Ujang Dharsono AMd menikmati selisih harga Rp4.000/kg lebih tinggi dengan menjual biji kakao hasil fermentasi.
Senjata untuk melakukan proses fermentasi kakao pun sederhana. Ujang
membuat peti kayu berukuran 60 cm x 60 cm x 60 cm dengan kapasitas 40 kg
bahan baku segar. “Seluruh bagian bawah peti secara merata diberi
lubang berdiameter 1 cm yang masing-masing berjarak 5 cm,” tutur pekebun
di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis itu. Lubang itu sarana
mengeluarkan air selama proses fermentasi sekaligus untuk pertukaran
udara.
Ujang memasukkan biji kakao basah ke dalam peti hingga setinggi 10 cm
dari bagian atas peti. Peti lalu ditutup menggunakan karung goni atau
daun pisang. Penutup itu tidak hanya menahan hawa panas di peti, tapi
sekaligus mencegah biji kering karena kehilangan kadar air. Menurut Dr
Teguh Wahyudi, periset di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember, Jawa
Timur, suhu minimal untuk fermentasi adalah 450C—500C.
“Kurang dari itu biji berwarna hitam dan bau pesing,” tuturnya.
Pengalaman Ujang, tutup daun pisang membuat aroma kakao lebih menguar
kuat dan harum.
Peti kayu itu kemudian diletakkan di tempat ternaungi dari sinar
matahari langsung. Selang 2 hari kemudian dilakukan proses
pembalikan isi peti supaya proses fermentasi merata. Caranya, Ujang
meletakkan sebuah peti kayu ukuran sama di atas peti fermentasi. Lalu
posisi keduanya dibalik sehingga seluruh isi di peti fermentasi tumpah
ke peti kedua dengan posisi terbalik. Proses pembalikan cukup 2 hari
sekali. Jika terlalu sering menyebabkan kehilangan panas terlampu besar
sehingga suhu 450C—500C tidak tercapai.
Keranjang bambu
Memasuki hari ke-6, proses fermentasi pun rampung. Fermentasi
melebihi 7 hari menyebabkan biji kakao rentan terserang bakteri
Pseudomonas sp, Enterobacter sp, dan Escherichia coli yang menghasilkan
aroma dan rasa tidak sedap. Selanjutnya biji kakao dibilas air dengan
cara mengguyur peti menggunakan 20 liter air.
Setelah itu biji kakao dikeringkan di bawah terik matahari selama 5—7
hari. Tujuannya untuk menurunkan kadar air dari 12,5% menjadi 7,5—8%.
Cara lain, biji kakaw—sebutan oleh Suku Maya di Meksiko—dikeringkan
dalam oven bersuhu 55—600C selama 2 hari 2 malam. Setelah itu
baru dikeringkan di terik matahari selama 2 hari. Dari 1 kg biji kakao
basah dihasilkan 350 g biji kakao kering fermentasi. Proses fermentasi
bisa juga dilakukan dengan memanfaatkan wadah berupa boboko—sejenis
keranjang bambu.
Jika jumlah Theobroma cacao yang hendak difermentasi berlimpah, di
atas 1 kuintal, buatlah lubang fermentasi. Lubang berukuran 1 m x 1 m x
1,2 m dengan bagian bawah diberi alas papan kayu untuk mencegah kontak
langsung kakao dengan tanah. Biji kakao yang hendak difermentasi lalu
dimasukkan ke dalam karung ukuran 50 kg. Karung-karung itu lantas
ditumpuk dalam lubang. Satu lubang biasanya memuat 5 buah karung.
Setelah itu tutup lubang dengan daun pisang atau karung goni. Agar
proses fermentasi merata, posisi karung dibalik setiap 2 hari sekali.
Setelah 6 hari, biji kakao dicuci dan siap dikeringkan. Menurut
Ujang, biaya fermentasi dan pengeringan kakao per kg mencapai Rp1.250.
“Jadi dengan perbedaan harga jual dengan biji kakao non-fermentasi
Rp4.000/kg, masih ada selisih bersih Rp2.750/kg,” tutur alumnus Jurusan
Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Winaya Mukti,
Sumedang itu.

Lebih cepat
Hasil riset Ir I Gusti Ngurah Agung SU dari Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Udayana, Bali, menunjukkan ragi tape dapat
dimanfaatkan sebagai “fasilitator” untuk mempercepat proses fermentasi
buah tanaman anggota famili Sterculiaceae itu. “Pemberian 1% ragi tapai
dari bobot biji kakao segar mampu mempercepat fermentasi dari 5 hari
menjadi 3 hari,” tutur Agung. Ragi tapai kaya beragam mikroba yang
mempercepat proses fermentasi.
Menurut Dr Ir Rifda Naufalin MSi, anggota staf pengajar Jurusan
Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto, proses fermentasi penting agar biji kakao menghasilkan
prekursor citarasa. “Tanpa adanya fermentasi, aroma cokelat tidak akan
menguar dari biji kakao,” tutur Rifda.
Sayangnya, menurut Sindra Wijaya SE, Direktur Eksekutif PT Bumi
Tangerang Mesindotama, produsen kakao olahan di Tangerang, Banten, saat
ini 90% dari produksi kakao tanahair masih belum melalui fermentasi.
“Padahal jika difermentasi, industri kakao siap menampung berapa pun
produksi,” tutur Sindra. Tak heran jika Dr Herdrajat Natawidjaja,
Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha, Direktorat Jendral Perkebunan,
Kementerian Pertanian RI, menyebutkan kakao fermentasi suatu keharusan.
Itu agar keharuman menguar dari kakao dan pekebun menuai keuntungan. (Faiz Yajri)
No comments:
Post a Comment