Friday, December 28, 2012

Plastik Singkong: Terurai Dua Bulan

“Butuh waktu ribuan tahun hingga plastik hancur terurai di dalam tanah,” ujar dosen Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Khaswar Syamsu. Plastik berbahan pati singkong terurai hanya dalam dua bulan.

Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta pada 2010 menyebutkan produksi sampah plastik di Jakarta mencapai 523,6 ton per hari. Dengan jumlah itu boleh jadi dalam 100 tahun ke depan Jakarta bakal tenggelam dalam timbunan sampah plastik. Itulah sebabnya kampanye untuk menghentikan pemakaian plastik terus dikumandangkan para aktivis lingkungan.
Sugianto Tandio tak mau Jakarta tertimbun lautan plastik. Oleh karena itu pemilik PT Tirta Marta, produsen plastik di Cikupa, Tangerang, Banten, itu membuat plastik ramah lingkungan yang bisa cepat terurai. Plastik itu berbahan baku campuran bijih plastik sintetis dan pati singkong.
Jasa mikroba
Singkong? Ya, mengapa tidak? Menurut ahli bioteknologi Department of Biotechnology, Faculty of Agro-Industry, Kasetsart University, Bangkok, Thailand, Klanarong Sriroth, pati singkong dapat diolah menjadi asam polilaktat (PLA). PLA salah satu poliester yang mudah terurai secara alami dan dapat diolah menjadi berbagai produk berbahan plastik. Caranya, pati singkong difermentasi menggunakan enzim hidrolisis. Lalu dimurnikan hingga menghasilkan asam laktat. Asam laktat kemudian dikonversi menjadi laktida pada reaktor dengan penyaluran tekanan dan suhu. Setelah itu laktida diberi katalis hingga menjadi polilaktat.
Dalam bentuk itulah Sugianto mencampurnya dengan bijih plastik untuk memproduksi kantong plastik. “Dengan tambahan pati singkong proses penguraian plastik di dalam tanah hanya dalam waktu dua bulan,” tutur alumnus pascasarjana dari The University of North Dakota itu.
Sugianto mengadopsi teknologi pencampuran plastik ramah lingkungan dari Amerika Serikat. Di sana plastik cepat urai terbuat dari tepung jagung karena produksinya melimpah ruah. Negara adidaya itu produsen jagung terbesar di dunia. “Kalau di sini biaya produksi dengan tepung jagung bisa 3 kali lebih mahal ketimbang dengan campuran singkong,” ujar Sugianto.
Pati singkong juga dapat diolah menjadi poliester mudah terurai lain, polihidroksialkanoat (PHA). Dalam pembuatan PHA, pati singkong yang merupakan sumber glukosa dimanfaatkan sebagai pakan mikroba mengandung PHA. “Contohnya azotobacter, bacillus, rhizobium, eutropha, dan pseudomonas. Tetapi kandungan PHA terbesar dihasilkan Ralstonia eutropha, mencapai 80%,” ujar Khaswar.
Pati singkong dihidrolisis menjadi senyawa karbon sederhana alias monomer. Kemudian ditambahkan senyawa sumber nitrogen, mineral, dan vitamin untuk melengkapi kebutuhan nutrisi mikroba. Penambahan nutrisi juga meningkatkan rendemen PHA.
Dengan pakan itu sel mikroba tumbuh membesar dan menghasilkan PHA berwarna putih yang menyelimuti seluruh sel.  PHA diekstrak, lalu diolah menjadi bijih plastik. Kemudian dibuat menjadi lembaran memakai pelarut alami. Agar plastik yang dihasilkan elastis, ditambahkan plasticizer alias pemplastik seperti dimetil ftalat (DMF) dan dietilen glikol (DEG).
Menurut peneliti di Balai Besar Kimia dan Kemasan LIPI, Dr Eng Agus Haryono, pemplastik sebaiknya menggunakan bahan alami seperti minyak kelapa sawit yang merupakan sumber asam oleat. Asam itu bahan utama pembuatan plastik polivinilklorida (PVC). PVC relatif ramah lingkungan karena mudah terurai. “Dengan teknologi itu diharapkan tak ada lagi sampah plasik  menggunung,” kata Khaswar.
Pengganti styrofoam
Di Bangkok, Thailand, peneliti di Kasetsart University memproduksi wadah makanan terbuat dari lembaran berbahan baku campuran pati singkong, serat selulosa, dan bahan tambahan lain yang aman bagi manusia. Lembaran dicetak menjadi bentuk kemasan yang diinginkan. Teksturnya  mirip karton, tapi tak rembes air selama 2—3 jam jika temperatur air sama dengan suhu ruang. Bila temperatur air 80oC, kemasan hanya tahan selama 20 menit, setelah itu rusak.

Berbagai kemasan makanan pengganti styrofoam terbuat dari pati singkong dan serat selulosa. Limbahnya dapat digunakan sebagai kompos
Hasil uji bahan kimia menunjukkan kemasan itu bebas logam berat seperti timbal (Pb). Kandungan kadmium (Cd) dan arsenik (As)—keduanya  unsur beracun—masing-masing kurang dari 2 ppm dan 0,01 ppm. Jauh di bawah ambang batas membahayakan yang mencapai 5 ppm dan 0,02 ppm. “Oleh karena itu kemasan itu cocok sebagai pengganti styrofoam,”  ujar Sriroth.
Kemasan berbahan kopolimer styrene itu jamak digunakan sebagai kemasan makanan. Jepang merupakan negara pengguna kemasan styrofoam terbesar di dunia. Data Japan Convinience Food menyebutkan pada 1999 Jepang memproduksi 2.965-miliar mi instan dalam mangkuk styrofoam. Jumlah itu meningkat 6,8% setiap tahunnya.
Padahal, styrofoam dapat meninggalkan residu berupa styrene dimer dan trimer yang membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui International Agency for Research on Cancer dan EPA (Enviromental Protection Agency) mengkategorikan styrofoam sebagai bahan karsinogen alias pemicu kanker. Styrofoam juga membahayakan lingkungan karena tidak akan pernah terurai di tanah.
Kemasan ala Kasetsart dapat terurai di tanah hanya dalam 1 bulan dan menjadi sumber karbohidrat bagi tanaman. Itulah sebabnya limbah kemasan dapat diolah menjadi kompos. Kalau sudah begitu singkong ibarat dewa penolong. (Imam Wiguna)

No comments:

Post a Comment