Korea rajanya ginseng, Malaysia punya tongkat ali. Indonesia? “Temulawak herbalnya,” tutur Prof Yaya Rukayadi, PhD.
Profesor muda asal Situraja, Sumedang, Jawa Barat, itu
bukan sekadar berujar. Banyak alasan kuat menjadikan temulawak sebagai
ikon herbal Indonesia. Pasalnya, sebagai negara megabiodiversitas,
30.000-an jenis tumbuhan obat asal daerah tropis tumbuh baik di
tanahair.
Masyarakat Indonesia tentu sudah akrab dengan Curcuma
xanthorriza dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman nenek moyang hingga
kini. Hasil pengamatan Yaya menunjukkan bahwa hampir semua jamu
mengandung komponen utama rimpang temulawak. Itulah sebabnya, sudah
selayaknya Indonesia memiliki ikon ramuan kesehatan, yaitu temulawak.
Multikhasiat
Riset membuktikan temulawak memiliki beragam manfaat
seperti anticendawan, antiinflamasi, dan antibakteri. Bahkan, penelitian
lain menyebutkan bahwa tanaman anggota keluarga Zingiberaceae itu
berkhasiat menjaga fungsi hati, meningkatkan vitalitas, dan mengurangi
kelelahan fisik.
Masyarakat acap kali mengolah temulawak menjadi makanan
dan minuman tambahan alias suplemen. Misalnya teh herbal dan camilan
manisan temulawak. Itu tentu berbeda dengan brotowali Tinospora crispa
dan mahkota dewa Phaleria macrocarpha yang hanya berfungsi untuk
pengobatan.
Melimpahnya khasiat itu membuat Yaya Rukaryadi fokus
meneliti temulawak sejak 2000 hingga kini. Saat mulai meneliti ia dosen
di Yonsei University, Seoul, Korea Selatan. Untuk memenuhi pasokan bahan
baku penelitian hasil kerja sama antara Yonsei University, Institut
Pertanian Bogor, dan Kementerian Pertanian Republik Indonesia itu, Yaya
mendatangkan temulawak produksi para petani dari Tembalang, Jawa Tengah,
ke negeri ginseng itu. Mafhum, temulawak tak dapat tumbuh di daerah
subtropis. “Inilah salah satu bukti kecintaan saya pada Indonesia.
Secara fisik saya tidak tinggal di tanahair,” ungkap doktor alumnus
Institut Pertanian Bogor itu.
Secara historis dan etnobotani, kita bisa mengatakan
bahwa temulawak merupakan tanaman asli Indonesia. Secara alami, tanaman
rimpang ini tumbuh baik di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku
bagian selatan. Saat ini temulawak sudah tersebar di berbagai tempat,
bahkan hingga di mancanegara.
Kurang publikasi
Beragam jamu memanfaatkan rimpang temulawak sebagai
bahan baku. Kata jamu berasal dari bahasa Jawa, yakni jampi dan husada,
yang artinya ramuan kesehatan. Secara terminologis, jamu memang
merupakan ramuan asli Indonesia. Negara lain pun memiliki istilah
berbeda bermakna serupa. Sebut saja Korea dengan hanyak, paduan kata han
berarti Korea dan yak bermakna obat. Masyarakat Malaysia menyebut obat
kampong.
Sayangnya di Indonesia, ikon herbal belum ada. Menurut
Yaya Rukayadi yang kini dosen di Universiti Putra Malaysia, minimnya
publikasi ilmiah internasional asal perguruan tinggi di tanahair menjadi
salah satu faktor. Meski ada beberapa penelitian ilmiah temulawak,
tetapi khasiatnya di dunia pengobatan belum dikenal luas karena kurang
publikasi.
Berbeda dengan kondisi di negeri tetangga, Malaysia.
Peneliti di sana giat mempublikasikan hasil penelitiannya di berbagai
jurnal internasional. Wajar produk-produk Malaysia lebih dikenal luas di
dunia seperti herbal tongkat ali Eurycoma longifolia. Dunia lebih
mengenalnya tongkat ali dibandingkan pasak bumi, sebutan di Indonesia.
Bahkan saat kita mengetik nama ilmiah tersebut pada mesin pencari
otomatis di dunia maya, tongkat ali menjadi referensi utama.
Faktor berikutnya ialah kurangnya penelitian ilmiah
terhadap temulawak. Meski temulawak mengandung zat dan khasiat yang
bermanfaat, tetapi data dan bukti yang akurat belum ada sehingga sulit
dipastikan kebenarannya. Secara empiris, masyarakat percaya bahwa
temulawak berkhasiat menambah nafsu makan, menghaluskan kulit, dan
antikanker. Sayang, data dan bukti ilmiah yang mendukung masih jarang
ditemui.
