Bogor, 5/9 (ANTARA) - Kekayaan dan keanekaragaman
(biodiversitas) plasma nutfah satwa nusantara, khususnya ternak yang
cukup tinggi di Indonesia harus dijaga kelestariannya serta dioptimalkan
pemanfaatannya secara berkelanjutan sebagai potensi penyedia bahan baku
pangan dan industri.
Demikian kutipan salah satu point penting kesimpulan dalam seminar
nasional Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan Plasma Nutfah Satwa
Nusantara, yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(AIPI) di Bogor, Rabu.
Seminar yang menghadirkan sejumlah pembicara di antaranya Dr. Lily
Prijono (Puslit Biologi LIPI) Dr.Noviar Andayani (UI/Per) Prof. Dr. Ir.
Muladno (Himpunan Ilmuwan Peternakan Indonesia) Prof. Dr. Ir. Kusuma
Diwyanto (Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia; Komnas SD Ternak Lokal)
menyimpulkan bahwa puluhan rumpun ternak asli Indonesia dan ratusan
rumpun ternak yang telah teradaptasi dengan kondisi lokal Indonesia
merupakan potensi besar sebagai penyedia bahan baku pangan dan bahan
baku industri di Indonesia.
Lebih lanjut kutipan kesimpulan seminar nasional koservasi dan
pemanfaatan berkelanjutan plasma nutfah satwa nusantara dipaparkan oleh
Sekretaris AIPI Tati Subagyartati yang menyebutkan, dari potensi fauna
yang begitu besar, yang dibudidayakan untuk manfaat kepentingan peri
kehidupan bangsa Indonesia baru sebahagian saja, seperti yang sudah
dilakukan sejak zaman Majapahit yaitu ikan bandeng dan domestikasi ikan
tambra atau ikan kancra atau ikan batak (Labeobarbus tambriodes) yang
dilakukan oleh keluarga batak di Sumatra.
"Banyak yang belum dimanfaatkan untuk tujuan produksi maupun perbaikan
mutu genetik bangsa-bangsa satwa seperti banteng liar yang merupakan
"stock" bibit masa depan," katanya.
Ia menyebutkan, dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak sebagai
penyedia bahan baku pangan, kebijakan pemerintah dalam memanfaatkan
teknologi inseminasi buatan selama puluhan tahun dengan menyilangkan
ternak asli dan ternak lokal (khususnya sapi) dengan ternak exotic
(impor) telah berhasil meningkatkan produksi daging dan susu secara
nasional.
Namun demikian, lanjut dia, karena implementasi program persilangan
tidak dilakukan secara terencana dan terarah, perhatian terhadap mutu
genetik ternak lokal Indonesia sangat rendah karena banyak pihak
mengklaim bahwa ternak hasil persilangan selalu lebih besar dan lebih
menguntungkan secara ekonomis daripada rumpun ternak lokal.
"Demikian juga untuk implementasi teknologi transfer embrio," ujarnya.
Selanjutnya ia mengatakan, karena hampir semua komoditas ternak asli
atau lokal di Indonesia tidak atau kurang diperhatikan, usaha perbibitan
ternak lokal kurang dikembangkan sehingga tidak tersedia ternak
berkualifikasi bibit dalam jumlah besar.
Bahkan untuk komoditas sapi dan kerbau, tidak ada satu ekor pun yang
dapat dikategorikan sebagai bibit karena tidak adanya catatan asal-usul
dan catatan produktivitasnya secara genetik.
Sebaliknya, kata dia, mutu genetik ternak lokal terus menurun dan
beberapa rumpun ternak berstatus langka, kritis, dan hampir punah.
Lebih lanjut ia mengatakan, selain karena sebagian besar ternak lokal
dikelola peternak berskala kecil sebagai usaha sampingan, kemunduran
mutu genetik sumberdaya genetik ternak juga disebabkan karena perilaku
eksploitatif manusia yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi tanpa
mempedulikan keberlanjutannya, atau karena bencana alam dan keadaan
darurat, epidemi penyakit hewan termasuk zoonosis.
"Untuk penyebab yang dapat dikontrol, perlu ada upaya pencegahan kemerosotan mutu genetik ternak lokal," katanya.
