Friday, December 28, 2012

Kota dalam Taman

Ledakan penduduk dan pertumbuhan kota metropolis tak selamanya menggusur ruang terbuka hijau. Bila tak percaya tengoklah Singapura. Pada 1986 negara pulau itu berpenduduk 2,7-juta jiwa dengan ruang hijau 37,5%. Dua puluh satu tahun berselang penduduk berlipat menjadi 4,6-juta jiwa, tapi ruang hijau pun tumbuh 46,5%.
 Amalya Hasibuan, Indonesia bisa memanfaatkan taman vertikal sebagai solusi menambah ruang terbuka hijau
Sebutan negara mini tak membuat Singapura kehilangan akal menghijaukan kota. Luas daratan mereka hanya 700 km2 atau setara Kota Jakarta. Lima puluh tahun silam Lee Kuan Yeaw, perdana menteri Singapura, mencanangkan negaranya sebagai garden city alias kota taman. ‘Lahan terbatas menjadi masalah buat kami, tapi itu bukan alasan ruang hijau harus hilang,’ kata Lee Pin Pin, deputi direktur Taman Nasional Singapura.
Pada 2003 Singapura membuat kebijakan, setiap penyebaran 1.000 penduduk mesti dibuat 0,8 ha ruang hijau. Taman kota pun dibangun di mana-mana. Pemilik gedung bertingkat menyiasati dengan taman atap. Trotoar pun dibuat seperti lintasan di atas taman. Kini terhubung 120 km lintasan yang menyatukan  semua taman di Singapura. Targetnya pada 2015 terhubung 300 km.
Namun, semua itu belum cukup. ‘Kini mimpi kami bukan membuat garden city seperti dulu, tapi city in a garden,’ kata Ng Lang, CEO Taman National Singapura. Dulu unsur taman melengkapi kota, kini targetnya kota ada di dalam taman - artinya unsur ruang hijau lebih banyak. Dua tahun belakangan mereka gencar membangun taman vertikal di mana-mana. Sebut saja di Terminal 3 Bandara Changi dan di Orchard Central Mall.
Solusi kota
Menurut Albert Quek, perancang taman vertikal di Singapura, taman vertikal solusi buat kota metropolis. ‘Pembangunan gedung untuk hunian dan kantor sebuah keniscayaan di sebuah kota dan pasti mengurangi ruang hijau. Taman vertikal mengganti ruang hijau itu tanpa banyak menyita tempat,’ tutur Albert.
Banyak yang beranggapan taman vertikal merusak tembok karena membuat lembap dan lapuk. Persepsi itu ‘patah’ setelah Patrick Blanc, botanis dan peneliti di Eropa, menerapkan prinsip hidroponik dan pemilihan tanaman yang butuh sedikit tanah - bahkan tanpa tanah - untuk taman vertikal modern. Ia membangun banyak taman vertikal di Eropa sejak 1980-an dan menerbitkan karyanya 2 tahun silam. Singapura pun menirunya untuk menghijaukan kota.
Menurut Amalya Hasibuan, desainer taman vertikal di Jakarta, taman vertikal pun bisa menjadi jawaban untuk Jakarta atau kota besar di Indonesia yang ruang hijaunya kian berkurang. Data Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, menyebut saat ini ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta tinggal 9,6% dari luas kota 665 km2. Padahal kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio De Jainiro (1992) dan KTT Bumi di Johannesburg (2002), mensyaratkan kota idealnya memiliki 30% ruang hijau.
Banyak manfaat
Singapura gencar membangun taman vertikal karena didukung beragam riset ilmiah yang mengungkap manfaatnya. Riset Universitas Nasional Singapura menunjukkan permukaan taman vertikal menurunkan suhu 120C ketimbang dinding telanjang saat siang hari pukul 12.00 - 13.00. Suhu permukaan dinding telanjang pada siang hari mencapai 38,50C. Sementara rata-rata 8 taman vertikal yang diuji suhunya hanya 26,50C. Perbedaan suhu siang dan malam dinding taman vertikal pun lebih stabil, hanya 10C. Sementara perbedaan suhu siang dan malam dinding telanjang mencapai 100C.
Terungkap pula fakta taman vertikal mampu menurunkan kebisingan kota yang membuat stres penghuninya. Studi di Singapura menyebut taman vertikal meredam suara hingga 9,9 dB. Suara bising lalu lintas pun menjadi lebih lembut.
Manfaat lain ialah menurunkan polusi udara. Di Frankfurt, Jerman, dilaporkan udara di jalanan tanpa tanaman, dicemari 10.000 - 20.000 partikel polutan per liter udara. Sementara jalanan yang ditumbuhi tanaman dan ada taman hanya ditemukan 3.000 partikel polutan. ‘Udara menjadi lebih bersih dan segar,’ kata Amalya.
Kini segudang manfaat taman vertikal itu bisa diperoleh dengan mudah. Musababnya, inspirasi dari Patrick Blanc membuat perancang taman vertikal bermunculan sejak setahun terakhir di Asia. Mereka merancang dari bahan sederhana yang bisa dibuat sendiri seperti karpet, shading net, bambu, kayu, dan batu bata. Bukan mustahil julukan city in a garden tak hanya buat Singapura, tapi juga terwujud di tanahair. (Destika Cahyana)

  1. Taman vertikal di 99 Restaurant, Ranch Market, Grand Indonesia, rancangan Amalya Hasibuan. Sejak setahun terakhir beberapa gedung di Jakarta mulai menerapkan konsep vertical garden berbahan kain felt
  2. Taman vertikal di mal Orchard Central Singapura. Riset menyebutkan taman vertikal mampu menurunkan suhu hingga 120C pada siang hari pukul 12.00 - 13.00
  3. Di Singapura lintasan jalan dibuat sepanjang 300 km tanpa mengganggu ruang hijau di bawahnya
  4. Amalya Hasibuan, Indonesia bisa memanfaatkan taman vertikal sebagai solusi menambah ruang terbuka hijau

No comments:

Post a Comment