ASURANSI DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (SYARIAH)
Oleh: Budi Setyawan, SH
A. PENDAHULUAN
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, negara-negara di dunia saling berlomba untuk meningkatkan perekonomiannya. Perdagangan bebas menjadi isu yang dominan dalam persaingan untuk memperebutkan pasar. Hampir semua negara di dunia tidak bisa menghindari upaya liberalisasi di bidang ekonomi. Dampak nyata dari liberalisasi ekonomi adalah imbasnya terhadap masyarakat. Masyarakat ikut memikul segala risiko beserta konsekuensi dari pesatnya arus persaingan ekonomi. Tata pergaulan masyarakat khususnya masyarakat modern seperti sekarang ini, membutuhkan suatu institusi atau lembaga yang bersedia mengambil alih risiko-risiko masyarakat baik risiko individu maupun risiko kelompok.
Masyarakat sampai sekarang ini mempunyai kandungan risiko relatif lebih tinggi dibanding dengan waktu lampau karena kemajuan teknologi di segala bidang. Kemajuan teknologi yang sedemikian rupa mempengaruhi kehidupan manusia, dan dapat menimbulkan risiko yang lebih luas. Dengan demikian lembaga yang mempunyai kemampuan untuk mengambil alih risiko pihak lain adalah lembaga asuransi. Perusahaan asuransi mempunyai jangkauan yang sangat luas karena perusahaan asuransi tersebut mempunyai jangkauan yang menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. Di samping itu, perusahaan asuransi juga menjangkau kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas (Sri Rejeki H., 1997: 18 ).
Asal mula kegiatan asuransi yang dijalankan di Indonesia merupakan kelanjutan asuransi yang ditinggalkan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kegiatan perasuransian baru mulai pada tahun 1976 dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan pada waktu itu. Dan pada saat ini perkembangan asuransi di Indonesia belum sepesat seperti negara-negara maju bahkan apabila 16 dibandingkan dengan negara-negara berkembang sekalipun (Kasmir, 2002: 277).
Perjanjian asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko mempunyai kegunaan yang positif baik bagi masyarakat, perusahaan maupun bagi pembangunan negara. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Tahun 1979, Emmy Pangaribuan Simanjuntak menyatakan bahwa mereka yang menutup perjanjian asuransi akan merasa tentram sebab mendapat perlindungan dari kemungkinan tertimpa suatu kerugian. Suatu perusahaan yang mengalihkan risikonya melalui perjanjian asuransi akan dapat meningkatkan usahanya dan berani menggalang tujuan yang lebih besar. Demikian pula premi-premi yang terkumpul dalam suatu perusahaan asuransi dapat diusahakan dan digunakan sebagai dana untuk usaha pembangunan. Hasilnya akan dapat dinikmati masyarakat.
Usaha pemerintah untuk mengembangkan bidang usaha asuransi ini juga tampak, misalnya dengan mengeluarkan berbagai peraturan tentang perizinan usaha perusahaan asuransi jiwa, tata cara perizinan usaha dan pemenuhan deposito perusahaan-perusahaan asuransi kerugian, pengawasan atas usaha perasuransian dan sebagainya. Berdasarkan keadaan perekonomian Indonesia pada saat ini yaitudalam bidang asuransi, umat Islam tertarik dengan institusi perekonomian yang membawa mereka maju di dunia modern ini, asalkan selaras dengan semangat agama dan prinsip Hukum Islam. Tetapi persoalan yang hangat
dibicarakan di dunia Islam dewasa ini mengenai halal atau haramnya asuransi itu sendiri.
Di tengah-tengah perkembangan asuransi di Indonesia, masih tersisa adanya kesan negatif bahwa asuransi konvensional itu hanya mau
menerima premi tapi ketika terjadi musibah, perusahaan asuransi tidak mau membayar klaim. Walau memang sebenarnya alasan tersebut masuk akal, tidak mudah untuk membayar klaim, karena asuransi adalah pengelola dana milik bersama dan tidak sembarang memberikan uang kepada seorang nasabah yang mengajukan klaim tanpa terlebih dahulu menyelidikinya.
