Belum lama ini, terkait dengan kekisruhan dan gejolak harga bawang
putih dan bawang merah, pihak KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
menemukan indikasi kuat praktik kartel dalam tata niaga bawang putih dan
bawang merah. Apakah yang dimaksud dengan kartel dan bagaimana pula
praktik kartel dalam perekonomian? Bagaimana keterkaitan antara kartel
dan praktik monopoli? Bagaimanakah praktik kartel di Indonesia?
Kartel merupakan istilah yang dikenal dalam
bidang ekonomi dan bidang hukum. Di bidang ekonomi, kartel menyatakan
perilaku atau praktik yang berhubungan dengan persaingan industri atau
persaingan usaha. Di bidang hukum, praktik tersebut dilarang secara
hukum, karena dapat merugikan kepentingan umum atau publik. Secara
sederhana, kartel adalah bentuk persekongkolan dari beberapa pihak yang
bertujuan untuk mengendalikan harga dan distribusi suatu barang untuk
kepentingan (keuntungan) mereka sendiri.
Definisi Kartel
Dalam kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, “Cartel is a group of separate business firms wich work together to increase profits by not competing with each other”.
Artinya, kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum
usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan keuntungan
masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan pelaku usaha
lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen atau pemilik usaha yang
membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan harga, pengaturan
distribusi dan wilayah distribusi, termasuk membatasi suplai.
Dalam buku Black's Law Dictionary (kamus hukum dasar yang berlaku di Amerika Serikat), praktik kartel (cartel) didefinisikan, “A
combination of producer of any product joined together to control its
productions its productions , sale and price, so as to obtain a monopoly
and restrict competition in any particular industry or commodity”.
Artinya, kartel merupakan kombinasi di antara berbagai kalangan produsen
yang bergabung bersama-sama untuk mengendalikan produksinya, harga
penjualan, setidaknya mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya
persaingan di berbagai kelompok industri. Dari definisi tersebut,
praktik kartel bisa dilakukan oleh kalangan produsen manapun atau untuk
produk apapun, mulai dari kebutuhan pokok (primer) hingga barang
kebutuhan tersier.
Pengertian kartel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan kartel memiliki dua ciri yang menyatu, yaitu:
1. Organisasi perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi barang-barang sejenis
2. Persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditi tertentu.
Poin penting dalam definisi tersebut, bahwa kelompok-kelompok di dalam
suatu kartel terdiri atas kumpulan perusahaan-perusahaan besar yang
menghasilkan barang-barang yang sejenis. Dijelaskan pula, tujuan
utamanya berfokus pada pengendalian harga, sehingga harga yang terbentuk
adalah bukan harga persaingan. Definisi ini telah menyentuh pada aspek
perilaku monopoli.
Samuelson dan Nordhaus (2001: 186) dalam buku “Economics” menuliskan pengertian kartel, “Cartel
is an organization of independent firms, producing similar products,
that work together to raise prices and restrict outputs”. Artinya,
kartel adalah sebuah organisasi yang terbentuk dari sekumpulan
perusahaan-perusahaan independen yang memproduksi produk-produk sejenis,
serta bekerja sama untuk menaikkan harga dan membatasi output
(produksi). Poin penting pada definisi tersebut terletak pada tujuannya,
yaitu menaikkan harga dan membatasi output.
Seorang pakar hukum legal dan ekonom, Richard Postner dalam bukunya
“Economic Analysis of Law” (2007: 279) menuliskan pengertian kartel, “A
contract among competing seller to fix the price of product they sell
(or, what is the small thing, to limit their out put) is likely any
other contract in the sense that the parties would not sign it unless
they expected it to make them all better off”. Artinya, kartel
menyatakan suatu kontrak atau kesepakatan persaingan di antara para
penjual untuk mengatur harga penjualan yang bisa diartikan sebagai
menaikkan harga ataupun membatasi produknya yang setidaknya mirip dengan
kontrak pada umumnya di mana anggota-anggotanya tidak menginginkannya,
kecuali mereka mengharapkan sesuatu yang lebih baik. Definisi kartel
oleh Postner lebih menekankan pada aspek moralitas di mana praktik
kartel sesungguhnya bukan sesuatu yang diinginkan oleh setiap
anggotanya, kecuali mereka hendak mengharapkan bisa mendapatkan sesuatu
yang lebih dari kesepakatan (kontrak) tersebut.
