organik itu menjadi biogas dalam fermentasi. Imam Sadzali dari
Departemen Fisika Universitas Indonesia menyebutkan 100 kg kedelai
menghasilkan 1,5 m3 atau 1.500 liter biogas. Jika dalam sehari perajin memproduksi tahu dari 50 kg kedelai, limbahnya menghasilkan 0,75 m3 atau 750 liter biogas.
Energi biogas tergantung dari konsentrasi gas metana (CH4).
Semakin tinggi konsentrasi metana, kian besar energi. Menurut periset
di Pusat Penelitian Listrik dan Mekatronika LIPI, Bandung, Jawa Barat,
Yaya Sudrajat, biogas tersusun oleh komponen seperti 40% metana, 38%
karbondioksida, air, dan sejumlah kecil gas lain seperti hidrogen
sulfida. Namun, perombakan limbah tahu menjadi biogas lebih lama
dibandingkan bahan lain seperti kotoran sapi.
Sebab, populasi bakteri dalam limbah tahu lebih rendah. “Di tempat
panas perlu sebulan untuk menghasilkan biogas dari limbah tahu,” kata
Yaya. Apalagi di daerah dingin, tentu perlu waktu lebih lama. Untuk
mengatasinya, Yaya menyarankan untuk menambahkan sepertiga bagian
kotoran sapi sebagai pemancing. Maklum, kotoran sapi secara alami
mengandung bakteri metanogen dari lambung rumen sapi. Menurut Yaya,
setiap 1 m3 atau 1.000 l limbah tahu menghasilkan 1,3 m3 gas metana.
Batu granit
Kini setelah limbah tahu termanfaatkan menjadi biogas, aroma tak
sedap sedap pun hilang. Warga Desa Bendung menggunakan biogas limbah
tahu untuk memasak. Sugianti, warga desa itu, menyalurkan limbah tahu
cair ke instalasi biogas yang terpisah dari saluran limbah lain,
terutama saluran limbah domestik yang kerap mengandung sabun atau
detergen. Detergen atau sabun dapat membunuh bakteri metanogen sehingga
mengganggu produksi biogas.
Instalasi utama biogas terdiri dari bak kontrol, bak inlet, digester,
bak pengendap, baffled reflector, dan filter anaerobik. Digester
berbentuk kubah berdinding bata berdiameter 6 m dengan ketinggian 10 m.
Kubah itulah “pabrik” biogas”, tempat penguraian limbah cair menjadi
metana. Untuk menghemat tempat dan melancarkan aliran limbah cair, kubah
itu dibangun di bawah tanah.
Di puncak kubah, terdapat lubang berdiameter 1 m sekaligus tempat
kran pengatur dan pipa distribusi untuk mengalirkan gas ke rumah warga.
Kran dan pipa pengatur ditutup buis beton yang biasa digunakan untuk
gorong-gorong. ”Supaya gas tidak bocor sekaligus melindungi kran dan
pipa distribusi,” ujar Amin Sugianto, yang terlibat langsung saat
pembangunan instalasi biogas.
Digester berisi batu granit yang tersusun vertikal ditopang dinding
penyekat berbahan beton cor berongga untuk pemasukan air. Batu granit
berfungsi sebagai penyerap gas hidrogen sulfida penyebab bau sekaligus
penjernih air sebelum dialirkan keluar. Menurut Satriyo Krido Wahono ST,
peneliti biogas di Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI,
Playen, Gunungkidul, Yogyakarta, kelebihan batu granit adalah memiliki
porositas yang tinggi sehingga dapat menyerap kotoran di air limbah.
Pemanasan global
Selain itu menurut Satriyo granit kemungkinan juga berfungsi untuk
menambah atau mempercepat aerasi, walaupun sebenarnya fermentasi
anaerobik di dalam digester sudah memiliki kemampuan untuk menaikkan
Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan menurunkan Chemical Oxygen Demand
(COD) sehingga tidak berbahaya lagi bagi lingkungan.
Sebelum air limbah tahu mengalir keluar filter anaerobik, air
mengendap sehingga komponen padat terpisah, lalu tersaring baffled
reflector. Kedua penyaring itu-filter anaerobik dan baffled
reflector-berfungsi menangkap bakteri dan sisa bahan organik agar tidak
terbawa keluar. Hasilnya, air yang mengalir keluar bersih sehingga bisa
mengairi sawah dan ladang.Toh, keduanya bukan harga mati. Di desa itu
ada 2 instalasi biogas, salah satunya tanpa bak pengendap, baffled
reflector, dan filter anaerobik. Hasilnya air buangan relatif bersih
sehingga dapat langsung mengairi lahan pertanian.
Untuk menggunakan biogas, calon konsumen cukup memasang pipa untuk
mengalirkan gas ke kompor. Hingga sekarang ada 50 kepala keluarga yang
menggunakan biogas limbah tahu di Desa Bendung. Setiap kepala keluarga
pengguna biogas limbah tahu membayar iuran Rp500 per hari alias Rp15.000
per bulan sebagai biaya perawatan. Menurut Sumarni, angka itu hanya
seperempat biaya bahan bakar bulanan masyarakat yang biasanya
menggunakan minyak tanah, kayu bakar, atau LPG.
Selain murah, biogas pun lebih aman. Menurut Yaya Sudrajat, tekanan
biogas hanya 0,2 atm-jauh lebih rendah ketimbang tekanan elpiji yang
mencapai 5 atm. Risiko meledak pun amat kecil. Selain itu, gas metana
itu sumber pemanasan global. Mengolah gas menjadi bahan bakar tentu
menyumbang proporsi cukup banyak dalam mengurangi pencemaran udara. (Susirani Kusumaputri)
Limbah Berubah Gas
- Limbah produksi tahu mengalir ke saluran limbah yang terhubung oleh
pipa hingga sampai di bak inlet. Dari situ limbah masuk ke biodigester.
- Sebagian biodigester terisi batu-batu granit asal gunung berap yang
disusun secara vertikal, dan ditopang oleh dinding penyekat dari cor.
Biodigester merupakan pabrik biogas, tempat penguraian limbah cair
menjadi gas metana yang bisa dipakai warga untuk memasak
- Air limbar tersisa masuk ke expansion chamber, dan bak pengendap
(settler). Air lalu masuk ke baffled reflector dan filter anaerobik,
berfungsi menangkap bakteri dan sisa bahan organik agar tidak terbawa
keluar.
- Air yang telah tersaring hingga bersih kemudian keluar dan bisa digunakan untuk mengairi sawah dan ladang.
Keterangan Foto :
- Tahu, dalam proses produksinya menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan
- Bagian atas biodigester, harus tertutup rapat agar gas tidak bocor.
- 100 kg kedelai menghasilkan 1,5 m3 biogas
- Sumarni (tengah, memegang buku), mengatasi limbah produksi tahu dengan mendirikan instalasi biogas.
- Memasak kini lebih hemat dengan menggunakan biogas limbah tahu
- Air limbah tahu yang telah disaring dapat digunakan untuk mengairi sawah dan ladang.
Belum ada tanggapan untuk "Memasak dengan Limbah Tahu (memanfaatkan limbah tahu menjadi biogas)"
Post a Comment