- Seseorang yang ikut asuransi harus mendaftarkan diri menjadi anggota dan diwajibkan untuk membayar premi secara rutin;
- Asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual beli) pada kenyataannya lebih cenderung sebagai usaha bisnis berskala besar sementara sisi bantuan sosial hanya menjadi lips service (penghias) sementara hakikatnya tidak lain merupakan pemerasan dan kerja rentenir;
- Akad asuransi konvensional adalah akad gharar (ketidakjelasan) karena masing-masing dari kedua belah pihak (penanggung dan tertanggung) pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang ia ambil. Akad asuransi ini juga disebut akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahaan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki oleh tertanggung;
- Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi. Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para peserta yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek riba.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
- Bagaimanakan pengertian dan prinsip-prinsip asuransi (umum) dan asuransi syariah?
- Bagaimanakan perbandingan asuransi syariah dengan asuransi (umum) konvensional?
C. PEMBAHASAN
C.1 Pengertian Asuransi Umum dan Asuransi Syariah
Banyak definisi yang telah diberikan kepada istilah asuransi, dimana secara sepintas tidak ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena mereka dalam mendefinisikannya disesuaikan dengan sudut pandang yang mereka gunakan dalam memandang asuransi, dimana sesuai dengan uraian diatas bahwa asuransi dapat dipandang dari beberapa sudut.
Definsi-definisi tersebut antara lain :
- Definisi asuransi menurut Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Republik Indonesia : “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggungdengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu” Berdasarkan definisi tersebut, maka dalam asuransi terkandung 4 unsur, yaitu :
- Pihak tertanggung (insured) yang berjanji untuk membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur.
- Pihak penanggung (insure) yang berjanji akan membayar sejumlah uang (santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur apabila terjadi sesuatu yang mengandung unsur tak tertentu.
- Suatu peristiwa (accident) yang tak terntentu (tidak diketahui sebelumnya).
- Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian karena peristiwa yang tak tertentu.
- Definisi asuransi menurut Prof. Mehr dan Cammack : “Asuransi merupakan suatu alat untuk mengurangi resiko keuangan, dengan cara pengumpulan unit-unit exposure dalam jumlah yang memadai, untuk membuat agar kerugian individu dapat diperkirakan. Kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung”.
- Definisi asuransi menurut Prof. Mark R. Green: “Asuransi adalah suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah obyek yang cukup besar jumlahnya, sehingga kerugian tersebut secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu”.
- Definisi asuransi menurut C.Arthur William Jr dan Richard M. Heins,yang mendefinisikan asuransi berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:
- “Asuransi adalah suatu pengaman terhadap kerugian finansial yang dilakukan oleh seorang penanggung”.
- “.Asuransi adalah suatu persetujuan dengan mana dua atau lebih orang atau badan mengumpulkan dana untuk menanggulangi kerugian finansial”.
- Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992
Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Badan yang menyalurkan risiko disebut “tertanggung”, dan badan yang menerima risiko disebut “penanggung”. Perjanjian antara kedua badan ini disebut
kebijakan: ini adalah sebuah
kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi.
Biaya yang dibayar oleh “tetanggung” kepada “penanggung” untuk risiko yang ditanggung disebut “premi”. Ini biasanya ditentukan oleh “penanggung” untuk dana yang bisa diklaim di masa depan, biaya
administratif, dan
keuntungan.
Contohnya, seorang pasangan membeli
rumah seharga Rp. 100 juta. Mengetahui bahwa kehilangan rumah mereka akan membawa mereka kepada kehancuran finansial, mereka mengambil perlindungan asuransi dalam bentuk kebijakan kepemilikan rumah. Kebijakan tersebut akan membayar penggantian atau perbaikan rumah mereka bila terjadi bencana. Perusahaan asuransi mengenai mereka premi sebesar Rp1 juta per tahun. Risiko kehilangan rumah telah disalurkan dari pemilik rumah ke
perusahaan asuransi.
[2]
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas kiranya mengenai definisi asuransi yang dapat mencakup semua sudut pandang : “Asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada perekonomian, dengan cara manggabungkan sejumlah unit-unit yang terkena risiko yang sama atau hampir sama, dalam jumlah yang cukup besar, agar probabilitas kerugiannya dapat diramalkan dan bila kerugian yang diramalkan terjadi akan dibagi secara proposional oleh semua pihak dalam gabungan itu”.