Praktik kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun 1999
Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha yang dituliskan, “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang
bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Praktik kartel di
Indonesia adalah suatu bentuk perbuatan atau tindakan yang melanggar
hukum, karena akan membentuk suatu perilaku monopoli ataupun bentuk
perilaku persaingan usaha yang tidak sehat.
Memahami kartel perlu pula memahami prinsip dasar atau pengertian dasar
dari perilaku monopoli. Pengertian monopoli dalam bukan lagi
menitikberatkan pada jumlah pelaku usaha atau produsen, melainkan pada
perilakunya untuk mengendalikan harga dan distribusi output atau
kapasitas output. Jadi bisa saja perilaku monopoli tadi ditemukan pada
struktur persaingan yang terdiri atas beberapa perusahaan, biasanya
sekitar 2-5 perusahaan besar atau ditemukan pada struktur pasar
persasingan oligopoli. Pasar persaingan yang memiliki cukup besar
konsumen, tetapi hanya memiliki beberapa produsen akan cukup kuat
mengindikasikan adanya praktik monopoli. Munculnya praktik kartel
ataupun trust tidak lain adalah untuk mewujudkan kekuatan (perilaku)
monopoli.
Apa Perbedaan Antara Kartel dan Trust?
Selain dikenal istilah kartel, ada pula istilah lain yang memiliki
kemiripan, yaitu trust. Keduanya memiliki kesamaan dilarang menurut
undang-undang. Pada Pasal 12, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang
Monopoli dan Persaingan Usaha diatur mengenai trust yang dituliskan,
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya,
yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Dari definisi menurut KPPU
tersebut, perbedaannya terletak pada prinsip aktualitasnya. Kesepakatana
di dalam kartel biasanya tidak secara nyata diwujudkan, tetapi tetap
ada dan diakui dan dijalankan oleh anggota-anggotanya. Sedangkan pada
trust, kesepakatan tersebut diwujudkan nyata ke dalam suatu wadah
organisasi yang tercatat pula legalitas hukumnya. Sekalipun demikian,
trust melakukan praktik monopoli seperti halnya kartel.
Jika demikian, mengapa keduanya mesti dipisahkan?
Pemisahan antara kartel dan trust, karena berhubungan dengan legalitas
badan usaha. Seperti yang dijelaskan di atas, praktik kartel tidak
berwujud nyata, tetapi ada dan dilakukan secara sengaja. Sementara trust
memiliki bentuk nyata berupa badan usaha seperti asosiasi industri,
persatuan dagang, dan sejenisnya. Oleh karenanya, perlu diberikan
pemisahan, karena dasar hukum yang digunakan untuk menindaklanjutinya
pun harus dibedakan.
Bagaimana contoh pratik kartel dan trust?
Misalnya di dalam sebuah industri terdapat 3 produsen atau perusahaan
yang memegang tiga besar pangsa pasar. Mereka seluruhnya memiliki
setidaknya sekitar 60% pangsa pasar dari produk yang dijual atau
dipasarkan. Karena mereka berdomisili di wilayah yang sama, tidak
tertutup kemungkinan akan saling mengenal atau mengetahui, bahkan saling
berkomunikasi. Jalinan komunikasi atau relasi di antara mereka kemudian
menciptakan sikap saling pengertian. Salah satunya diwujudkan dengan
membagi dengan sendirinya segmen konsumennya berdasarkan wilayah. Ada
pula yang membagi segmen konsumennya berdasarkan kategori produk.
Perusahaan A akan fokus ke segmen di Indonesia bagian timur, lalu
perusahaan B fokus di Indonesia bagian tengah, kemudian perusahaan C
akan menyasar produknya untuk menguasai pasar di Indonesia bagian barat.
Perilaku bisnis seperti ini memiliki indikasi kuat tentang terjadinya
praktik kartel.
