Negeri tercinta ini produsen singkong nomor empat dunia, tapi juga pengimpor kedua setelah China.
Waktu menunjukkan pukul 20.00 di Tenggarong, Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur. Suasana di Gelanggang Olahraga Aji Imbut seluas 4,2 ha
itu masih hiruk-pikuk. Para pengunjung keluar masuk arena Pekan
Nasional XIII Kontak Tani Nelayan Andalan 2011 (PENAS KTNA 2011). Mereka
berbincang, berdiskusi, sampai berbelanja di stan-stan milik para
petani dan nelayan dari seluruh Indonesia itu. Suasana riuh terus
merambat hingga jam menunjuk pukul 22.00.
Namun, tidak dengan stan di bagian kanan luar tenda pameran. Sedari
tadi stan itu sudah ditinggal penjaganya. Bukan tak ada pengunjung,
justru banyak peminat yang datang tapi kecewa lantaran menjumpai stan
sudah kosong. Trubus yang datang ke sana pada 21 Juni 2011 malam juga
menggigit jari tidak jadi mencicipi menu sajian stan milik Induk
Koperasi Tani dan Nelayan (Inkoptan) yang menjajakan produk PT Rassa
Indonesia itu.
Stan itu menyajikan penganan sederhana: mi dan nasi goreng, Lalu
mengapa setiap hari orang datang berbondong-bondong ke sana sehingga
terjual 500 porsi per hari dengan harga per porsi Rp10.000? Harap
maklum, kedua menu itu rasanya juara. “Bumbu mi dan nasi goreng tidak
hanya terbuat dari aneka rempah, tapi juga diberi tambahan
butiran-butiran tiwul,” tutur Ketua Tim Kemitraan PT Rassa Indonesia, M
Sholeh. Rupanya butiran umbi singkong Manihot esculenta jadi kuncinya.
Pangan alternatif
PT Rassa Indonesia menambahkan butiran tiwul pada bumbu instan
racikannya untuk memberi tekstur berbeda saat bumbu dipakai memasak mi
atau nasi goreng. “Jadi saat orang menyantapnya ada sensasi kenyal
terasa,” kata Sholeh yang tidak menduga respon pasar begitu bagus.
Direktur Inkoptan Unit Usaha KTNA Nasional itu juga menyebut butiran
tiwul itu memberi efek cepat kenyang sehingga konsumsi nasi berkurang.
Berdasarkan data yang dihimpun Sholeh, Indonesia konsumen beras
tertinggi di dunia mencapai 139 kg/kapita/tahun. Sementara Jepang
dan China yang semula konsumen beras tertinggi, mampu menekan jumlah
konsumsi beras menjadi 90 kg per kapita/tahun. Padahal, produksi beras
nasional naik turun sehingga pada waktu-waktu tertentu kita mesti
mengimpor. Untuk mengurangi ketergantungan itu maka perlu ada alternatif
pangan.
PT Rassa Indonesia melakukannya dengan memanfaatkan singkong. Selain
pada bumbu instan, umbi tanaman anggota famili Euphorbiaceae itu juga
dicampurkan dalam pembuatan mi. Komposisinya 20—30% tepung singkong
modifikasi alias mocaf; sisanya terigu. Toh tekstur dan rasanya sama
dengan mi terbuat dari 100% terigu. Sholeh menghitung jika seluruh
industri mi mengganti 20—30% terigu dengan mocaf, maka impor terigu
diperkirakan berkurang 40%. Itu setara dengan penghematan
Rp867,36-miliar.
Tepung singkong jadi pilihan karena bahan bakunya tersedia banyak di
tanahair. Teknologi budidaya dan pengolahannya pun sudah dikuasai.
Dengan menampilkan singkong dalam bentuk berbeda Sholeh berharap umbi
tanaman kerabat jarak pagar itu makin populer sebagai pangan alternatif.
