Monday, December 24, 2012

Profil Olahan Kakao Indonesia


 Profil Olahan Kakao Indonesia

Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok utama kakao dunia setelah Pantai Gading (38,3%) dan Ghana (20,2%) dengan persentasi 13,6% (BPS, 2011).  Permintaan dunia terhadap komoditas kakao semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2011, ICCO (International Cocoa Organization) memperkirakan produksi kakao dunia akan mencapai 4,05 juta ton, sementara konsumsi akan mencapai 4,1 juta ton, sehingga akan terjadi defisit sekitar 50 ribu ton per tahun (ICCO, 2011). Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik bagi Indonesia karena sebenarnya Indonesia berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia. Namun, kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia dikenal sangat rendah berada di grade 3 dan 4. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan produk kakao yang masih tradisional 85% biji kakao produksi nasional belum difermentasi sehingga kualitas kakao Indonesia menjadi rendah. Rendahnya kualitas kakao menyebabkan harga biji dan produk kakao Indonesia di pasar internasional dikenai diskon US$200/ton atau 10%-15% dari harga pasar. Selain itu, beban pajak ekspor kakao olahan sebesar 30% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beban pajak impor produk kakao 5%, kondisi tersebut telah menyebabkan jumlah pabrik olahan kakao Indonesia terus menyusut (ICCO, 2011). Selain itu para pedagang terutama trader asing lebih senang mengekspor dalam bentuk biji kakao non olahan. (diolah dari berbagai sumber) Sentra produksi kakao Lokasi produksi kakao terbanyak berada di pulau Sulawesi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Luas panen pada tahun 2010 di empat Provinsi di Sulawesi secara berurutan adalah 271.066 ha, 240.174 ha, 224.871 ha dan 186.125 ha.
Produksi kakao Sulawesi Tengah berada di Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Buol, Poso dan Toli-toli. Kakao yang dipanen di Sulawesi Tengah sebagian besar sudah dilakukan fermentasi sehingga memiliki keunggulan di banding kakao non femented. Biji kakao fermented dari Sulawesi Tengah di pasarkan ke PT. Bumi Tangerang. Peningkatan produksi kakao di daerah sentra mempunyai arti strategis karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap. Permasalahan utama yang dihadapi industri kakao dapat diatasi dengan penerapan fermentasi pada pengolahan biji pasca panen dan pengembangan produk hilir kakao berupa serbuk kakao. Rincian data produksi kakao tahun 2006-2010 disajikan pada tabel berikut. Tabel  Produksi Kakao Di Daerah Sentra
No
Provinsi
Produksi kakao (ton)
2006
2007
2008
2009
2010*
1
Aceh
17.071
19.249
27.295
29.130
28.429
2
Sumatera Utara
58.949
64.782
60.253
78.255
69.106
3
Sumatera Barat
18.623
20.725
32.183
33.430
34.099
4
Lampung
25.611
24.671
25.690
26.037
25.919
5
Jawa Timur
19.672
16.613
18.270
22.677
23.056
6
Sulawesi Tengah
131.942
146.778
151.949
138.149
187.179
7
Sulawesi Selatan
144.533
119.293
112.037
164.444
177.472
8
Sulawesi Barat
112.927
88.436
149.458
96.860
101.012
9
Sulawesi Tenggara
125.279
135.113
116.994
132.189
146.650
 