Ilustrasi lain untuk menggambarkan praktik trust bisa diketahui melalui
asosiasi bisnis ataupun kongsi dagang. Organisasi tersebut dengan
sendirinya akan dikuasai dan dipengaruhi oleh 3-4 besar kelompok
pemimpin pasar (market leader). Mereka kemudian membuat aturan ataupun
ketentuan yang mengatur harga, distribusi produk atau wilayah pemasaran,
segmentasi ataupun sasaran konsumen, dan sebagainya. Organisasi ini
bisa memiliki keanggotaan lebih dari 5 perusahaan, tetapi suara ataupun
pengaruh terbesar tentunya hanya dimiliki oleh 3-4 perusahaan pemimpin
pasar. Kesepakatan bisnis tersebut tentunya pula hanya akan semakin
menguntungkan atau berpihak pada sebagian besar kepentingan 3-4 besar
perusahaan pemimpin pasar.
Mengapa Kartel Dilarang?
Menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui tentang perlunya tercipta
suatu iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat
akan memberikan manfaat positif bagi perekonomian. Dari sisi produsen,
persaingan usaha yang sehat akan mendorong terciptanya efisiensi
produksi dan alokasi input, serta akan mendorong para pelaku usaha
(produsen) untuk memperbanyak inovasi di segala lini produksi, termasuk
pula infrastruktur produksi. Dari sisi konsumen akan mendapatkan manfaat
berupa harga yang relatif lebih murah, karena harga output terbentuk
oleh proses produksi ataupun pengelolaan organisasi produksi yang
efisien.
Sesuatu yang tidak dikehendaki oleh produsen dalam iklim persaingan
adalah ketidakpastian bisnis. Tidak sedikit nama-nama besar perusahaan
dunia akhirnya tenggelam akibat semakin tingginya intensitas persaingan.
Sebut saja seperti perusahaan garmen terkemuka dengan merek “Levi's”
yang kini sudah tidak lagi terdengar namanya. Atau seperti Ericsson,
Siemens Telecommunication, Kodak, dan lain-lain yang sempat besar di
masa kejayaannya. Ada ribuan perusahaan-perusahaan besar yang sudah
tidak lagi terdengar namanya karena begitu ketatnya persaingan bisnis.
Inovasi adalah segalanya, bahwa siapapun mereka yang unggul dalam
inovasi berpikir yang akan mampu bertahan. Sekalipun demikian, tidak
semua pihak (perusahaan atau produsen) yang menginginkan atau bertahan
di tengah persaingan melalui inovasi berpikir. Tidak ada jaminan inovasi
akan selalu menjadi segalanya, karena persaingan bisnis selalu diikuti
dengan ketidakpastian.
Praktik kartel maupun trust dalam bentuk apapun pasti akan berujung pada
kondisi yang merugikan konsumen. Sekalipun praktik tersebut diatur oleh
pemerintah, kecuali praktik kartel dilakukan oleh perusahaan milik
pemerintah yang notabene tidak selalu berorientasi untuk mengejar laba
(profit). Praktik akan menutup adanya peluang bagi masuknya inovasi
maupun perusahaan (pendatang baru) yang bisa menawarkan harga lebih
murah dan pelayanan yang lebih baik. Seringkali pula terjadi, praktik
kartel maupun trus akan menutup peluang perusahaan lain (pendatang baru)
untuk menawarkan sistem produksi yang lebih baik, sehingga akan mampu
menciptakan harga yang lebih efisien (lebih murah).
Apakah praktik kartel maupun trust menguntungkan bagi pelaku-pelakunya?
Belum pernah ada dalam sejarah organisasi bisnis di mana perilaku
monopoli akan membuat perusahaan menjadi cukup besar. Nama-nama
perusahaan multinasional saat ini, termasuk yang masuk ke Indonesia
bukanlah nama-nama yang dihasilkan dari praktik monopoli, melainkan
mereka menjadi besar karena dampak dari persaingan usaha yang sehat.
Mereka mengkedepankan inovasi di segala lini, bahkan inovasi dalam
berpikir. Bertolak belakang dengan mereka yang cenderung berperilaku
monopoli melalui praktik kartel. Inovasi bukanlah orientasi utama,
bahkan seringkali hanya ditempatkan pada prioritas paling dasar. Pelaku
praktik kartel lebih mengkedepankan unsur kolusi bisnis yang tidak
jarang akan melibatkan pemerintahan. Itu sebabnya, mengapa
perusahaan-perusahaan besar yang pernah ada di Indonesia tidak pernah
menjadi ikon dunia. Contoh kongkritnya seperti ASTRA yang setelah
reformasi justru menumpuk banyak utang.
Lalu, manfaat apa yang mereka dapatkan dengan melakukan praktik kartel?
Sebenarnya tidak ada sama sekali manfaatnya, kecuali mereka hanya
mencoba untuk bertahan. Mereka mungkin masih bisa melakukan ekspansi
bisnis, tetapi tidak ada satupun di antaranya yang berpeluang menjadi
perusahaan level dunia. Mereka hanya sekedar bisa memutar uang.
Manfaatnya mungkin hanya karena mereka bisa bertahan dengan pencapaian
yang telah ada. Sekalipun demikian, seluruh konsumen dan karyawannya lah
yang akan menanggung kerugian mereka. Dalam banyak hal, praktik kartel
biasanya akan diikuti oleh sejumlah pelanggaran hukum lainnya. Misalnya
seperti korupsi, pelanggaran pajak, perkara perdata, bahkan sampai pada
perkara pidana.
Syarat Terbentuknya dan Karakteristik Kartel
Praktik kartel biasanya diwujudkan ke dalam sebuah kongsi dagang
tertentu yang memiliki jenis badan hukum tertentu pula. Semacam
perserikatan ini pula memiliki aturan atau ketentuan yang disepakati
oleh anggota-anggotanya. Untuk bisa terjadi praktik kartel harus
memiliki pernjanjian atau kolusi di antara pelaku usaha. Ada dua bentuk
kolusi yang mengindikasikan terjadinya praktik kartel, yaitu:
1. Kolusi Eksplisit
Para anggota-anggotanya mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara yang
dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data audit bersama,
kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data penjualan, dan
data lainnya. Bentuk kolusi eksplisit tidak selalu harus diwujudkan
dalam asosiasi kecil, komunitas terbatas, paguyuban, dan lain
sebagainya. Ini berbeda dengan trust, karena pada trust diwujudkan ke
dalam asosiasi atau organisasi yang memiliki badan hukum yang cukup
jelas.
2. Kolusi Diam-Diam (Implisit)
Para pelaku atau anggota-anggotanya tidak berkomunikasi secara langsung
atau tidak melakukan pertemuan terbuka (diliput oleh media). Tetapi
mereka para anggota kartel melakukan pertemuan secara tertutup, biasanya
dilakukan secara rahasia. Mereka ini pun terkadang menggunakan
organisasi berupa asosiasi yang fungsinya sebagai kedok atau kamuflase.
Dalam asosiasi tercantum mendukung persaingan usaha yang sehat, tetapi
dibalik semua itu hanya sebagai pengalihan. Menurut KPPU, jenis kartel
dengan kolusi implisit ini lebih sulit untuk dideteksi. Dari semua kasus
kartel di dunia, sekitar 30% di antaranya melibatkan asosiasi. Mengenai
larangan melakukan perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15,
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha.
Perlu digarisbawahi, bahwa tidak semuanya jenis kolusi bisnis selalu
berkonotasi negatif terhadap persaingan usaha. Terdapat pula kolusi yang
positif, seperti kolusi dalam menggalang dana bantuan untuk anak-anak
miskin, bencana alam dan sebagainya, atau bentuk kolusi yang sama sekali
tidak berkaitan dengan bisnis dan persaingan. Itu sebabnya, kartel
secara umum haruslah memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Terdapat konspirasi (persekongkolan) di antara pelaku usaha
2. Melibatkan peran dari senior perusahaan atau jabatan eksekutif perusahaan
3. Biasanya menggunakan asosiasi untuk menutupi persekongkolan tadi
4. Melakukan price fixing atau tindakan untuk melakukan penetapan harga, termasuk pula penetapan kuota produksi.
5. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota-anggotanya yang melanggar kesepakatan atau perjanjian.
6. Adanya distribusi informasi ke seluruh anggota kartel. Informasi yang
dimaksudkan berupa laporan keuangan, laporan penjualan, ataupun laporan
produksi.
7. Adanya mekanisme kompensasi bagi mereka para anggota yang memiliki
produksi lebih besar atau melebihi kuota yang telah ditetapkan bersama.
Kompensasi tersebut dapat berupa uang, saham, pembagian bunga deviden
yang lebih besar, ataupun bentuk kemitraan lain.
