“Butuh waktu ribuan tahun hingga plastik hancur terurai di dalam
tanah,” ujar dosen Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor, Khaswar Syamsu. Plastik berbahan pati singkong terurai hanya
dalam dua bulan.
Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta pada 2010 menyebutkan produksi
sampah plastik di Jakarta mencapai 523,6 ton per hari. Dengan jumlah itu
boleh jadi dalam 100 tahun ke depan Jakarta bakal tenggelam dalam
timbunan sampah plastik. Itulah sebabnya kampanye untuk menghentikan
pemakaian plastik terus dikumandangkan para aktivis lingkungan.
Sugianto Tandio tak mau Jakarta tertimbun lautan plastik. Oleh karena
itu pemilik PT Tirta Marta, produsen plastik di Cikupa, Tangerang,
Banten, itu membuat plastik ramah lingkungan yang bisa cepat terurai.
Plastik itu berbahan baku campuran bijih plastik sintetis dan pati
singkong.
Jasa mikroba
Singkong? Ya, mengapa tidak? Menurut ahli bioteknologi Department of
Biotechnology, Faculty of Agro-Industry, Kasetsart University, Bangkok,
Thailand, Klanarong Sriroth, pati singkong dapat diolah menjadi asam
polilaktat (PLA). PLA salah satu poliester yang mudah terurai secara
alami dan dapat diolah menjadi berbagai produk berbahan plastik.
Caranya, pati singkong difermentasi menggunakan enzim hidrolisis. Lalu
dimurnikan hingga menghasilkan asam laktat. Asam laktat kemudian
dikonversi menjadi laktida pada reaktor dengan penyaluran tekanan dan
suhu. Setelah itu laktida diberi katalis hingga menjadi polilaktat.
Dalam bentuk itulah Sugianto mencampurnya dengan bijih plastik untuk
memproduksi kantong plastik. “Dengan tambahan pati singkong proses
penguraian plastik di dalam tanah hanya dalam waktu dua bulan,” tutur
alumnus pascasarjana dari The University of North Dakota itu.
Sugianto mengadopsi teknologi pencampuran plastik ramah lingkungan
dari Amerika Serikat. Di sana plastik cepat urai terbuat dari tepung
jagung karena produksinya melimpah ruah. Negara adidaya itu produsen
jagung terbesar di dunia. “Kalau di sini biaya produksi dengan tepung
jagung bisa 3 kali lebih mahal ketimbang dengan campuran singkong,” ujar
Sugianto.
Pati singkong juga dapat diolah menjadi poliester mudah terurai lain,
polihidroksialkanoat (PHA). Dalam pembuatan PHA, pati singkong yang
merupakan sumber glukosa dimanfaatkan sebagai pakan mikroba mengandung
PHA. “Contohnya azotobacter, bacillus, rhizobium, eutropha, dan
pseudomonas. Tetapi kandungan PHA terbesar dihasilkan Ralstonia
eutropha, mencapai 80%,” ujar Khaswar.
Pati singkong dihidrolisis menjadi senyawa karbon sederhana alias
monomer. Kemudian ditambahkan senyawa sumber nitrogen, mineral, dan
vitamin untuk melengkapi kebutuhan nutrisi mikroba. Penambahan nutrisi
juga meningkatkan rendemen PHA.
Dengan pakan itu sel mikroba tumbuh membesar dan menghasilkan PHA
berwarna putih yang menyelimuti seluruh sel. PHA diekstrak, lalu diolah
menjadi bijih plastik. Kemudian dibuat menjadi lembaran memakai pelarut
alami. Agar plastik yang dihasilkan elastis, ditambahkan plasticizer
alias pemplastik seperti dimetil ftalat (DMF) dan dietilen glikol (DEG).
Menurut peneliti di Balai Besar Kimia dan Kemasan LIPI, Dr Eng Agus
Haryono, pemplastik sebaiknya menggunakan bahan alami seperti minyak
kelapa sawit yang merupakan sumber asam oleat. Asam itu bahan utama
pembuatan plastik polivinilklorida (PVC). PVC relatif ramah lingkungan
karena mudah terurai. “Dengan teknologi itu diharapkan tak ada lagi
sampah plasik menggunung,” kata Khaswar.
Pengganti styrofoam
Di Bangkok, Thailand, peneliti di Kasetsart University memproduksi
wadah makanan terbuat dari lembaran berbahan baku campuran pati
singkong, serat selulosa, dan bahan tambahan lain yang aman bagi
manusia. Lembaran dicetak menjadi bentuk kemasan yang diinginkan.
Teksturnya mirip karton, tapi tak rembes air selama 2—3 jam jika
temperatur air sama dengan suhu ruang. Bila temperatur air 80oC, kemasan hanya tahan selama 20 menit, setelah itu rusak.

Hasil uji bahan kimia menunjukkan kemasan itu bebas logam berat
seperti timbal (Pb). Kandungan kadmium (Cd) dan arsenik (As)—keduanya
unsur beracun—masing-masing kurang dari 2 ppm dan 0,01 ppm. Jauh di
bawah ambang batas membahayakan yang mencapai 5 ppm dan 0,02 ppm. “Oleh
karena itu kemasan itu cocok sebagai pengganti styrofoam,” ujar
Sriroth.
Kemasan berbahan kopolimer styrene itu jamak digunakan sebagai
kemasan makanan. Jepang merupakan negara pengguna kemasan styrofoam
terbesar di dunia. Data Japan Convinience Food menyebutkan pada 1999
Jepang memproduksi 2.965-miliar mi instan dalam mangkuk styrofoam.
Jumlah itu meningkat 6,8% setiap tahunnya.
Padahal, styrofoam dapat meninggalkan residu berupa styrene dimer dan
trimer yang membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) melalui International Agency for Research on
Cancer dan EPA (Enviromental Protection Agency) mengkategorikan
styrofoam sebagai bahan karsinogen alias pemicu kanker. Styrofoam juga
membahayakan lingkungan karena tidak akan pernah terurai di tanah.
Kemasan ala Kasetsart dapat terurai di tanah hanya dalam 1 bulan dan
menjadi sumber karbohidrat bagi tanaman. Itulah sebabnya limbah kemasan
dapat diolah menjadi kompos. Kalau sudah begitu singkong ibarat dewa
penolong. (Imam Wiguna)
No comments:
Post a Comment