Mantan Gubernur Jawa Barat, Letnan Jenderal (Purn) Solihin Gautama
Purwanegara, ternyata punya hobi sama dengan violis cantik Maylaffayza
Permata Fitri Wiguna: berkebun dengan memanfaatkan pekarangan di kota.
Tengok saja yang dilakukan Mang Ihin - panggilan akrab Solihin - di
kediamannya di utara Bandung, Jawa Barat. Di halaman rumahnya seluas
4.000 m2 ia menanam padi, kacang panjang, tomat, cabai,
hingga terung. Mang Ihin sendiri yang merawat tanaman-tanaman itu.
Supaya subur ia memupuk dengan pupuk organik buatan sendiri.
Pupuk itu didapat dengan memfermentasi sampah hijau dengan
mikroorganisme lokal (MOL). “Prinsipnya memanfaatkan ketersediaan barang
yang ada di sekitar kita,” tutur Solihin. Kelahiran Tasikmalaya 21 Juli
1926 itu membuat MOL dengan mencampur 2 ons terasi, 2 ons ikan asin,
dan 1 kg dedak. Merebusnya dalam 2 liter air kelapa, sembari diaduk
sampai hancur.
Setelah dingin, campuran itu Solihin masukkan ke dalam ember sembari
diberi 2 ons gula pasir, 1 kg kotoran hewan, dan 20 liter air. Setiap 3
hari sekali campuran diaduk, dan biarkan selama 9 hari. Pada hari ke-9
itulah Mang Ihin menyaring campuran. “Air saringan itulah MOL-nya.
Ampasnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan tambahan kompos,” kata Gubernur
Jawa Barat periode 1974 - 1979 itu. Jika hendak dipakai, MOL yang sudah
diencerkan air dengan perbandingan 1:10 itu dikucurkan ke atas
sampah-sampah organik rumahtangga yang sudah dicacah. Bahan-bahan itu
disimpan dalam kotak dipagari bambu berukuran 2 m x 3 m dan
dibolak-balik setiap 3 hari sekali. Setelah 1 bulan, Mang Ihin
memanfaatkannya sebagai pupuk organik untuk menyuburkan tanaman di
halaman rumah. “Dengan menanam sendiri, kita bisa meminimalisir
ketergantungan pangan,” ungkap Solihin.
Agrohome
Masih di tatar Parahyangan, Sobirin Supardiyono pun memanfaatkan halaman rumahnya seluas 800 m2
untuk berkebun aneka sayuran. Pot-pot berisi cabai, tomat ceri, sawi
hijau, kangkung darat, selada, hingga padi berjajar rapi di beranda
rumah. “Saya juga menanam kol dan bawang daun dalam karung,” tutur
Sobirin yang memandang kegiatan berkebun bisa sebagai ajang silaturahmi
dan menjalin pertemanan sesama warga kota.
Budidaya sayuran di halaman juga menjadikan rumah zero waste.
Maksudnya, limbah sampah organik yang selama ini tidak termanfaatkan
bisa digunakan sebagai kompos. “Sampah rumah tidak dibuang ke luar
rumah, tapi kembali dimanfaatkan untuk tanaman,” tutur ahli geologi
lingkungan itu. Dengan begitu diharapkan terwujud konsep agrohome.
Yaitu, rumahtangga pertanian yang bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri
dengan memanfaatkan ketersediaan lahan yang ada.
Memanfaatkan lahan yang ada itu pula yang dilakoni Dr Ir Mubiar
Purwasasmita, staf pengajar Fakultas Teknologi Industri, Institut
Teknologi Bandung. Mubiar menanam padi dalam pot di lantai dua rumahnya.
Menurut pria kelahiran Sumedang, 27 Desember 1951 itu pemanfaatan
pekarangan untuk bertanam sayuran selain mempunyai nilai ekonomis juga
bisa bernilai rekreatif sebagai pelepas lelah setelah aktivitas
keseharian yang padat.
Lahan kota
Yang dilakukan Solihin, Sobirin, dan Mubiar itu dalam bahasa kerennya
saat ini disebut urban farming atau bercocok tanam di kota. Menurut
Badan Pangan Dunia (FAO), urban farming merupakan bagian dari urban
agriculture (UA). Yaitu suatu usaha memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari dengan memanfaatkan sumberdaya lahan di kota ataupun
pinggiran kota. Sumber hara didapat dengan memanfaatkan sampah atau
bahan-bahan organik yang selama ini terabaikan. Kegiatannya bisa berupa
bercocok tanam sayuran, dan buah, pun budidaya ikan dan hewan ternak.
Fenomena UA sendiri sejatinya bukan barang baru. Menurut Andre Vijoen
dalam buku Continous Productive Urban Landscapes, jejak UA bisa
dilacak hingga zaman Persia Kuno dan kebudayaan Macchu Picchu di Peru
pada 1450. Bahkan menurut Ir Marco Kusumawijaya, pakar tata kota di
Jakarta, pada masa perang dunia kedua, 40 - 60% kebutuhan sayuran di
negara Inggris, Jepang, dan Amerika dipenuhi lewat UA. Saat ini, sesuai
data dari Departemen Pertanian Kuba, UA menyumbang 90% pangan segar
warga ibukota Kuba, Havana. Pada 2003 tidak kurang 3,4-juta ton
pangan dihasilkan dari 140 km2 lahan UA.
“Virus” UA mendapat perhatian luas kala menghinggapi Gedung Putih,
Amerika Serikat. Pada 2009 First Lady Michelle Obama berkebun sayuran
organik di lahan seluas 102 m2. Michelle menanam beragam
sayuran seperti kentang, tomat, terung, dan brokoli. Hasil kebun itu
kerap digunakan para juru masak Gedung Putih sebagai jamuan makan malam
keluarga presiden dan tamu-tamu kenegaraan yang berkunjung.