Kondisi-kondisi berikut ini adalah yang membuat pelaku kartel tetap
bertahan melakukan praktik monopoli. Dalam hal ini, praktik kartel harus
memiliki kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Jumlah pelaku usaha lebih sedikit, atau setidaknya hanya didominasi
oleh segelintir perusahaan. Biasanya memiliki jumlah atau ukuran
industri sebanyak 5-10 perusahaan di mana hanya terdapat 1-4 perusahaan
yang mendominasi di dalam asosiasi.
2. Produknya bersifat homogen atau hanya dilakukan apabila mereka para anggota-anggotanya memiliki produk yang sama.
3. Elastisitas permintaan atas produk-produknya relatif rendah. Seberapa
pun mereka menetapkan harga relatif tidak memiliki dampak yang berarti
terhadap permintaan. Di sinilah titik kekuatan kartel, karena konsumen
tidak dikondisikan tidak memiliki banyak pilihan lain selain menggunakan
produk-produk yang dibuat oleh anggota-anggota kartel.
4. Selalu terdapat upaya untuk mencegah masuknya pendatang baru (pesaing)
5. Selalu melakukan kecurangan dalam bentuk laporan keuangan fiktif, data penjualan yang fiktif, dan lain sebagainya.
6. Kartel biasanya dilakukan di sektor bisnis yang membutuhkan investasi
yang cukup besar. Di sinilah titik kekuatan mereka yang sekaligus
dimanfaatkan untuk semakin memperbesar restriksi atau hambatan bagi
masuknya pendatang baru.
Adakah pengecualian atau bentuk perjanjian maupun kesepakatan bisnis di
antara korporasi agar tidak dikenakan pasal mengenai kartel ataupun
trust?
Memang benar, tidak semua bentuk kesepakatan sepihak di antara korporasi
dilarang menurut undang-undang. Pengecualian dapat ditoleransi untuk
kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku;
2. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual
seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,
rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba;
3. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
4. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan
untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan;
5. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
6. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
7. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
8. Pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil; atau
9. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Jika pelaku usaha kecil masih diperbolehkan melakukan kartel, apakah
ketentuan tersebut bukan berarti mengesampingkan asas keadilan dalam
berekonomi?
Saya ingin menunjukkan sebuah praktik kartel kecil yang dilakukan oleh
pelaku usaha penjual makanan lesehan di sepanjang Malioboro (Yogyakarta)
dan sekitarnya. Jika diperhatikan, indikasi kartel terlihat dari harga
makanan yang dipatok sama untuk setiap penjual. Apabila terdapat
selisih, biasanya cuma selisih pada menu tambahan yang sedikit
pengaruhnya terhadap penguasaan calon pembeli. Praktik kartel dalam
kasus penjual lesehan di Malioboro masih bisa ditoleransi, karena
pengaturan harga yang mereka lakukan tidak memiliki dampak yang luas ke
wilayah lainnya. Konsumen masih memiliki posisi tawar ataupun pilihan
untuk menolak ataupun tidak menolak. Banyak lagi contoh lainnya praktik
kartel yang dilakukan oleh sejumlah paguyuban-paguyuban pelaku usaha
kecil. Praktk kartel tersebut masih bisa ditoleransi pula, karena tidak
ada restriksi atau pembatasan bagi masuknya pendatang baru.
Jenis-Jenis Kartel
Setelah mengetahui dan memahami bentuk perilaku dan praktik kartel,
perlu diketahui pula jenis-jenis kartel. Dalam hal ini, praktik kartel
dapat diidentifikasi atau dideteksi berdasarkan jenis-jenisnya sebagai
berikut.
1. Kartel Daerah
Cakupan kartel ini biasanya menggunakan indikator regional atau wilayah.
Ada beragam bentuk dan polanya. Misalnya, kartel yang membagi wilayah
pemasarannya berdasarkan regional tertentu. Perusahaan A menguasai Pulau
Jawa, kemudian perusahaan B menguasai wilayah di Kalimantan dan
Sulawesi atau mungkin dibagi berdasarkan distrik ataupun propinsi.
Perusahaan A boleh memasukkan produknya ke wilayah perusahaan B, tetapi
tidak boleh melakukan pemasaran dengan agresif seperti melakukan promo
khusus regional.
2. Kartel Produksi
Model kartel yang memiliki bentuk kesepakatan untuk menetapkan kuota produksi bagi anggota-anggotanya.