Pengertian Asuransi bila di tinjau dari segi hukum adalah: “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dimana pihak tertanggung mengikat diri kepada penanggung, dengan menerima premi-premi Asuransi untuk memberi penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan di derita tertanggung karena suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberi pembayaran atas meninggal atau hidupnya seseorang yang di pertanggungkan. “
PRINSIP – PRINSIP POKOK ASURANSI
Ada beberapa prinsip-prinsip pokok Asuransi yang sangat penting yang harus di penuhi baik oleh tertanggung maupun penanggung agar kontrak/perjanjian Asuransi berlaku (tidak batal). Adapun prinsip2 pokok Asuransi tersebut sbb:
- Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith)
- Prinsip kepentingan yang dapat di Asuransikan (Insurable Interest)
- Prinsip Ganti Rugi (Indemnity)
- Prinsip Subrogasi (Subrogation)
- Prinsip Kontribusi (Contribution)
- Prinsip Sebab Akibat (Proximate Cause)
FUNGSI ASURANSI :
- Transfer Resiko
Dengan membayar premi yang relatif kecil, seseorang atau perusahaan dapat memindahkan ketidakpastian atas hidup dan harta bendanya (resiko) ke perusahaan asuransi
- Kumpulan Dana
Premi yang diterima kemudian dihimpun oleh perusahaan asuransi sebagai dana untuk membayar resiko yang terjadi
Ditinjau dari beberapa sudut, maka asuransi mempunyai tujuan dan teknik pemecahan yang bermacam-macam, antara lain:
- Dari segi Ekonomi, maka :
Tujuannya: Mengurangi ketidak pastian dari hasil usaha yang dilakukan oleh seseorang atau perusahaan dalam rangka memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan.
Tekniknya: Dengan cara mengalihkan risiko pada pihak lain dan pihak lain mengkombinasikan sejumlah risiko yang cukup besar, sehingga dapat diperkirakan dengan lebih tepat besarnya kemungkinan terjadinya kerugian.
- Dari segi Hukum, maka :
Tujuannya: Memindahkan risiko yang dihadapi oleh suatu obyek atau suatu kegiatan bisnis kepada pihak lain.
Tekniknya: Melalui pembayaran premi oleh tertanggung kepada penanggung dalam kontrak ganti rugi (polis asuransi), maka risiko beralih kepada penanggung.
- Dari segi Tata Niaga, maka :
Tujuannya Membagi risiko yang dihadapi kepada semua peserta program asuransi.
Tekniknya Memindahkan risiko dari individu / perusahaan ke lembaga keuangan yang bergerak dalam pengelolaan risiko (perusahaan asuransi), yang akan membagi risiko kepada seluruh peserta asuransi yang ditanganinya.
- Dari segi Kemasyarakatan, maka :
Tujuannya Menanggung kerugian secara bersama-sama antar semua peserta program asuransi.
Tekniknya Semua anggota kelompok (kelompok anggota) program asuransi memberikan kontribusinya (berupa premi )untuk menyantuni kerugian yang diderita oleh seorang / beberapa orang anggotanya.
- Dari segi Matematis, maka :
Tujuannya Meramalkan besarnya kemungkinan terjadinya risiko dan hasil ramalan itu dipakai dasar untuk membagi risiko kepada semua peserta (sekelompok peserta) program asuransi.
Tekniknya Menghitung besarnya kemungkinan berdasarkan teori kemungkinan (“Probability Theory”), yang dilakukan oleh aktuaris maupun oleh underwriter.
Pengertian Asuransi Syari`ah dan Prinsip-prinsipnya
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1) Pendapat pertama : Mengharamkan
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
Þ Asuransi sama dengan judi
Þ Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
Þ Asuransi mengandung unsur riba/renten.
Þ Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
Þ Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
Þ Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
Þ Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
2) Pendapat Kedua : Membolehkan. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari’ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
Þ Tidak ada nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
Þ Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
Þ Saling menguntungkan kedua belah pihak.
Þ Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
Þ Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil).
Þ Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’awuniyah).
Þ Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
3) Pendapat Ketiga : Asuransi sosial boleh dan komersial haram Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Asuransi Syariah a. Prinsip Asuransi Syariah Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Þ Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Þ Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
Þ Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
Þ Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
Þ Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
Þ Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
Pengertian Asuransi Syariah dan Beberapa Prinsipnya
Dalam bahasa Arab Asuransi disebut at-ta`min, penanggung disebut mu`ammin, sedangkan tertanggung disebut mu`amman lahu atau musta`min. At-Ta`min diambil dari kata amana memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut sebagaimana firman Allah:
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Quraisy,106:4).