Dengan begitu ketergantungan terhadap nasi dan terigu yang berbahan
gandum dapat berkurang. Pengolah singkong sebagai bahan baku industri
modern pun diharapkan mendongkrak nilai jual di kebun. Pekebun merasa
untung dan kian semangat menanam singkong.
Pengganti terigu
Sejak 2 tahun terakhir, popularitas singkong memang mencorong di
tanahair. Itu diawali munculnya teknologi modified cassava flour (mocaf)
yang memanfaatkan bakteri asam laktat untuk “merusak” granula pati dan
dinding sel umbi singkong. Dengan begitu struktur sel dan karakteristik
singkong yang diolah menjadi tepung berubah.
Lewat fermantasi selama 8 jam, proses pengeringan, dan penepungan
didapat tepung singkong yang mudah larut. “Citarasa menjadi netral, bau
dan rasa singkong hilang sampai 70%,” kata Dr Achmad Subagio, penemu
tepung mocaf dari Universitas Jember, Jawa Timur.
Mocaf digadang-gadang sebagai pengganti terigu. Harap mafhum, volume
impor terigu Indonesia cenderung meningkat. Badan Pusat Statistik
mencatat volume impor pada 2006 baru 536.961.661 kg senilai
Rp1,188-triliun. Volume impor melonjak menjadi 580.887.319 kg
(Rp1,496-triliun) pada 2007. Popularitas umbi kasava itu kian
terdongkrak dengan bermunculannya berbagai merek olahan keripik singkong
dalam kemasan cantik yang dikembangkan perusahaan-perusahaan besar.
Menurut Direktur Budidaya Aneka Kacang dan Umbi, Kementerian
Pertanian, Ir Rahman Pinem MM, pemanfaatan singkong di tanahair masih
fokus sebagai sumber pangan alternatif. Padahal, faedah tanaman kerabat
euphorbia itu berlimpah (baca: Bukan Umbi, Tapi Harta Karun, halaman
82—82). Baru beberapa perusahaan yang serius mengembangkan produk
turunan singkong dalam skala industri. Salah satu yang terbesar di
tanahair adalah PT Budi Acid Jaya di Lampung.
Perusahaan milik Group Sungai Budi itu memproduksi aneka produk
turunan singkong seperti tepung tapioka, asam sitrat, glukosa,
fruktosa, tepung tapioka modifikasi, penyedap rasa monosodium glutamat,
maltodextrin, dan pemanis sorbitol. Produksi terbesar adalah tepung
tapioka yang berkapasitas produksi 720.000 ton per tahun.
Masih impor
Jumlah produksi tapioka Budi Acid Jaya itu baru mencukupi 36%
kebutuhan tapioka tanahair yang diperkirakan mencapai 2-juta ton per
tahun. Padahal, pemintaan tapioka meningkat 10—15% setiap tahunnya.
Itulah sebabnya Indonesia menjadi importir tapioka terbesar kedua
setelah China. Data Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2008
menyebutkan Indonesia mengimpor tapioka sebanyak 120.000 ton per tahun.
Kondisi itu sangat kontras dengan Thailand. Di negeri Gajah Putih
Manihot esculenta menjadi komoditas ekspor andalan. Dari luas areal
tanam 1,14-juta hektar, Thailand memproduksi 21,87-juta ton
umbi singkong. Dari jumlah itu 44% diolah menjadi singkong iris kering
dan sisanya menjadi tapioka. Sebanyak 33% di antaranya diekspor dalam
bentuk irisan singkong kering dan 38% dalam bentuk tapioka. Dengan
jumlah ekspor sebanyak itu, Thailand menjadi eksportir produk berbahan
singkong terbesar di dunia. Indonesia bukannya tak bisa. Sejak beberapa
tahun terakhir berkembang industri chip singkong di Trenggalek, Jawa
Timur. Para perajinnya menghasilkan produk olahan itu untuk memasok
industri mocaf.