3. Kartel Harga
Model kartel yang dilakukan dengan melakukan kesepakatan untuk
menetapkan harga (price fixing) untuk meniadakan persaingan harga. Modus
praktik atau polanya bisa bervariasi. Mereka bisa menetapkan harga
terendah, termasuk kesepakatan harga untuk musim penjualan (banting
harga). Antara kartel harga dan kartel produksi biasanya tidak saling
terpisahkan atau biasanya menjadi satu kesepakatan.
4. Kartel Kondisi
Kesepakatan atau perjanjian bisnis yang mereka lakukan melalui praktik
kartel berdasarkan kondisi tertentu dalam perjanjian bisnis. Misalnya,
pembuatan sistem administrasi (prosedur) dalam pengambilan kredit
kendaraan bermotor, penyusunan mekanisme dalam penjualan tunai, prosedur
dalam pemberian diskon (potongan harga), bonus, dan sebagainya.
5. Kartel Pembagian Laba
Model kartel yang dalam perjanjiannya berorientasi untuk melakukan
kesepakatan atas pembagian laba. Biasanya, pembagian laba diberikan ke
pihak (anggota) sebagai bentuk kompensasi atas kesepakatan yang telah
mereka setujui. Tujuannya tidak lain untuk semakin memperkuat loyalitas
di antara para anggota pelaku kartel.
Dalam dunia nyata, praktik kartel biasanya tidak hanya terbatas untuk
satu jenis kartel seperti yang disebutkan di atas. Tidak jarang pelaku
kartel dengan asosiasinya justru menggunakan keseluruhan kesepakatan
dalam 5 jenis kartel. Tujuannya tidak lain untuk semakin mempersempit
adanya persaingan dan tentunya membatasi peluang masuknya pendatang
baru. Jika aturan atau kesepakatan kartel ingin dihormati atau dipatuhi
anggota-anggotanya, tentu mereka bukan semata melakukan praktik kartel
harga maupun produksi, tetapi akan melakukan pula praktik kartel
pembagian laba.
Praktik Kartel di Indonesia
Prinsip dasar dari perilaku kartel adalah bentuk monopoli dan perilaku
monopoli. Dua kondisi tersebut sudah ada sejak berdirinya republik ini.
Praktik kartel tersebut merupakan warisan dari kongsi-kongsi perkebunan
dan dagang di era pemerintahan Hindia Belanda. Praktik monopoli ini pun
sesungguhnya telah tercantum di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
berupa penguasaan sumber-sumber perekonomian yang menguasai hajat hidup
orang banyak. Sementara itu, negara NKRI terbentuk dan berkembang
bersamaan dengan berkembangnya wacana dan studi tentang persaingan dan
monopoli di dunia. Di Amerika Serikat sendiri, praktik kartel, trust,
dan monopoli barulah mulai disoroti sekitar dekade 1960an. Mengingat di
masa setelah kemerdekaan hingga 1960an belum banyak
perusahaan-perusahaan swasta, praktis perilaku kartel, trust, dan
monopoli belum terlihat.
Perkembangan perilaku monopoli baru mulai terlihat setelah memasuki era
Orde Baru. Di awal dekade 1970an, pemerintah mulai memberikan perhatian
kepada pihak swasta untuk didorong agar dapat memenuhi target pencapaian
substitusi impor. Dengan melibatkan modal asing ataupun investor asing,
pencapaian substitusi impor tidak terlalu lama bisa diwujudkan. Praktik
kartel dan monopoli di kalangan swasta semakin mulai terlihat pada
dekade 1980an. Diduga praktik kartel dan monopoli tersebut merupakan
bentuk kesepakatan di antara pemerintah dan kalangan investor
(produsen), terutama kalangan investor asing yang melibatkan kalangan
produsen di dalam negeri. Apalagi sektor ekonomi yang digarap oleh
kalangan swasta tersebut membutuhkan biaya investasi yang cukup besar.
Pemerintah hanya bisa memberikan insentif atau perlakuan khusus kepada
hanya beberapa produsen di dalam negeri.
Salah satu praktik kartel yang paling dominan di masa itu adalah kartel
di antara produsen otomotif. Sebelum masa reformasi 1998, terdapat
pengaturan industri yang menetapkan segmen teknologi untuk pasar
kendaraan bermotor roda dua. Honda diberikan penguasaan untuk
memproduksi dan merakit kendaraan bermotor dengan teknologi 4 tak.
