Friday, December 28, 2012

Pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar

“Pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar untuk saat ini sepertinya tidak berarti, tetapi pada saatnya nanti akan menjadi penting, sebagaimana minyak bumi.”
Seratus tahun lampau, Rudolf Christian Diesel menyatakan hal tersebut ketika berpidato menerima hak paten bernomor 608845 atas temuan mesin minyak yang kini sohor sebagai mesin diesel. Pada mesin diesel bahan bakar disemprotkan langsung ke ruang pembakaran. Pembakaran terjadi dengan sendirinya akibat peningkatan suhu. Pada mesin bensin, pembakaran akibat percikan bunga api busi. Diesel menemukan mesin pada 10 Agustus 1893 ketika usianya 35 tahun. Semula ia memanfaatkan minyak kacang sebagai bahan bakar.
Demikian juga Henry Ford yang lima tahun lebih muda daripada Diesel. Ford memanfaatkan minyak jagung sebagai bahan bakar. Setelah seratus tahun berlalu, bahan bakar nabati di negeri ini ternyata belum menjadi penting. Menurut ahli bioenergi dari Badan Pengkajian dan Penerepan Teknologi, Dr Ir Arif Yudiarto, penggunaan bioenergi hanya menunggu kemauan pemerintah. Sebagai negara megabiodeversitas, Indonesia kaya bahan baku.
Kompetisi
Beberapa contoh bahan baku bioenergi adalah sorgum, sagu, singkong, tebu untuk bioetanol serta jarak pagar, kelapa sawit, nyamplung, dan tengkawang untuk biodiesel. Sagu, misalnya, hanya perlu dua kg untuk menghasilkan 1 liter bioetanol. Arif mengatakan, saat ini harga 1 liter premium di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua, Rp13.000. Padahal, hutan sagu di Mappi relatif luas, tetapi banyak pohon membusuk karena tak termanfaatkan. Arif menghitung biaya produksi 1 liter bioetanol-di luar bahan baku-saat ini Rp2.000. Jika harga 1 kg pati sagu Rp3.000-Rp4.000 pun, masih sangat ekonomis dibanding harga premium di sana.
Lagi pula untuk membuat bioetanol dari sagu, produsen dapat memanfaatkan kayu batang Metroxylon sagu sebagai bahan bakar. Sayang, potensi besar itu belum termanfaatkan. Menurut ahli sagu dari Universitas Pattimura, Prof Dr Julius Elseos Louhenapessy, minimal 4,6-juta ton sagu membusuk setiap tahun. Itu setara dengan 2,3-juta liter bioetanol. “Pemerintah daerah seperti Mappi harus berani memulai menggunakan bioetanol. Kalau perlu beli mobil khusus dari Brasil yang berbahan baku bioetanol untuk percontohan,” kata Arif.
Menurut persiet di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Roy Hendroko, serat kasar alias selulosa yang menumpuk menjadi limbah juga berpotensi. Contohnya ada di depan mata, yakni limbah pabrik gula atau tandan kosong kelapa sawit. “Jika bisa diolah menjadi bahan bakar, itu berefek ganda menyelesaikan masalah limbah sekaligus memenuhi keperluan bahan bakar,” kata Roy.
Kekhawatiran banyak kalangan jika kita memanfaatkan bioetanol adalah kompetisi antara pangan dan energi. Namun, menurut doktor alumnus Tokyo University of Agriculture itu untuk mencegah kompetisi pangan-energi, kini juga terdapat varietas-varietas unggul. Jika semula produktivitas singkong hanya 20-30 ton per ha, maka saat ini ada darul hidayah atau cicurug yang mampu menghasilkan ratusan ton per ha.
Brasil yang menerapkan bioenergi sejak 1970-an pernah mengalami hal sama. Pada 2011, permintaan dan harga gula di pasar domestik kian membaik, sehingga negara paling banyak penduduknya di Amerika Selatan itu mengarahkan tebu untuk gula. Untuk mencukupi kebutuhan bioetanol di dalam negeri, Brasil mengimpor dari Amerika Serikat. Selain bahan baku yang melimpah, teknologi produksi bioenergi juga tak njlimet.
Masyarakat Jawa sudah mengenal ciu alias bioetanol dari tetes tebu pada zaman kerajaan Singosari-700 tahun silam. Itu berkat tentara Kubilai Khan yang mengajarkan proses produksi. Jika bahan tersedia, masyarakat menguasai teknologi produksi, dan bahan bakar nabati kompatibel dengan mesin, maka yang diperlukan adalah kemauan pemerintah menggunakannya. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah No 5/2006 dalam kurun 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48-miliar liter bensin dengan bioetanol lantaran kian menipisnya cadangan minyak bumi.
Pada 2011-2015 persentase meningkat menjadi 10%, dan 15% pada 2016-2025. Arif mengatakan negara kepulauan seperti Indoensia memang paling pas memanfaatkan bioetanol. Sebab, banyak pulau-pulau kecil yang tak mendapat distribusi dari Pertamina. Jika di berbagai area di negeri ini memproduksi dan memanfaatkan bioenergi, kebutuhan energi lebih mudah tercukupi. Namun, hingga kini kita tetap menggantungkan pada bahan bakar minyak yang tak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, bahan bakar minyak akan habis. Penggunaan bioenergi adalah sebuah keniscayaan. Itu hanya menunggu waktu. (Sardi Duryatmo)

Keterangan Foto :
  1. Sorgum bahan baku bioetanol. Satu liter bioetanol berasal dari 3 kg sorgum
  2. Industri bioenergi skala rumahan sesuai untuk negara kepulauan
  3. Dengan teknologi enzim buatan, hanya perlu 2,5 kg singkong untuk memproduksi 1 liter bioetanol; sebelumnya, 6 kg
  4. Bioetanol kompatibel dengan mesin mobil

No comments:

Post a Comment