Dikatakannya, pemanfaatan bioteknologi molekuler untuk perbaikan mutu
genetik ternak lokal kurang efektif karena tidak tersedianya data
produksi dan reproduksi pada hampir semua komoditas ternak sebagai
akibat tidak adanya usaha perbibitan ternak yang dikelola secara
professional dalam populasi besar.
Usaha perbibitan ternak yang dilakukan peternak berskala kecil memiliki banyak kelemahan di hampir semua aspek usaha.
Menyadari bahwa konservasi biodiversitas yang mengoptimalkan pemanfaatan
ternak lokal dengan memperhatikan pelestariannya mutlak diperlukan,
lanjut Tati, maka diperlukan, program perbibitan ternak lokal harus
digencarkan dengan memberikan insentif agar lebih atraktif bagi pelaku
usaha untuk menanamkan modalnya di bidang tersebut mengingat usaha
perbibitan memerlukan investasi besar dengan perputaran keuntungan
lamban serta resiko yang tidak kecil.
Usaha perbibitan ternak yang telah dilakukan pemerintah melalui Unit
Pelaksana Teknis (UPT Pusat) dan UPT Daerah perlu lebih mengutamakan
rumpun ternak asli atau lokal serta perlu ditata ulang agar dapat
menjadi rujukan masyarakat dalam menghasilkan bibit yang benar.
"Berbagai kebijakan pemerintah yang sejalan dengan arah pengembangan
bibit ternak lokal perlu disosialisasikan ke masyarakat dengan memberi
dukungan dan fasilitasi yang memberi keuntungan semua pihak dalam rangka
menghasilkan bibit ternak lokal secara berkelanjutan. Selain itu,
komitmen pemerintah untuk menjalankan semua kebijakan yang telah
disusunnya perlu dijamin konsistensinya," kata dia.
Upaya lainnya, lanjut Tati, sebagai bagian dari kegiatan sosial budaya
kemasyarakatan, upaya konservasi biodiversitas ternak lokal dapat
dilakukan melalui kebijakan pewilayahan sumber bibit bagi ternak
berstatus aman dan kebijakan pelestarian bagi ternak berstatus tidak
aman, yang kedua kebijakan tersebut juga memperhatikan agroekosistemnya
dalam menentukan penetapannya.
"Selain itu, Etnozoologi dan Perubatanetno (ethnomedicine) satwa harus
menjadi perhatian kita (jenis-jenis ular, serangga, dan lainnya yang
mempunyai bisa yang sekarang dipakai obat; dalam kaitan ini harus
diupayakan adanya Bank Genom dan kriopreservasi mulai dari DNA sampai
sperma dan embrio dari satwa liar, satwa domestikasi maupun ternak,"
katanya.
Sedangkan dari segi pemanfaatan satwa primata sebagai dalam penelitian
biomedis secara lestari, lanjut Tati maka penting melakukan penangkaran
sp Indonesia sebagai pendukung kegiatan penelitian biomedis dan
penelitian menggunakan sp Indonesia mendukung konsep penyediaan hewan
laboratorium mendukung rantai evaluasi "dari laboratorium ke percobaan
klinik".
Tati menambahkan, untuk lebih mengefektifkan kegiatan konservasi sinergi
antara pemerintah, akademisi atau peneliti, pelaku usaha, dan komunitas
mutlak diperlukan dengan memainkan peran masing-masing pihak tersebut
sesuai dengan kompetensi dan tanggungjawabnya dalam kerangka visi yang
sama untuk melestarikan dan memanfaatkan biodiversitas ternak asli atau
lokal secara optimal dan berkelanjutan.
"Belajar dari kegiatan konservasi biodiversitas ternak asli atau lokal
Indonesia, ke depan bangsa Indonesia harus lebih mengedepankan
pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digali dari kekayaan
bangsa Indonesia sendiri untuk kemajuan manusia Indonesia dalam
berkompetisi secara internasional di komunitas global," katanya.
Belum ada tanggapan untuk "Pemanfaatan Plasma Nutfah Satwa Untuk Pangan"
Post a Comment