Sementara untuk Yamaha dan Suzuki diberikan penguasaan untuk motor
terteknologi 2 tak. Dalam hal ini, Honda tidak diperkenankan masuk
(merakit dan memproduksi) motor roda dua berteknologi 2 tak, kecuali
diperbolehkan masuk melalui impor yang berarti akan dikenakan PPn Bea
Masuk yang cukup mahal. Pada kelompok sedan, Toyota melalui ATPM-nya,
yaitu Toyota Astra Motor (TAM) mendapatkan kewenangan untuk bermitra
dengan pemerintah dalam menyediakan kendaraan-kendaraan dinas untuk
pemerintah. Sekalipun demikian, pihak TAM tidak diperkenankan untuk
bermitra dengan kalangan swasta dalam penyediaan kendaraan perkantoran,
kecuali dengan kesepakatan tertentu. Praktik kartel semacam ini masih
terus berlangsung hingga saat ini. Di kelompok sedan, mereka memiliki
asosasi sendiri yang bernama Gabungan Industri Kendaraan Bermotor
Indonesia atau Gaikindo.
Pada tahun 2009 lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berhasil
membongkar praktik kartel dalam penetapan tarif layanan pesan pendek
atau short message service (SMS). Kartel tersebut melibatkan nama-nama
perusahaan operator seluler seperti PT Excelcomindo Pratama, Tbk., PT
Telkomsel, Tbk., PT Telkom (Persero), PT Bakrie Telecom, Tbk., PT
Mobile-8 Telecom, Tbk., dan PT Smart Telecom. Praktik kartel tersebut
terindentifikasi dilakukan selama periode dari tahun 2004-2008, serta
merugikan konsumen sebesar Rp 2,83 triliun. Praktik kartel dalam
industri telepon seluler sesungguhnya sudah terendus cukup lama, bukan
semata pada layanan SMS, melainkan pula pada penetapan tarif panggilan
(call). Sekalipun pihak KPPU berhasil mengeksekusi kasus tersebut,
tetapi denda yang dikenakan untuk masing-masing perusahaan tidaklah
seberapa apabila dibandingkan dengan kerugian konsumen yang masih terus
berlangsung hingga saat ini. Praktik kartel oleh para operator telepon
seluler ini pun semakin meluas, bahkan semakin nyata membatasi masuknya
pendatang baru. Kasus yang hampir terungkap adalah kasus operator
seluler asal Malaysia, yaitu Axis yang diduga sempat mengalami tekanan
industri (politik), akibat tidak mengikuti aturan main dalam persaingan
operator telepon seluler.
Pada tahun 2005, KPPU berhasil membongkar praktik kartel dalam produksi
garam di dalam negeri. Kesepakatan tertutup yang dilakukan oleh sejumlah
produsen tersebut mengatur pasokan garam yang disuplai dari Sumatera
Utara. Tahukah Anda, garam ternyat bukan hanya bermanfaat di rumah
tangga, melainkan bahan baku vital bagi sektor industri tertentu. Tidak
main-main, sektor industri yang sering membutuhkan pasokan garam adalah
industri perminyakan. Sektor-sektor lainnya yang cukup penting
membutuhkan pasokan garam seperti industri minuman, industri kimia,
industri farmasi, industri kertas, dan lain sebagainya. Begitu besar
manfaatnya, tetapi bertolak belakang apabila melihat nasib kesejahteraan
para petani garam.
Pada tahun 2010, KPPU berhasil membongkar modus praktik kartel dalam
industri minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah. Minyak goreng
merupakan salah satu dari bahan kebutuhan pokok masyarakat yang
kedudukannya sejajar dengan kebutuhan pokok pangan. Praktik kartel
tersebut diketahui telah berlangsung selama periode April-Desember 2008
dengan modus price pararelism untuk jenis minyak goreng kemasan maupun
jenis minyak goreng curah. Kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp 1,27
triliun untuk jenis minyak goreng kemasan (bermerek) dan sebesar Rp
374,3 miliar untuk jenis minyak goreng curah. Sekalipun demikian, kasus
ini kandas melalui kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA) atas pengajuan
banding oleh sebanyak 20 produsen minyak goreng lokal.