Dari kata tersebut muncul kata-kata yang berdekatan seperti:
( al-amanatu minal khaufi ) : aman dari rasa takut
( al-amanatu dhiddal khiyanah ) : amanah lawan dari khianat
( al-imanu dhiddal kufur ) : iman lawan dari kufur
( i’thoul amanah/al-amana ) : memberi rasa aman
Dari arti terakhir diatas, dianggap paling tepat untuk mendefinisikan istilah At-Ta`min, yaitu: “Men-ta`min-kan sesuatu, artinya adalah: seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan “seseorang mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya”.
Adapun yang menjadi prinsip-prinsip dalam asuransi syariah adalah sama dengan tujuan dalam Islam yang menjadi kebutuhan mendasar yaitu al kifayah (kecukupan) dan al amnu(keamanan). Sebagaimana firman Allah swt: “…Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan”, sehingga sebagian masyarakat menilai bahwa bebas dari lapar merupakan bentuk keamanan, mereka menyebutnya dengan al amnu al qidza`I (aman komsumsi). Dari prinsip tersebut Islam mengarahkan kepada ummatnya untuk mencari rasa aman baik untuk dirinya sendiri dimasa mendatang atau untuk keluarganya sebagaimana nasehat Rasul kepada Sa`ad bin Abi Waqash agar mensedekahkan sepertiga hartanya saja selebihnya ditinggalkan untuk keluarganya agar mereka tidak menjadi beban masyarakat.
Al-Fanjari mengartikan tadhamun, takaful, at-ta`min atau asuransi syariah dengan pengertian saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Ia juga membagi ta`min ke dalam tiga bagian, yaitu ta`min at-taawuniy, ta`min al tijari, dan ta`min al hukumiy.
Menurut Mushtafa Ahmad Zarqa, makna asuransi secara istilah adalah kejadian. Adapun metodologi dan gambarannya dapat berbeda-beda, namun pada intinya,asuransi adalah cara atau metoda untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktifitas ekonominya.
Husain Hamid Hisan, mengatakan Asuransi adalah sikap ta`awun yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapih, antara sejumlah besar manusia, semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa, jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang diberikan oleh masing masing peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh perserta yang tertimpa musibah. Dengan demikian asuransi adalah ta`awun yang terpuji, yaitu saling menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa. Dengan ta`awun mereka saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka.
Dalam bukunya `Aqdu at-Ta`min wa Mauqifu asy-Syari`ah al Islamiayah Minhu, az Zarqa juga mengatakan, sistem asuransi yang dipahami oleh para ulama hukum (syariah) adalah sebuah sistem ta`awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah. Tugas ini dibagikan kepada sekelompok tertanggung, dengan cara memberikan pengganti kepada orang yang tertimpa musibah. Pengganti tersebut diambil dari kumpulan premi-premi mereka. Mereka (para ulama ahli syariah) mengatakan bahwa dalam penetapan semua hukum yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan ekonomi, Islam bertujuan agar suatu masyarakat hidup berdasarkan atas asas saling menolong dan menjamin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.
Dengan demikian maka asuransi dilihat dari segi teori dan sistem, tanpa melihat sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan sistem dan mempraktekkan teorinya, sangat relevan dengan tujuan-tujuan umum syariah dan diserukan oleh dalil-dalil juz`inya. Dikatakan demikian karena asuransi dalam arti tersebut adalah sebuah gabungan kesepakatan untuk saling menolong, yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapih, antara sejumlah besar manusia, tujuannya adalah menghilangkan atau meringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa sebagian mereka, dan jalan yang mereka tempuh adalah dengan memberikan sedikit pemberian (derma) dari masing-masing individu.
Asuransi dalam pengertian ini dibolehkan, tanpa ada perbedaan pendapat. Tetapi perbedaan pendapat timbul dalam sebagian sarana-sarana kerja yang berusaha merealisasikan dan mengaplikasikan teori dan sistem tersebut, yaitu akad-akad asuransi yang dilangsungkan oleh para tertanggung bersama perseroan-perseroan asuransi.
Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi defenisi tentang asuransi sebagai berikut: Asuransi syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru` yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Dari definisi diatas nampak bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang disebut dengan
“ta`awun”, yaitu prinsip hidup saling melindungi dan tolong menolong atas dasar ukhuwah islamiyah antara sesama anggota peserta Asuransi Syariah dalam menghadapi malapetaka (resiko)
.[3]
Oleh sebab itu, premi pada Asuransi Syariah adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas Dana Tabungan dan
Tabarru`. Dana Tabungan adalah dana titipan dari peserta Asuransi Syariah (life insurance) dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa klaim nilai tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkan
Tabarru` adalah derma atau dana kebajikan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi (life maupun general insurance).
