HANYA 5 ha
Itulah luas kebun kelapa sawit milik Kuncung Asmin di Bojongjuruh,
Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Lebak, Banten. Ia membudidayakan 650
pohon pada 2005. Dari pohon-pohon berumur 5 tahun itu, Kuncung menuai
3.750 ton setiap 15 - 20 hari. Panen terakhir pada 16 November 2010,
pria 49 tahun itu memperoleh harga Rp1.200 per kg tandan buah segar
sehingga omzetnya Rp4,5-juta. Jika dalam sebulan ia 2 kali panen, omzet
ayah 4 anak itu membubung hingga Rp9-juta.
Mantan pekebun karet itu menjual tandan buah segar ke pabrik
pengolahan berjarak 4 km dari kebun. Kebun itu memang terbilang kecil.
Bandingkan dengan PT Inti Indosawit Subur, misalnya, yang mengelola
60.000 ha kebun sawit di Riau. Perusahaan-perusahaan seperti PT Wilmar
Internasional lazim mengebunkan sawit ribuan ha.
Tren mini
Kebun kelapa sawit milik Kuncung Asmin yang berskala kecil dan di
Jawa menjadi menarik. Sebab, semula kelapa sawit identik dengan Sumatera
atau belakangan Kalimantan. Harap mafhum, pengembangan pertama kelapa
sawit pada 1911 memang di Sumatera timur. Kuncung tidak sendirian
menjadi pekebun mandiri - membuka lahan dan membudidayakan kelapa sawit
atas kemauan sendiri - yang mengelola lahan mini. Rekan-rekannya juga
sama saja. Sekadar menyebut contoh, Wawan dan Haris - keduanya di
Kecamatan Banjarsari - masing-masing mengelola 5 ha.
Malahan banyak juga pekebun lain yang hanya membudidayakan Elaeis guineensis itu di lahan 2 ha. Contohnya Wawan Gunawan di Desa Maroko, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Ia menanam sawit seluas 2 ha di lahan bekas ilalang berketinggian 700
meter di atas permukaan laut. Tanaman setinggi 2 meter itu pada 26
Oktober 2010 tengah berbunga.
Dalam 10 tahun terakhir, memang bermunculan pekebun kelapa sawit di
lahan sempit. Mereka memanfaatkan lahan samping rumah atau lahan tidur.
‘Padahal, sawit awalnya tidak cocok ditanam di ketinggian seperti di
Kabupaten Bogor, Sukabumi, Bandung, dan daerah-daerah yang semula
dianggap dingin tapi ternyata bisa ditanami sawit,’ kata Dr Witjaksana,
periset di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).
Menurut koordinator kelompok peneliti Sosio Tekno Ekonomi PPKS, Dr
Angga Jatmika, kebun skala kecil yang ekonomis minimal 2 ha. Itu bila
harga tandan buah segar minimal Rp900 per kg. Saat ini harga di tingkat
pekebun cukup bagus, Rp1.200 per kg. Mengapa mereka berbondong-bondong
mengebunkan kelapa sawit? ‘Banyak orang tahu kalau kelapa sawit itu
potensial. Dulu ngga ada orang yang memprediksi seperti ini. Sekarang
semua orang mau bertanam sawit,’ kata kepala afdeling II Kebun
Cikasungka PT Perkebunan Nusantara VIII, Jimmy Permana.
Administratur PT Perkebunan Nusantara VIII Kertajaya, Ir H Heri
Hermawan MM, berpendapat serupa. ‘Mata petani terbuka bahwa kelapa sawit
merupakan komoditas yang sangat menguntungkan sehingga dengan sadar
mereka menanam kelapa sawit.’ Perusahaan itu mengelola pabrik di
Kertajaya, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, berkapasitas 60 ton per jam
sejak 2009. Sebelumnya kapasitas produksi hanya 30 ton per jam. Artinya
dalam sehari dengan 8 jam kerja, pabrik memerlukan 480 ton kelapa
sawit.
Untuk memenuhi kebutuhan pabrik itu, Heri bukan hanya mengandalkan
kebun sendiri seluas 18.000 yang 30% mesti diremajakan. Namun, ia juga
bekerja sama dengan ratusan petani yang mengelola kebun mini. Total
jenderal luasan lahan mini itu mencapai 1.200 ha. Umur pohon-pohon itu
rata-rata 4 - 5 tahun atau hasil penanaman pada 2004 - 2005. Selain itu
PT Perkebunan Nusantara VIII juga menjalin kemitraan dengan 2.800 petani
program inti rakyat yang mengelola 2.800 ha setara 364.000 pohon.
Selama ini semua produksi para petani mandiri dan mitra terserap
pabrik. Selama kualitas tandan buah segar memenuhi syarat, tak ada
alasan untuk menolak. PT Perkebunan Nusantara VIII mensyaratkan buah
matang dan bukan buah dura - daging buah tipis dan bertempurung besar.
Rambu-rambu
Dr Juliarto Barus, periset di PT Tunggal Yunus Estate, mengatakan
kebun mini memiliki banyak kelebihan. Beberapa kelebihan itu adalah
penanganan kebun lebih intensif dan menekan tingkat kehilangan tandan
buah segar. Pekebun skala mini cenderung mengambil buah-buah rontok.