Praktik kartel ini pun ternyata merambah ke industri farmasi. Sekali
lagi, KPPU berhasil membongkar adanya kartel di dalam penyediaan
obat-obatan hipertensi jenis amplodipine besylate yang melibatkan PT
Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica. Bentuk kartel yang dilakukan adalah
jenis kartel harga. Ini barulah praktik kartel untuk satu jenis
obat-obatan yang berhasil dibongkar. Diduga kuat, praktik kartel terjadi
pula untuk obat-obatan lainnya. Masalah kartel dalam industri farmasi
di dalam negeri pernah disinggung oleh mantan Menteri Kesehatan, Siti
Fadila yang mengeluhkan tentang tata niaga perdagangan obat yang membuat
harga obat-obatan menjadi mahal.
KPPU sempat pula membongkar dan mengeksekusi praktik kartel di kalangan
operator transportasi udara di dalam negeri. Bentuk praktik kartel yang
dibongkar berupa praktik kartel dalam penetapan harga tiket dan tarif
fuel surcharge (avtur). Industri penerbangan di dalam negeri mulai
tumbuh dan berkembang sejak tahun 2005 dengan kemunculan nama-nama baru
dalam maskapai penerbangan nasional. Tidak disangka, kemunculan yang
begitu cepat tersebut justru semakin memperkuat jalinan komunikasi
bisnis yang berujung pada praktik kartel. Atas kasus tersebut, KPPU
memberikan sanksi kepada PT Sriwijaya, PT Metro Batavia, PT Lion Mentari
Airlines, PT Wing Abadi Airlines, PT Merpati Nusantara Airline
(Persero), PT Travel Express Aviation Services, dan PT Mandala Airlines.
Akibat praktik kartel tersebut, konsumen penerbangan mengalami kerugian
dengan taksiran mencapai Rp 13,8 triliun selama periode dari tahun
2006-2008. Sekalipun sempat mengajukan banding ke tingkat MA, tetapi
pihak MA menolak gugatan tersebut.
Penutup
Rasanya akan menghabiskan cukup banyak halaman apabila menyebutkan satu
per satu praktik kartel dalam industri di Indonesia saat ini. Praktik
kartel berlangsung dan dilakuan di seluruh sektor perekonomian, tidak
terkecuali pula sektor pertanian, pertambangan, dan migas. Belum lama
ini, pihak KPPU tengah melakukan investigas terhadap adanya indikasi
kuat praktik kartel dalam pengadaan komoditi bawang putih dan pengadaan
(impor) daging sapi. Mereka memiliki sendiri asosiasi atau organisasi
yang mewadahi kepentingan ekonomi mereka. Agenda mereka cukup jelas,
mengatur penetapan harga jual dan kuota (pasokan) ke dalam negeri.
Sekalipun legalitas mereka masih bisa sesuai dengan undang-undang,
tetapi keberadaan mereka terbukti telah membuat kekisruhan atau
kekacauan harga maupun pasokan komoditi di dalam negeri.
Sama halnya dengan upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi, untuk
memberantas praktik kartel maupun trust membutuhkan kemauan politik
(political will) dari pemerintah. Dibandingkan dengan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), lembaga komisioner seperti KPPU relatif kurang
populer di kalangan masyarakat. Padahal, isu kartel sesungguhnya cukup
dekat, bahkan berdampingan maupun beriringan dengan kepentingan politik
di dalam isu-isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menghadapi praktik kartel. Pada
tahun 2001, sejumlah konsumen pengguna telepon seluler di Surabaya
sempat melakukan ancaman pemboikotan regional terhadap sejumlah operator
seluler. Aksi serupa terjadi lagi di tahun 2012 atas indikasi mafia
(kartel) di dalam penyediaan layanan spam. Sejumlah kalangan konsumen
menggalang kampanye mengajak masyarakat untuk memboikot penggunaan
layanan telepon seluler. Sayangnya, persatuan sikap konsumen seperti ini
tidaklah selalu ada dalam setiap kasus kartel atas komoditi tertentu.
Di sinilah titik kekuatan para pelaku kartel maupun trust, yaitu posisi
tawar di antara produsen dan konsumen. Lembaga perlindungan konsumen
tidak selalu dapat menjamin, karena sikap ataupun keputusan dari lembaga
perlindungan konsumen tidak selalu mendapatkan dukungan politik dari
penyelenggara negara.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "MEMAHAMI PENGERTIAN KARTEL, MONOPOLI, DAN PERSAINGAN USAHA"
Post a Comment