Keterampilan teknologi itu perlu dikembangkan karena sejak 2009
produksi singkong Thailand menurun hingga 20—30% akibat serangan hama
kutu putih yang mewabah di beberapa sentra singkong. Gempuran hama itu
bukan hanya menurunkan produksi, tapi juga harga jual singkong segar di
tingkat pekebun. “Saat ini banyak pekebun yang memanen singkong lebih
awal, yakni pada umur 8—9 bulan, biasanya 12—13 bulan. Mereka khawatir
tanaman keburu terserang hama,” ujar Jarurat Pipatvatcharanont dari CP
Intertrade Co Ltd, eksportir tapioka di Bangkok, Thailand. Akibatnya
kadar dan kualitas pati yang dihasilkan rendah sehingga harga jual pun
anjlok.
Bencana yang menimpa pekebun di Thailand itu semestinya menjadi
peluang bagi pengembangan singkong tanahair. Apalagi impor tepung
singkong China hingga saat ini terus meningkat. Saat ini China merupakan
pasar tepung singkong terbesar di dunia. Pada 2000 kebutuhan tepung
singkong China hanya 2,8-juta ton per tahun. Dari jumlah itu hanya
1,3-juta ton terpenuhi dari impor. Dalam kurun 10 tahun kebutuhan tepung
singkong China meroket tajam menjadi 9,3-juta ton per tahun. Yang baru
terpenuhi dari impor hanya separuhnya.
Bioetanol
Menurut wakil presiden Starch Industry Association of China, Jin
Shu-Ren, sejak 1990 China juga gencar memproduksi bioetanol untuk bahan
bakar. Pada 2000 industri pengolahan bioetanol mulai dibangun di
Provinsi Henan dan Heilongjiang. Tiga tahun kemudian bensin berbahan
campuran 10% bioetanol mulai dipasarkan di 5 kota besar dan 27 kota
kecil. “Saat ini kami sedang mengejar ketertinggalan dari Brasil dan
Amerika Serikat dalam memproduksi bioetanol,” ujar Shu-Ren.
Semula China memproduksi bioetanol dari tepung jagung impor dari
Amerika Serikat. Sejak 3 tahun terakhir China beralih ke tepung singkong
meski harganya lebih mahal ketimbang tepung jagung. Musababnya, isu
jagung transgenik yang banyak ditentang berbagai kalangan dikhawatirkan
mengganggu kontinuitas pasokan dari Amerika Serikat.
Sayangnya pengembangan singkong di tanahair juga mengalami kendala
akibat anomali cuaca yang terjadi pada 2 tahun terakhir. Curah hujan
yang tinggi di beberapa sentra singkong di Lampung, menyebabkan populasi
uret berkembang biak dengan cepat. Akibatnya, banyak pekebun mengeluh
saat panen umbi habis dimakan uret. Padahal, mereka sudah menunggu
setahun hingga panen. “Pada 2011 sebanyak 100 ha lahan singkong gagal
panen akibat umbi habis di makan uret,” ujar Eddy Liem, dari PT Budi
Acid Jaya Tbk. Akibat serangan itu harga singkong segar di Lampung naik
dari semula Rp300/kg menjadi Rp450 per kg.
Tingginya biaya pengangkutan akibat rusaknya infrastruktur seperti
jalan juga menjadi kendala. Importir asal Singapura, Kelvin Chua,
mengeluhkan tingginya biaya angkut yang menyebabkan harga beli singkong
dari pekebun di Indonesia naik. “Kalau begini terus saya akan beralih
membeli singkong dari Thailand dan Vietnam,” katanya. Seandainya kendala
itu dapat diatasi, maka tidak mustahil di masa mendatang Indonesia
menggeser posisi Thailand sebagai eksportir produk berbahan singkong
terbesar di dunia. Dengan begitu kasava Indonesia bisa menjadi juara
dunia. (Imam Wiguna/Peliput: Tri Istianingsih)
Belum ada tanggapan untuk "Kasava Juara Dunia "
Post a Comment