[4]
Asuransi syariah memiliki prinsip yang berbeda dengan lembaga konvensional. Prinsip prinsip tersebut adalah :
- Saling membantu dan bekerjasama
- Saling melindungi dari berbagai macam kesusahan dan kesulitan seperti membiarkan uang menggangur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.
- Saling bertanggung jawab
- Menghindari unsur gharar ( unsur ketidakpastian tentang sumber dana yang digunakan untuk menutupi klaim dan hak pemegang polis), maysir ( unsur judi yang digambarkan dengan kemungkinan adanya pihak yang dirugikan diatas keuntungan pihak lain), riba (sistem bunga ).[5]
Islam menekankan aspek keadilan, suka sama suka dan kebersamaan menghadapi resiko dalam setiap usaha dan investasi yang dirintis. Aspek inilah yang menjadi tawaran konsep untuk menggantikan gharar, maysir dan riba yang selama ini terjadi di lembaga konvensional. Asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional tidak hanya pada tataran kemasan, tetapi lebih mendalam lagi, yaitu dalam tataran konsep dan prinsip operasional. Ada juga yang berpendaat lain yaitu 9 prinsip yang menjadi karakteristik operasional asuransi syariah:
[6]
- Asuransi syariah menerapkan konsep saling menanggung dan tanggung jawab bersama. “Takaful” artinya saling menjamin di antara anggota kelompok.
- Akad asuransi syariah bukan merupakan kontrak jual-beli di mana satu pihak menawarkan dan pihak lain bersedia membeli layanan dengan harga tertentu.
- Akad asuransi syariah merupakan kesepakatan sekelompok orang untuk menjamin atau melindungi diri mereka terhadap kemalangan atau kesusahan, yang disepakati jenisnya, melalui pengumpulan dana bersama.
- Dalam hal salah satu anggota menderita kerugian karena kemalangan atau bencana, anggota tersebut akan menerima sejumlah uang dari dana bersama sesuai ketentuan kesepakatan. Kerugian tersebut bukanlah pemindahan tanggung jawab ke pihak lain atau pihak perantara, sebagaimana dipraktekkan dalam asuransi konvensional.
- Dalam akad asuransi syariah, para peserta adalah tertanggung sekaligus penanggung. Setiap peserta harus membayar sejumlah kontribusi ke dalam dana bersama yang disebut “dana takaful”. Besarnya kontribusi harus sesuai dengan tingkat risiko, yang dapat dihitung menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dan modern di bidang aktuaria.
- Untuk menghilangkan unsur berjudi, setiap peserta harus bersedia menyisihkan dana sumbangan (tabarru) sesuai dengan biaya risiko. Dengan demikian, santunan yang diberikan kepada para peserta yang mengalami kemalangan/musibah berasal dari dana sumbangan.
- Para peserta asuransi syariah berhak mendapatkan surplus dana (setelah pembayaran klaim, reasuransi, cadangan teknis dan biaya), sesuai sistem pembagian yang disepakati. Sebaliknya, bila terjadi kekurangan dana, para peserta juga secara kolektif bertanggung jawab menutupnya sesuai proporsi masing-masing.
- Peran perusahaan asuransi dalam asuransi syariah adalah sebagai pengelola dana takaful bagi peserta yang ditunjuk melalui kontrak perwakilan (wakalah). Sebagai pengelola dana, perusahaan asuransi mendapatkan imbalan dalam bentuk fee, yaitu: management fee, performance fee (laba investasi + surplus underwriting).
- Dalam hal terjadi defisit, demi praktisnya, perusahaan asuransi syariah berkewajiban meminjamkan modalnya untuk menutup kekurangan, tanpa bunga. Pinjaman tersebut akan ditutup oleh surplus di masa mendatang. Besarnya modal yang dimiliki perusahaan asuransi menentukan kapasitas underwriting dari dana takaful.
C.2 Perbandingan Asuransi Syariah dengan Asuransi Umum (Konvensional).
Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
- Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
¨ Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak. Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus).
- Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan). Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.
[7]
D. KESIMPULAN
- Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
- Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi defenisi tentang asuransi sebagai berikut: Asuransi syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru` yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
- Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
- Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
¨ Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak. Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus).
- Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan). Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di mukaBahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.
DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG
– Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
– Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
– Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian
Belum ada tanggapan untuk "ASURANSI DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (SYARIAH)"
Post a Comment