Menurut Barus kehilangan TBS pada lahan besar (di atas 6.000 ha)
mencapai 30 ton per tahun. Selain itu perawatan lahan mini juga lebih
mudah.
Meski demikian calon pekebun skala mini harus cermat. Menurut Dr
Bambang Drajat, peneliti ekonomi pertanian di Riset Perkebunan
Nusantara, Bogor, Jawa Barat, pekebun tetap harus mendekatkan diri ke
pabrik pengolah. ‘Dalam 24 jam tandan buah segar harus diolah agar asam
lemak bebas tidak meningkat,’ kata doktor Ekonomi Pertanian alumnus
Institut Pertanian Bogor itu. Asam lemak meningkat, menurunkan mutu
minyak goreng. Waktu tempuh 4 - 5 jam dari kebun ke pabrik masih ideal.
Strategi lain adalah penggunaan bibit bersertifikat. Heri Hermawan
mengatakan calon pekebun di beberapa daerah memanfaatkan kongkowak alias
bibit asal buah jatuhan yang tumbuh begitu saja di kebun. Tujuannya
pekebun ingin menekan biaya investasi dalam hal pengadaan bibit. Harga
sebuah bibit bersertifikat saat ini mencapai Rp30.000. Penggunaan
kongkowak justru merugikan pekebun karena umur produksi kelapa sawit
relatif panjang, hingga 30 tahun. Akibat penggunaan kongkowak antara
lain produksi rendah.
‘Kunci sukses berkebun kelapa sawit adalah disiplin,’ kata Bambang
Drajat. Maksudnya pekebun mesti disiplin dalam hal pemupukan,
penyiangan, hingga panen. Sayangnya, masih banyak pekebun yang
tergesa-gesa panen ketika harga tinggi. Buah yang belum siap panen pun,
mereka tuai. Akibatnya kualitas buah jelek sehingga harga pun relatif
rendah. Begitu juga saat harga anjlok, banyak pekebun yang tak memanen
dan membiarkan buah membusuk. Padahal, jika itu terjadi dalam jangka
panjang mempengaruhi produktivitas.
Peluang besar
Kelapa sawit kian berkembang karena multiguna. Bambang Drajad
mengatakan kerabat palem raja itu berfungsi 4F yakni food, feed, fuel,
fiber (pangan, pakan, bahan bakar, dan serat). Wajar jika kebutuhannya
kian melonjak. ‘Kelapa sawit sangat prospektif. Kebutuhan dalam negeri
saja belum terpenuhi, belum lagi jika memperhitungkan kebutuhan untuk
bahan bakar,’ kata Heri Hermawan. Oleh karena itu PT Perkebunan
Nusantara VIII membangun sebuah pabrik baru di Kabupaten Bogor yang
beroperasi pada akhir 2011.
Menurut perhitungan Heri, berdirinya pabrik baru berkapasitas 30 ton
per jam itu dan peningkatan kapasitas produksi pabrik di Kertajaya,
memerlukan dukungan lahan petani mandiri hingga 6.000 ha. Jika
kepemilikan lahan petani rata-rata 4 ha, perlu 1.500 petani mandiri
baru.
Selain itu, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Jawa
Barat, juga telah mengeluarkan izin bagi 2 perusahaan baru. Kepala
Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Ir
Prasetiowati, mengatakan sebuah perusahaan akan beroperasi di Jasinga
membudidayakan kelapa sawit di lahan 4.000 ha. Di Kabupaten Garut, Jawa
Barat, PT Condong berkapasitas 20 ton per jam yang mengelola 3.200 ha
hanya dapat mengolah sawit 3 kali dalam sepekan.
Oleh karena itu, ‘Di Garut dikembangkan perkebunan sawit rakyat,’
kata kepala Bina Usaha Dinas Perkebunan Kabupaten Garut, Yayan Sofyan.
Sejak 2009, para petani di Kabupaten Garut mulai membudidayakan kelapa
sawit di lahan-lahan mini, 1 - 2 ha. Sofyan mengatakan target 5 tahun
mendatang Garut memiliki 3.000 ha kebun sawit rakyat. Tentu saja
lahan-lahan itu bukan hasil rambahan di hutan lindung. (Sardi Duryatmo/Peliput: Tri Susanti)
- Kuncung Asmin, pekebun sawit skala mini
- Kontinuitas produksi di pabrik pengolah sawit juga tergantung pasokan dari kebun mini
- Crude palm oil sumber beragam produk turunan oleokimia
- Buah kelapa sawit multiguna sebagai sumber pangan, pakan ternak, bahan bakar, dan serat
Foto-foto: Sardi Duryatmo Ilustrasi: Bahrudin
‘Mata petani terbuka bahwa kelapa sawit merupakan komoditas yang
sangat menguntungkan sehingga dengan sadar mereka menanam kelapa sawit,’
kata Heri Hermawan.
Belum ada tanggapan untuk "Tren Kebun Sawit Mini "
Post a Comment