“Pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar untuk saat ini
sepertinya tidak berarti, tetapi pada saatnya nanti akan menjadi
penting, sebagaimana minyak bumi.”
Seratus tahun lampau, Rudolf Christian Diesel menyatakan hal tersebut
ketika berpidato menerima hak paten bernomor 608845 atas temuan mesin
minyak yang kini sohor sebagai mesin diesel. Pada mesin diesel bahan
bakar disemprotkan langsung ke ruang pembakaran. Pembakaran terjadi
dengan sendirinya akibat peningkatan suhu. Pada mesin bensin, pembakaran
akibat percikan bunga api busi. Diesel menemukan mesin pada 10 Agustus
1893 ketika usianya 35 tahun. Semula ia memanfaatkan minyak kacang
sebagai bahan bakar.
Demikian juga Henry Ford yang lima tahun lebih muda daripada Diesel.
Ford memanfaatkan minyak jagung sebagai bahan bakar. Setelah seratus
tahun berlalu, bahan bakar nabati di negeri ini ternyata belum menjadi
penting. Menurut ahli bioenergi dari Badan Pengkajian dan Penerepan
Teknologi, Dr Ir Arif Yudiarto, penggunaan bioenergi hanya menunggu
kemauan pemerintah. Sebagai negara megabiodeversitas, Indonesia kaya
bahan baku.
Kompetisi
Beberapa contoh bahan baku bioenergi adalah sorgum, sagu, singkong,
tebu untuk bioetanol serta jarak pagar, kelapa sawit, nyamplung, dan
tengkawang untuk biodiesel. Sagu, misalnya, hanya perlu dua kg untuk
menghasilkan 1 liter bioetanol. Arif mengatakan, saat ini harga 1 liter
premium di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua, Rp13.000. Padahal, hutan
sagu di Mappi relatif luas, tetapi banyak pohon membusuk karena tak
termanfaatkan. Arif menghitung biaya produksi 1 liter bioetanol-di luar
bahan baku-saat ini Rp2.000. Jika harga 1 kg pati sagu Rp3.000-Rp4.000
pun, masih sangat ekonomis dibanding harga premium di sana.
Lagi pula untuk membuat bioetanol dari sagu, produsen dapat
memanfaatkan kayu batang Metroxylon sagu sebagai bahan bakar. Sayang,
potensi besar itu belum termanfaatkan. Menurut ahli sagu dari
Universitas Pattimura, Prof Dr Julius Elseos Louhenapessy, minimal
4,6-juta ton sagu membusuk setiap tahun. Itu setara dengan 2,3-juta
liter bioetanol. “Pemerintah daerah seperti Mappi harus berani memulai
menggunakan bioetanol. Kalau perlu beli mobil khusus dari Brasil yang
berbahan baku bioetanol untuk percontohan,” kata Arif.
Menurut persiet di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Roy
Hendroko, serat kasar alias selulosa yang menumpuk menjadi limbah juga
berpotensi. Contohnya ada di depan mata, yakni limbah pabrik gula atau
tandan kosong kelapa sawit. “Jika bisa diolah menjadi bahan bakar, itu
berefek ganda menyelesaikan masalah limbah sekaligus memenuhi keperluan
bahan bakar,” kata Roy.
Kekhawatiran banyak kalangan jika kita memanfaatkan bioetanol adalah
kompetisi antara pangan dan energi. Namun, menurut doktor alumnus Tokyo
University of Agriculture itu untuk mencegah kompetisi pangan-energi,
kini juga terdapat varietas-varietas unggul. Jika semula produktivitas
singkong hanya 20-30 ton per ha, maka saat ini ada darul hidayah atau
cicurug yang mampu menghasilkan ratusan ton per ha.
Brasil yang menerapkan bioenergi sejak 1970-an pernah mengalami hal
sama. Pada 2011, permintaan dan harga gula di pasar domestik kian
membaik, sehingga negara paling banyak penduduknya di Amerika Selatan
itu mengarahkan tebu untuk gula. Untuk mencukupi kebutuhan bioetanol di
dalam negeri, Brasil mengimpor dari Amerika Serikat. Selain bahan baku
yang melimpah, teknologi produksi bioenergi juga tak njlimet.
Masyarakat Jawa sudah mengenal ciu alias bioetanol dari tetes tebu
pada zaman kerajaan Singosari-700 tahun silam. Itu berkat tentara
Kubilai Khan yang mengajarkan proses produksi. Jika bahan tersedia,
masyarakat menguasai teknologi produksi, dan bahan bakar nabati
kompatibel dengan mesin, maka yang diperlukan adalah kemauan pemerintah
menggunakannya. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah No 5/2006 dalam
kurun 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48-miliar liter
bensin dengan bioetanol lantaran kian menipisnya cadangan minyak bumi.
Pada 2011-2015 persentase meningkat menjadi 10%, dan 15% pada
2016-2025. Arif mengatakan negara kepulauan seperti Indoensia memang
paling pas memanfaatkan bioetanol. Sebab, banyak pulau-pulau kecil yang
tak mendapat distribusi dari Pertamina. Jika di berbagai area di negeri
ini memproduksi dan memanfaatkan bioenergi, kebutuhan energi lebih mudah
tercukupi. Namun, hingga kini kita tetap menggantungkan pada bahan
bakar minyak yang tak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, bahan bakar
minyak akan habis. Penggunaan bioenergi adalah sebuah keniscayaan. Itu
hanya menunggu waktu. (Sardi Duryatmo)
Keterangan Foto :
- Sorgum bahan baku bioetanol. Satu liter bioetanol berasal dari 3 kg sorgum
- Industri bioenergi skala rumahan sesuai untuk negara kepulauan
- Dengan teknologi enzim buatan, hanya perlu 2,5 kg singkong untuk memproduksi 1 liter bioetanol; sebelumnya, 6 kg
- Bioetanol kompatibel dengan mesin mobil
No comments:
Post a Comment