Friday, December 28, 2012

Ikon Herbal Nusantara


Korea rajanya ginseng, Malaysia punya tongkat ali. Indonesia? “Temulawak herbalnya,” tutur Prof Yaya Rukayadi, PhD. 
Perlu penelitian dan kerjasama terpadu antara masyarakat, peneliti, dan pemerintah untuk mengenalkan temulawak Indonesia ke kancah mancanegara

Profesor muda asal Situraja, Sumedang, Jawa Barat, itu bukan sekadar berujar. Banyak alasan kuat menjadikan temulawak sebagai ikon herbal Indonesia. Pasalnya, sebagai negara megabiodiversitas, 30.000-an jenis tumbuhan obat asal daerah tropis tumbuh baik di tanahair.
Masyarakat Indonesia tentu sudah akrab dengan Curcuma xanthorriza dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman nenek moyang hingga kini. Hasil pengamatan Yaya menunjukkan bahwa hampir semua jamu mengandung komponen utama rimpang temulawak. Itulah sebabnya, sudah selayaknya Indonesia memiliki ikon ramuan kesehatan, yaitu temulawak.

Multikhasiat
Riset membuktikan temulawak memiliki beragam manfaat seperti anticendawan, antiinflamasi, dan antibakteri. Bahkan, penelitian lain menyebutkan bahwa tanaman anggota keluarga Zingiberaceae itu berkhasiat menjaga fungsi hati, meningkatkan vitalitas, dan mengurangi kelelahan fisik.
Masyarakat acap kali mengolah temulawak menjadi makanan dan minuman tambahan alias suplemen. Misalnya teh herbal dan camilan manisan temulawak. Itu tentu berbeda dengan brotowali Tinospora crispa dan mahkota dewa Phaleria macrocarpha yang hanya berfungsi untuk pengobatan.
Melimpahnya khasiat itu membuat Yaya Rukaryadi fokus meneliti temulawak sejak 2000 hingga kini. Saat mulai meneliti ia dosen di Yonsei University, Seoul, Korea Selatan. Untuk memenuhi pasokan bahan baku penelitian hasil kerja sama antara Yonsei University, Institut Pertanian Bogor, dan Kementerian Pertanian Republik Indonesia itu, Yaya mendatangkan temulawak produksi para petani dari Tembalang, Jawa Tengah, ke negeri ginseng itu. Mafhum, temulawak tak dapat tumbuh di daerah subtropis. “Inilah salah satu bukti kecintaan saya pada Indonesia. Secara fisik saya tidak tinggal di tanahair,” ungkap doktor alumnus Institut Pertanian Bogor itu.
Secara historis dan etnobotani, kita bisa mengatakan bahwa temulawak merupakan tanaman asli Indonesia. Secara alami, tanaman rimpang ini tumbuh baik di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku bagian selatan. Saat ini temulawak sudah tersebar di berbagai tempat, bahkan hingga di mancanegara.
Kurang publikasi
Beragam jamu memanfaatkan rimpang temulawak sebagai bahan baku. Kata jamu berasal dari bahasa Jawa, yakni jampi dan husada, yang artinya ramuan kesehatan. Secara terminologis, jamu memang merupakan ramuan asli Indonesia. Negara lain pun memiliki istilah berbeda bermakna serupa. Sebut saja Korea dengan hanyak, paduan kata han berarti Korea dan yak bermakna obat. Masyarakat Malaysia menyebut obat kampong.
Sayangnya di Indonesia, ikon herbal belum ada. Menurut Yaya Rukayadi yang kini dosen di Universiti Putra Malaysia, minimnya publikasi ilmiah internasional asal perguruan tinggi di tanahair menjadi salah satu faktor. Meski ada beberapa penelitian ilmiah temulawak, tetapi khasiatnya di dunia pengobatan belum dikenal luas karena kurang publikasi.
Berbeda dengan kondisi di negeri tetangga, Malaysia. Peneliti di sana giat mempublikasikan hasil penelitiannya di berbagai jurnal internasional. Wajar produk-produk Malaysia lebih dikenal luas di dunia seperti herbal tongkat ali Eurycoma longifolia. Dunia lebih mengenalnya tongkat ali dibandingkan pasak bumi, sebutan di Indonesia. Bahkan saat kita mengetik nama ilmiah tersebut pada mesin pencari otomatis di dunia maya, tongkat ali menjadi referensi utama.