Lahan kosong
Menurut Rektor Universitas Indonesia Prof Dr der Soz Gumilar Rusliwa
Somantri, maraknya praktek UA seiring makin sadarnya masyarakat akan
pentingnya lingkungan yang hijau. “Walaupun itu sekadar menanam dalam
pot-pot,” tutur Gumilar yang menanam tomat, cabai, dan sayuran lain di
pot di halaman rumahnya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Bagi
banyak orang, aktif bertani juga menyehatkan. Berdasarkan beberapa
artikel disebutkan 1 jam berkebun mampu membakar kalori sebanyak 280 -
380 kalori setara dengan olahraga jogging 30 menit atau lari 2,5 km.
Gairah serupa tapi tak sama pun menjalari arsitek kondang Ir Ridwan
Kamil MT, violis Maylaffayza, dan komunitas Indonesia Berkebun.
Komunitas itu berkebun dengan memanfaatkan lahan kosong yang selama ini
dibiarkan menganggur. Gerakan itu bermula dari “kicauan” Ridwan Kamil di
sebuah jejaring sosial yang mengajak orang berkebun di perkotaan
memanfaatkan lahan menganggur. Gayung bersambut, tidak kurang 300 orang
turut bergabung. Ridwan menyebut partisipan berasal dari beragam usia
mulai 5 tahun hingga 65 tahun.
Pada Februari 2011, gerakan itu mulai menanam kangkung dan sawi hijau
di lahan seluas 1 ha di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Lahan itu
selanjutnya dibagi-bagi menjadi petak berukuran 3 m x 1 m. Petak-petak
yang diberi nama kabupaten di Indonesia itu selanjutnya dipelihara oleh
masing-masing anggota.
Berkat kerja sama yang kompak, pada April 2011 komunitas tersebut
menuai panen kangkung. Menurut Maylaffayza, kegiatan berkebun itu selain
menjadikan lingkungan lebih hijau jika sebagai sarana belajar menanam
makanan yang akan dikonsumsi sendiri. Hal senada dikemukakan Ridwan.
“Setidaknya ada 3 isu yang disasar: ekologi, ekonomi, dan edukasi,”
ungkap kelahiran Bandung 4 Oktober 1971 itu.
Yang menggembirakan kegairahan itu turut pula menjalar ke daerah
lain. “Sebentar lagi kota Bandung, Bogor, Semarang, Surabaya, Medan, dan
Padang akan menyusul,” tutur Sigit Kusumawijaya, anggota komunitas.
Komunitas ini membuka pintu bagi siapa pun pemilik lahan yang ingin
lahannya ditanami ataupun individu yang tertarik berkebun.
Menurut Ronny Lukito, penggiat lingkungan dari Gerakan Tanam
Indonesia (GTI), kehadiran UA yang kini tengah marak merupakan bentuk
gaya hidup yang positif. “Itu penting untuk mengurangi ecological
footprint,” tutur Marco. Maksudnya dengan menanam sumber bahan makanan
sedekat mungkin dari kita, mengurangi dampak ekologis berupa polusi.
Oleh karenanya mereka sudah mulai mencoba dengan menanam sendiri
kebutuhan pangan di halaman rumah atau lahan kosong. Anda tertarik ikut
serta? (Faiz Yajri)
Ibu Gubernur Bertanam Sayur
Sepetak lahan berukuran 3,5 m x 2 m itu terlihat hijau dan ranum.
Maklum di bagian depan petak berjejer kailan Brassica oleracea berumur
sebulan dengan 6 - 8 helai daun hijau. Bagian belakangnya ditanami
tomat Lycopersicum esculentum yang telah berbuah seukuran bola
pingpong. “Di sinilah kami menanam sayuran,” kata Ny Sri Hartati Fauzi
Bowo, istri Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, saat ditemui Trubus pada
awal Mei 2011. Lokasi kebun mini itu berada di halaman belakang rumah
dinas gubernur DKI di Jalan Teuku Umar No. 7 Jakarta Pusat.
Di luar petak itu Tatiek Fauzi Bowo - panggilan akrab - masih menanam
terung Solanum sp dan cabai rawit Capsicum frutescens. Kedua sayuran
itu ditanam rapat di depan pagar tanaman hias si anak nakal Duranta
repens. “Dulu saya juga menanam bayam dan kangkung karena cepat tumbuh,”
ujar Tatiek yang selalu memasak sayuran hasil panen itu untuk keluarga.
Sebagai ketua tim penggerak PKK DKI Jakarta, Tatiek Fauzi Bowo memang
berkepentingan memberikan contoh bila bertanam sayuran banyak memberi
manfaat. “Saya memotivasi pada warga agar benar-benar mau terlibat dalam
gerakan menanam sayur sehingga minimal warga bisa memenuhi kebutuhan
pangannya sendiri,” ujar kelahiran Semarang 29 Agustus 1953 itu.
Kini di bawah koordinasinya, banyak ibu-ibu PKK wilayah DKI Jakarta
yang telah memanfaatkan lahan dengan menanam beragam sayuran seperti
bayam, cabai, terung, dan kangkung. Penanaman tak hanya di lahan, tetapi
juga memanfaatkan pekarangan sempit dengan cara menanam dalam pot.
“Kesadaran warga akan pentingnya menanam sayuran sudah tumbuh dengan
baik,” ujar pemerhati lingkungan itu. (Dian Adijaya S)
Belum ada tanggapan untuk "Para Pesohor Berkebun di Kota "
Post a Comment