anpa ajir, ajir jemuran, dan ajir tegak. Tiga teknik itu kunci Suprayitno meraup untung, di saat pekebun lain buntung.
Hujan yang terus mengguyur sepanjang 2010 membuat pekebun melon di
sentra di Kulonprogo, Yogyakarta, resah. Kelembapan tinggi saat musim
hujan jadi kondisi nyaman buat cendawan penyebab buah busuk. Belum lagi
risiko lahan terendam air. Puncaknya terjadi pada September 2010.
Sebanyak 22 ha kebun melon di Kecamatan Galur, salah satu sentra di
Kulonprogo, gagal panen akibat buah terendam air.
Peristiwa buruk itu keruan saja membuat para pekebun kapok. Mereka
memilih kembali membudidayakan padi. “Pekebun di Kulonprogo biasanya
menanam melon sebagai tanaman sela setelah musim tanam padi pada Mei -
Agustus. Ketika kemarau air tidak mencukupi untuk menggenangi padi,”
kata kepala Seksi Sayuran dan Tanaman Obat Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Kulonprogo, Ir Tri Hidayatun.
Dua buah
Pengalaman pahit itu juga sempat menghantui Suprayitna. Namun,
pekebun melon di Desa Bageng, Kecamatan Panjatan, Kulonprogo, itu tetap
mengebunkan melon di lahan 3 ha. Maklum, Prayit sudah terikat kontrak
dengan para pedagang dan perusahaan pemasok buah untuk pasar swalayan.
Berbagai strategi pun disusun. Prayit memilih teknik budidaya
bermodal murah, tapi produktivitas tanaman tetap tinggi. “Kalaupun
nantinya gagal, kerugian tidak terlalu besar,” katanya. Salah satunya
dengan membudidayakan melon menggunakan ajir yang dibuat seperti tiang
jemuran, biasanya ajir tegak. Tiang itu berupa ajir bambu setinggi lutut
orang dewasa yang dipasang memanjang searah guludan.
Menurut Prayit, dengan teknik “tiang jemuran” itu pada setiap tanaman
dapat dipertahankan 2 - 3 buah berbobot 2 kg/buah. Untuk itu dosis
pupuk memang meningkat. Contohnya bila pupuk awal pada ajir tegak hanya
25 g NPK mutiara/lubang tanam, maka pada ajir tiang jemuran minimal 35
g.
Dosis pupuk susulan sama. Setiap tanaman diberi 300 - 400 ml larutan
Urea dengan konsentrasi 2 kg/100 liter air dan larutan NPK mutiara
dengan dosis dan konsentrasi sama. Pupuk susulan diberikan sejak 7 hari
setelah tanam dengan interval setiap 10 hari hingga umur 60 hari. Total
biaya produksi hanya Rp2.700/tanaman karena kebutuhan ajir lebih
sedikit. Sedangkan ajir tegak Rp3.500 per tanaman.
Dengan populasi 17.500 tanaman, pada ajir tegak 25.000 tanaman, total
produksi mencapai 70 ton/ha. Memang jaring pada kulit melon - salah
satu ukuran kualitas buah baik - berkurang. “Tapi saat kondisi pasar
kekurangan pasokan seperti sekarang ini, kualitas buah seperti itu masih
bisa masuk ke pasar swalayan,” katanya. Harga jual di kebun Rp3.000/kg,
lebih rendah daripada melon hasil budidaya dengan ajir tegak yang
mencapai Rp3.500/kg. Toh meski begitu, Prayit masih menuai laba
Rp162,75-juta. Pada penanaman ajir tegak labanya Rp131,25-juta.
Tanpa ajir
Menurut I Nyoman Sukarata, produsen melon di Tapos, Bogor, Jawa
Barat, metode ajir memanjang tergolong baru karena belum banyak
diterapkan pekebun. Namun, dengan cara itu sulur dan daun cenderung
bergerombol sehingga pekebun mesti rajin menyingkap dan menata daun
agar tidak saling menutupi. “Daun yang saling menutupi bisa menghambat
fotosintesis sehingga dikhawatirkan pertumbuhan tanaman malah
tersendat,” kata Nyoman.
Berbarengan dengan itu, Prayit juga membudidayakan melon tanpa ajir
sama sekali. Tanaman dibiarkan menghampar di permukaan guludan selebar 2
m. Melon ditanam 2 lajur dengan jarak tanam 30 cm, mirip budidaya
semangka. Dengan cara itu, populasi tanaman hanya 12.500 tanaman/ha.
Biayanya, Rp2.000/tanaman.
Menurut ahli buah, Ir Wijaya MS, teknik budidaya tanpa ajir berisiko
tinggi apalagi saat musim hujan. Buah yang langsung menyentuh permukaan
tanah yang basah rawan busuk. Prayit mengatasinya dengan menutup
permukaan tanah dengan mulsa plastik. Mulsa melindungi tanah dari air
hujan sehingga tetap kering. Air hujan langsung jatuh ke parit di
samping guludan. Untuk mencegah serangan cendawan, Prayit rutin
menyemprotkan fungisida setiap 3 - 4 hari. Ia juga meninggikan guludan
hingga setinggi 60 cm agar tanaman tidak tergenang saat hujan.
Alhasil, cara itu mampu menyelamatkan melon hingga panen. Bahkan, 50%
hasil panen bisa masuk pasar swalayan. Hitung-hitungan Prayit, produksi
melon tanpa ajir mencapai 2 - 3 buah per tanaman dengan bobot rata-rata
2 kg/buah. Jadi, total produksi buah 4 - 6 kg/tanaman atau 50 - 75
ton/ha. Dengan harga jual buah Rp3.000/kg dan dikurangi biaya produksi
Rp25-juta/ha, pendapatan bersih Rp125-juta - Rp200-juta/ha.
Untuk memasok pasar modern yang mematok standar ketat kualitas buah,
Prayit tetap membudidayakan melon dengan ajir tegak seluas 1 ha. Teknik
itu paling ideal menghasilkan melon berkualitas tinggi meski mahal.
Dengan kombinasi 3 teknik budidaya, Prayit tetap meraup untung di saat
pekebun lain merugi akibat cuaca yang tidak menentu. (Imam Wiguna)
Tiang Jemuran
Populasi : 17.500 tanaman/ha
Kebutuhan ajir : 15.000 ajir (panjang 2 m)
Pemakaian mulsa plastik: Ya
Produksi per tanaman : 2 - 3 buah
Bobot buah : 2 kg
Produksi per luasan panen : 70 - 105 ton/ha
Harga jual : Rp3.000/kg
Biaya produksi Rp2.700/tanaman
|
Tanpa Ajir
Populasi : 12.500 tanaman/ha
Kebutuhan ajir : Tidak ada
Pemakaian mulsa plastik : Ya
Produksi per tanaman : 2 - 3 buah
Bobot buah : 2 kg
Produksi per luasan panen : 50 - 75 ton/ha
Harga jual : Rp3.000/kg
Biaya produksi : Rp2.000/tanaman
|
Ajir Tegak
Populasi : 25.000 tanaman/ha
Kebutuhan ajir: 31.000 ajir (panjang 2 m)
Pemakaian mulsa plastik: Ya
Produksi per tanaman: 1 buah
Bobot buah : 2,5 - 3 kg
Produksi per luasan panen: 62,5 - 75 ton/ha
Harga jual : Rp3.500/kg
Biaya produksi : Rp3.500/tanaman
Belum ada tanggapan untuk "Melon Tiang Jemuran: Antihujan, Produksi Menjulang "
Post a Comment