Faktor berikutnya ialah kurangnya penelitian ilmiah terhadap temulawak. Meski temulawak mengandung zat dan khasiat yang bermanfaat, tetapi data dan bukti yang akurat belum ada sehingga sulit dipastikan kebenarannya. Secara empiris, masyarakat percaya bahwa temulawak berkhasiat menambah nafsu makan, menghaluskan kulit, dan antikanker. Sayang, data dan bukti ilmiah yang mendukung masih jarang ditemui.
Konsumsi tinggi
Bila menghendaki temulawak menjadi ikon herbal, masyarakat dalam negeri harus banyak mengonsumsinya. Namun, bagi banyak kalangan, terutama kaum hawa, enggan mengonsumsi temulawak karena khawatir meningkatkan nafsu makan. Fenomena itu sangatlah bertentangan dengan upaya peningkatan konsumsi dalam negeri. Sebab sindrom itu berpotensi menurunkan angka konsumsi masyarakat terhadap temulawak.
Sebaiknya kita meniru usaha Korea yang menjadikan ginseng sebagai ikon herbal negaranya. Padahal Korea bukan produsen terbesar ginseng. Justru Kanada dan Cinalah produsen ginseng dunia. Bahkan, Korea mengimpor bahan baku ginseng dari dua negara itu. Lantas mengapa julukan itu begitu melekat?
Menurut Prof Yaya Rukayadi, PhD, itu karena keseriusan dan tekad kuat Korea untuk menciptakan brand ginseng di negaranya. Rencana dan upaya yang sistematis mereka jalankan. Bahkan mereka mendirikan berbagai pusat dan balai penelitian khusus yang meneliti kandungan ginseng. Institusi itu berperan mengeksplorasi, meneliti, dan mengembangkan produk ginseng. Data kandungan dan khasiat ginseng terbukti secara ilmiah, bukan sekadar mitos dan kepercayaan turun-temurun. Adanya data penelitian membuat masyarakat Korea terdorong untuk mengonsumsi ginseng. Tingkat konsumsi rakyat Korea terhadap ginseng pun sangat tinggi.
Upaya publikasi dan menjual temulawak di kancah nasional dan internasional telah dilakukan. Kongres yang mengusung tema temulawak pernah diselenggarakan pada 2008 dan 2011. Pada kegiatan hasil kerja sama antara Pusat Penelitian Biofarmaka Institut Pertanian Bogor dan pemerintah itu Profesor Yaya mempresentasikan hasil penelitiannya mengenai temulawak. Perhelatan seperti itu, menyebabkan masyarakat lebih mengenal temulawak dan Indonesia.
Korea butuh waktu 18-20 tahun hingga sohor sebagai negeri ginseng. Baiknya upaya penelitian bukan hanya sebatas pada temulawak. Akan tetapi juga kandungan dan khasiat herbal lain. Profesor Yaya sempat mengutip perkataan seorang praktikus jamu Indonesia, bahwa bukan tidak mungkin industri jamu Indonesia mengalami kepunahan 15-20 tahun mendatang. Alasannya sederhana, konsumen semakin cerdas dan dihadapkan pada banyak pilihan. Mereka memilih dan mengonsumsi produk yang memang terbukti dan data ilmiah hasil penelitian mengenai khasiatnya. Dalam menentukan pilihan, mereka tidak mengandalkan pada mitos dan kepercayaan masyarakat yang belum tentu benar. Lambat laun, mereka meninggalkan produk-produk yang khasiatnya masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah.
Faktor paling utama dalam memajukan peran temulawak adalah dukungan pemerintah. Hingga saat ini, pemerintah kurang memperhatikan perkembangan herbal potensial. Jika ada dukungan pun, hanya bersifat slogan. Meski demikian, menciptakan merek negara bukanlah usaha gampang. Bila semua berpadu, temulawak menjadi ikon herbal Nusantara. (Noerhidajat, mahasiswa Universiti Putra Malaysia)

Keterangan Foto :
  1. Perlu penelitian dan kerjasama terpadu antara masyarakat, peneliti, dan pemerintah untuk mengenalkan temulawak Indonesia ke kancah mancanegara
  2. Temulawak Curcuma xanthorriza menuju ikon herbal nusantara
  3. Temulawak kerap diolah menjadi makanan dan minuman tambahan alias suplemen
  4. Korea dikenal sebagai negeri ginseng berkat dukungan pemerintah untuk menguji kandungan dan manfaat ginseng secara ilmiah
  5. Pasak bumi lebih mendunia dengan sebutan tongkat ali

No comments:

Post a Comment