 
769.386
740.006
694.129
721.171
792.922
Sumber : Ditjen Bun *) : Angka sementara. Sementara data pelaku usaha/UPH kakao di daerah sentra produksi disajikan pada tabel dibawah ini. Tabel  Pelaku usaha kakao
No
Provinsi
Jumlah UPH/pelaku usaha (unit)
1
Kalbar
1
2
Sulsel
6
3
NTB
2
4
Lampung
28
5
DIY
34
6
Sulteng
75
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi, Diolah (2011) Berdasarkan tabel  di atas diketahui UPH/pelaku usaha kakao terbanyak di Provinsi Sulawesi Tengah adalah 75 UPH. Hal ini sesuai dengan produksi kakao di Provinsi Sulawesi Tengah terbesar nasional yakni mencapai 187.179 ton pada tahun 2010. Selain Sulawesi Tengah hampir di seluruh wilayah pulau Sulawesi merupakan sentra produksi kakao. Produksi kakao di Sulawei Selatan mencapai 177.472 ton, Sulawesi Barat 101.012 ton dan Sulawesi Tenggara 146.650 ton pada tahun 2010. Peningkatan mutu kakao Peningkatan mutu kakao dilakukan dengan teknologi pengolahan kakao seperi proses fermentasi dan pengeringan. Tetapi teknologi pengolahan kakao belum dilakukan sesuai anjuran, akibatnya mutu kakao yang dihasilkan masih rendah. Rendahnya mutu tersebut mengakibatkan kakao Indo­nesia hanya dipakai sebagai bahan campuran makanan cokelat maksimal 10%. Fer­mentasi adalah proses yang mutlak dilakukan agar terbentuk perasa flavour dan aroma biji kakao yang baik. Sedangkan pengeringan adalah merupakan proses penunjang agar hasil fermentasi yang baik tetap baik hingga pengeringan berakhir.  Kakao fermented Pada saat panen, petani kakao memiliki kecenderungan untuk mengolah biji kakao tanpa fermentasi dengan cara merendam biji dalam air untuk membuang pulp dan dilanjutkan dengan penjemuran, dengan demikian biji siap dijual tanpa memperhatikan kualitas. Langkah tersebut diambil petani untuk mendapatkan hasil penjualan yang cepat. Karena jika melalui fermentasi diperlukan waktu inkubasi sehingga petani harus menunggu untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan, padahal fermentasi merupkan kunci penting untuk memberikan cita rasa coklat. Dengan demikian tata cara fermentasi pada biji kakao yang praktis perlu diadopsi oleh petani kakao. Biji kakao yang diproses melalui fermentasi akan diperoleh cita rasa coklat  sesungguhnya dengan biaya produksi relatif rendah. Fermentasi dapat dilakukan secara tradisional dan tidak memerlukan perlakuan khusus, hanya diperlukan wadah fermentasi dari kayu, ruang penyimpanan, lahan untuk menjemur, dan mesin penyangrai. Proses fermentasi akan menghasilkan kakao dengan cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana. Selain itu, kakao Indonesia memiliki kelebihan tidak mudah meleleh sehingga cocok untuk blending.  Fermentasi merupakan suatu proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai organisme pemroses. Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang melibatkan mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim endogen.  Fermentasi biji kakao tidak memerlukan penambahan kultur starter (biang), karena pulp kakao yang mengandung banyak glukosa, fruktosa, sukrosa dan asam sitrat dapat mengundang pertumbuhan mikroorganisme sehingga terjadi fermentasi. Tahapan pengolahan pasca panen kakao yaitu buah hasil panen dibelah dan biji berselimut pulp dikeluarkan, kemudian dikumpulkan pada suatu wadah. Jenis wadah yang digunakan dapat bervariasi, diantaranya drying platforms (Amerika), keranjang yang dilapisi oleh daun, dan kontainer kayu. Kontainer disimpan di atas tanah atau di atas saluran untuk menampung pulp juices yang dihasilkan selama fermentasi (hasil degradasi pulp). Pada umumnya, dasar kontainer memiliki lubang kecil untuk drainase dan aerasi. Kontainer tidak diisi secara penuh, disisakan 10 cm dari atas dan permukaan atas ditutupi dengan daun pisang yang bertujuan untuk menahan panas dan mencegah permukaan biji dari pengeringan. Fermentasi dalam kotak dapat dilakukan selama 2–6 hari, isi kotak dibalik tiap hari dengan memindahkannya ke kotak lain. Fermentasi biji kakao akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencokelat-hitamkan warna biji, mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga, meningkatkan aroma kakao (cokelat) dan kacang (nutty), dan mengeraskan kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita rasa dan mutu biji sangat rendah. Fermentasi pada biji kakao terjadi dalam dua tahap yaitu fermentasi anaerob (vacuum) dan fermentasi aerob. Keberadaan asam sitrat membuat lingkungan pulp menjadi asam sehingga akan menginisiasi pertumbuhan ragi dan terjadi fermentasi secara anaerob. Fermentasi an aerob diinisiasi oleh bakteri asam laktat dan bakteri asam asetat. Produk fermentasi yang dihasilkan berupa etanol, asam laktat, dan asam asetat yang akan berdifusi ke dalam biji dan membuat biji tidak berkecambah. Selama fermentasi terjadi pula aktivitas enzimatik, enzim yang terlibat adalah endoprotease, aminopeptidase, karboksipeptidase, invertase (kotiledon dan pulp), polifenol oksidase dan glikosidase. Enzim-enzim ini berperan dalam pembentukan prekursor cita rasa dan degradasi pigmen selama fermentasi. Prekursor cita rasa (asam amino, peptida dan gula pereduksi) membentuk komponen cita rasa di bawah reaksi Maillard (reaksi pencoklatan non-enzimatis) selama penyangraian. Untuk menghentikan proses fermentasi, biji kakao kemudian dikeringkan. Pengeringan dilakukan sampai kadar air menjadi 7–8 % (setimbang dengan udara berkelembaban 75 %). Kadar air kurang dari 6 %, biji akan rapuh sehingga penanganan serta pengolahan lanjutnya menjadi lebih sulit. Kadar air lebih dari 9 % memungkinkan pelapukan biji oleh jamur.
Pengeringan dengan pemanas sinar surya dapat memakan waktu 14 hari, sedangkan dengan pengeringan non surya memakan waktu 2–3 hari. Setelah pengeringan, biji disortir untuk membersihkan biji dan dilanjutkan dengan penyangraian pada suhu 21 0 C selama 10–15 menit. Tujuan dari penyangraian adalah untuk mensterilisasi biji serta pembentukan cita rasa dari prekursor cita rasa (hasil fermentasi) melalui reaksi Maillard.

3 comments: