Pertanian India Versus Indonesia
Wulan Widi Ifafah - detikNews
Jakarta - Indonesia adalah bagian Asia Tenggara, yang
dilintasi garis khatulistiwa yang beriklim tropis, memiliki tanah yang
subur serta luas yang selalu dijuluki sebagai Negara agraris.
Konsep
negara agraris sendiri merupakan sebuah negara yang terkenal dengan
hasil pertanian atau negara "Petani". Mentri pertanian Dr. Ir. H.
Suswono pernah mengatakan, "Tak ada negara yang dapat mengabaikan sektor
pertanian. Secanggihnya teknologi saat ini, belum ada yang mampu
menggantikan pangan" Senin, (17/9).
Indonesia yang dijuluki
sebagai Negara agraris tentunya harus mampu memenuhi kebutuhan pangan
sendiri bahkan menjadi salah satu pengekspor terbesar komoditas pangan
dunia.
Namun perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia hingga
saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat
dari segi kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan
nasional.
Pada masa Orde Baru, Indonesia berhasil berswasembada
pangan dengan bantuan gerakan revolusi hijau. Namun, keberhasilan
tersebut hanya bertahan selama lima tahun yaitu pada tahun 1984 hingga
1989.
Kini Indonesia dihadapi berbagai macam permasalahan terkait
dengan pertanian berupa kesenjangan ekonomi, penurunan kualitas dan
kuantitas sumber daya lahan, minimnya ketersediaan infrastruktur
penunjang pertanian, lemahnya sistem alih teknologi, keterbatasan akses
layanan usaha, panjangnya mata rantai tata niaga pertanian dan lain
sebagainya.
Sebaliknya, India yang sebelumnya mengimpor
komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan negaranya, kini menjadi salah
satu penghasil terbesar komoditas pangan di dunia.
Bahkan sebagai juara eksportir beras dunia mengalahkan Vietnam dan
Thailand. Mengapa India dengan jumlah penduduk terbesar ke-2 di dunia
itu mampu menjadi penghasil terbesar komoditas pangan tingkat dunia?
Kemajuan Pertanian di India
Sebelum
pertengahan 1960-an India mengandalkan impor dan bantuan pangan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, dua tahun kekeringan yang parah
yaitu pada tahun 1965 dan 1966 meyakinkan India untuk mereformasi
kebijakan pertanian dan bahwa India tidak bisa bergantung pada bantuan
asing untuk memenuhi kebutuhan pangan negerinya.
India mengadopsi
reformasi kebijakan yang difokuskan pada tujuan swasembada gandum yang
merupakan bahan makanan pokok disamping beras. Hal ini menghantarkan
pada Revolusi Hijau di India.
Dimulai dari keputusan mengadopsi
bibit unggul, varietas gandum tahan hama dan dengan pengetahuan
pertanian yang lebih baik, India berupaya meningkatkan produktivitas
pertaniannya.
Lebih dari 50 tahun sejak kemerdekaannya, India
telah membuat kemajuan besar menuju ketahanan pangan. Upaya yang
dilakukannya ialah medukung kebijakan makro di bidang pertanian baik
dari segi infrastruktur maupun dari segi sumber daya manusianya.
India
sangat tergantung musim karena secara geografis beberapa wilayah di
India memiliki iklim yang berbeda-beda sehingga produktifitasnya pun
berbeda-beda
Dari segi infrastruktur, India memfokuskan pada sistem irigasi yang
memerlukan modal dalam jumlah besar seperti bendungan besar, kanal
panjang dan sistem irigasi skala besar lainnya yang berbasis pada
investasi publik.
Antara tahun 1951 dan 1990, hampir 1.350
irigasi besar dan menengah dimulai dan sekitar 850 telah diselesaikan
hampir di seluruh wilayah India.
Jika bukan karena keterlibatan
pemerintah yang besar dalam menyimpan air untuk irigasi pertanian, maka
dipastikan banyak daerah yang akan mengalami kekeringan karena pertanian
di india sangat bergantung pada musim. Ketergantungan pada musim hujan
ini cukup berisiko karena rata-rata curah hujan yang diterima bervariasi
di setiap daerah.
Dari segi sumber daya manusianya, India mendirikan institusi dan universitas pertanian dalam jumlah yang banyak.
Ada
sekitar 22 institusi atau universitas khusus cakupan pertanian di India
seperti Indian Agricultural Research Institute, Allahabad Agricultural
Institute, National Dairy Research Institute, Maharashtra Animal &
Fishery Sciences University, Tamilnadu Veterinary And Animal Sciences
University, Orissa University of Agriculture and Technology dan lain
sebagainya.
Belum lagi jurusan pertanian yang ada pada
universitas pada umumnya. Sedangkan di Indonesia hanya ada satu yaitu
Institute Pertanian Bogor. Lainnya bersumber dari jurusan pertanian yang
ada pada universitas pada umumnya.
Menurut Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
(BBP2TP) Dr. Agung Hendriadi, Produktivitas pangan di Indonesia dalam 10
tahun terakhir masih tetap tidak meningkat secara signifikan.
Salah
satunya disebabkan kondisi infrastruktur irigasi yang sudah rusak
parah, penyerapan tenaga kerja yang menurun drastis, faktor kepemilikan
lahan dan teknologi pengolahan pasca panen.
Sekitar 52 persen
infrastruktur irigasi yang sudah dibangun di era Orde Baru berada dalam
kondisi rusak parah. Penyerapan tenaga kerja bidang pertanian menurun
drastis dari tahun 1976 yang mencapai 64,16 persen dan kini hanya mampu
menyerap 33 persen saja.
Adapun faktor minimnya kepemilikan lahan
dan juga teknologi pasca panen masih menjadi kendala terbesar. Seperti
contohnya saat musim panen bulan Mei, Juni, dan Juli produktivitas
jagung nasional mencapai surplus namun kelebihan stok tersebut tidak
mampu mencukupi kebutuhan selama sembilan bulan setelahnya.
Adapun
kebijakan Impor beras disaat panen raya terjadi di negeri tercinta ini.
Disaat produksi komoditas pertanian Indonesia selama tahun 2005-2009
menunjukkan prestasi sangat baik.
Antara lain produksi padi dari
57,16 juta ton pada tahun 2007 menjadi 60,33 juta ton pada tahun 2008
dan target produksi padi tahun 2009 sebesar 63,5 juta ton, sementara
berdasarkan ARAM III (Juni 2009) produksi padi telah 63,8 juta ton atau
mencapai 100,5% dari target tahun 2009.
Bulog sebagai badan
stabilisator malah melakukan kebijakan impor beras dengan nilai impor
tertinggi yaitu sebesar US$ 861,23 juta.
Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan termasuk sejumlah
ekonom Institut for Development of Economics and Finance (Indef) yang
menyebutkan bahwa kebijakan ini anomali, karena pemerintah dalam hal ini
Bulog melakukan impor beras disaat panen raya (surplus beras). Selain
itu, anggaran untuk pertanian di Indonesia sangat minim.
Misalnya
saja untuk rehabilitasi irigasi. "Pencapaian target surplus 10 juta ton
beras pada tahun 2014 dapat terealisasi apabila seluruh saluran irigasi
yang rusak diperbaiki. Sayangnya, anggaran yang tersedia untuk
perbaikan irigasi kementerian pekerjaan umum hanya Rp. 3 triliun", kata
Suswono kepada pers dalam kunjungan kerjanya di Batang, Jawa Tengah,
Sabtu (8/6). Padahal, dana yang dibutuhkan mencapai 21 Triliun.
Petani Menjerit
Latif
Adam (Pakar Ekonimi LIPI) mengatakan "Tulang punggung ketahanan pangan
adalah petani. Namun, mereka selalu dalam posisi sulit, terutama jika
terkait dengan harga pangan dalam Negeri." Petani sering tidak menerima
keuntungan besar meskipun harga pangan dalam negeri naik tinggi.
Disisi
lain, apabila harga pangan dianggap terlalu tinggi dan membahayakan
konsumen, kebijakan yang diambil pemerintah seringkali tidak berpihak
pada kepentingan petani. Contohnya kebijakan impor yang justru membuat
produksi petani kurang laku.
Sebenarnya pemerintah mengalami
kesulitan dalam mengambil kebijakan karena harus sama-sama memikirkan
konsumen dan petani dan juga merealisasikan target yang sudah
ditetapkan.
Namun seberat apapun masalahnya pasti bisa
terpecahkan. Pasti ada jalan keluar. Buktinya, India dengan Negara
berpenduduk 1,2 miliar yang kegiatan pertaniannya bergantung pada musim
jangan sampai kita yang berpenduduk 230 juta dengan tanah yang subur dan
iklim yang menunjang bergantung kepada impor.
Diharapkan
pemerintah dapat mengambil kebijakan pro-petani karena meski
bagaimanapun kita bergantung pada petani. Jika kita tidak menghargai
petani maka wajarlah jika kebijakan impor terus dilakukan pemerintah
tanpa melihat adanya dampak jangka panjang yang akan mengancam
kestabilan dan kemakmuran bangsa.
Selain kebijakan yang
pro-petani, Konsumen pun harus senantiasa mengkonsumsi produk-produk
lokal Indonesia. Dengan membeli hasil bumi lokal berarti kita ikut
menghidupi para petani dan turut mengembangkan senyum serta memberi
secercah harapan bagi keluarga petani Indonesia.
Wulan Widi Ifafah
Penerima Beasiswa Unggulan RI Departmen of Sociology
University of Pune, India
Artikel keren lainnya:
info yang bermanfaat sekali gan
ReplyDeleteterima kasih sudah berbagi, jangan lupa mampir dan suport kami ditynggu follow juga
TERIMA KASIH SEBELUMNYA