Konsumsi tinggi
Bila menghendaki temulawak menjadi ikon herbal,
masyarakat dalam negeri harus banyak mengonsumsinya. Namun, bagi banyak
kalangan, terutama kaum hawa, enggan mengonsumsi temulawak karena
khawatir meningkatkan nafsu makan. Fenomena itu sangatlah bertentangan
dengan upaya peningkatan konsumsi dalam negeri. Sebab sindrom itu
berpotensi menurunkan angka konsumsi masyarakat terhadap temulawak.
Sebaiknya kita meniru usaha Korea yang menjadikan
ginseng sebagai ikon herbal negaranya. Padahal Korea bukan produsen
terbesar ginseng. Justru Kanada dan Cinalah produsen ginseng dunia.
Bahkan, Korea mengimpor bahan baku ginseng dari dua negara itu. Lantas
mengapa julukan itu begitu melekat?
Menurut Prof Yaya Rukayadi, PhD, itu karena keseriusan
dan tekad kuat Korea untuk menciptakan brand ginseng di negaranya.
Rencana dan upaya yang sistematis mereka jalankan. Bahkan mereka
mendirikan berbagai pusat dan balai penelitian khusus yang meneliti
kandungan ginseng. Institusi itu berperan mengeksplorasi, meneliti, dan
mengembangkan produk ginseng. Data kandungan dan khasiat ginseng
terbukti secara ilmiah, bukan sekadar mitos dan kepercayaan
turun-temurun. Adanya data penelitian membuat masyarakat Korea terdorong
untuk mengonsumsi ginseng. Tingkat konsumsi rakyat Korea terhadap
ginseng pun sangat tinggi.
Upaya publikasi dan menjual temulawak di kancah nasional
dan internasional telah dilakukan. Kongres yang mengusung tema
temulawak pernah diselenggarakan pada 2008 dan 2011. Pada kegiatan hasil
kerja sama antara Pusat Penelitian Biofarmaka Institut Pertanian Bogor
dan pemerintah itu Profesor Yaya mempresentasikan hasil penelitiannya
mengenai temulawak. Perhelatan seperti itu, menyebabkan masyarakat lebih
mengenal temulawak dan Indonesia.
Korea butuh waktu 18-20 tahun hingga sohor sebagai
negeri ginseng. Baiknya upaya penelitian bukan hanya sebatas pada
temulawak. Akan tetapi juga kandungan dan khasiat herbal lain. Profesor
Yaya sempat mengutip perkataan seorang praktikus jamu Indonesia, bahwa
bukan tidak mungkin industri jamu Indonesia mengalami kepunahan 15-20
tahun mendatang. Alasannya sederhana, konsumen semakin cerdas dan
dihadapkan pada banyak pilihan. Mereka memilih dan mengonsumsi produk
yang memang terbukti dan data ilmiah hasil penelitian mengenai
khasiatnya. Dalam menentukan pilihan, mereka tidak mengandalkan pada
mitos dan kepercayaan masyarakat yang belum tentu benar. Lambat laun,
mereka meninggalkan produk-produk yang khasiatnya masih belum bisa
dibuktikan secara ilmiah.
Faktor paling utama dalam memajukan peran temulawak adalah
dukungan pemerintah. Hingga saat ini, pemerintah kurang memperhatikan
perkembangan herbal potensial. Jika ada dukungan pun, hanya bersifat
slogan. Meski demikian, menciptakan merek negara bukanlah usaha gampang.
Bila semua berpadu, temulawak menjadi ikon herbal Nusantara. (Noerhidajat, mahasiswa Universiti Putra Malaysia)
Keterangan Foto :
- Perlu penelitian dan kerjasama terpadu antara masyarakat, peneliti,
dan pemerintah untuk mengenalkan temulawak Indonesia ke kancah
mancanegara
- Temulawak Curcuma xanthorriza menuju ikon herbal nusantara
- Temulawak kerap diolah menjadi makanan dan minuman tambahan alias suplemen
- Korea dikenal sebagai negeri ginseng berkat dukungan pemerintah untuk menguji kandungan dan manfaat ginseng secara ilmiah
- Pasak bumi lebih mendunia dengan sebutan tongkat ali
Belum ada tanggapan untuk "Ikon Herbal Nusantara "
Post a Comment