Banyak kalangan pesimis akan masa depan pertanian dan ketahanan
pangan di Indonesia. Dunia pertanian seolah-olah menunggu lonceng
kematian karena gagalnya berbagai kebijakan pembangunan terkait yang
tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan petani.
Problematika
pembangunan pertanian memang sangat rumit dan saling berkaitan.
Kebijakan yang tidak tepat akan berakibat sangat fatal dan bisa
memperburuk kondisi petani sehingga akan lebih menderita lagi.
Dengan mempertimbangkan kekayaan potensi sumber daya baik fisik
maupun manusia kita sebenarnya bisa cukup optimis menuju kebangkitan dan
kejayaan pertanian yang akhirnya akan membawa peningkatan taraf hidup
pelaku utamanya yaitu petani.
Hal yang paling mendasar adalah
komitmen dan goodwill segenap komponen bangsa untuk mengembalikan
momentum pembangunan pertanian sebagai penggerak ekonomi bangsa. Kemauan
politik dan keberpihakan negara dan politisi menjadi salah satu penentu
kebangkitan pertanian.
Pangan dan Persoalannya
Dalam konteks
pembangunan pertanian umum Indonesia memiliki potensi yang luar biasa.
Kelapa sawit, karet, dan coklat kita mulai bergerak menguasai pasar
dunia. Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan.
Indonesia
adalah produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India.
Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5 persen
atau 51 juta ton (Rice Almanac, 2002). China dan India sebagai produsen
utama beras berkontribusi 54 persen. Vietnam dan Thailand yang secara
tradisional merupakan negara eksportir beras hanya berkontribusi 54 dan
3,9 persen.
Rerata produksi beras Indonesia 4,3 ton/hektar.
Produktivitas tersebut sudah melampaui India, Thailand, dan Vietnam.
Meskipun masih di bawah produktivitas Jepang dan China (rerata di atas 6
ton/hektar).
Lalu, kenapa Indonesia hampir setiap tahun selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan. Utamanya yaitu beras?
Ada
beberapa persoalan serius yang perlu dicermati dan dicarikan solusinya.
Salah satu sebab utama adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Data
statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa. Makanan pokok
semua penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi
luar biasa besar.
Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras
terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan
dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand
100 kg, dan Philppine 100 kg (IRRI, 1999).
Hal itu juga menunjukkan
bahwa program diversifikasi pangan di Indonesia masih jauh dari
berhasil. Namun, sepanjang kita masih mengkonsumsi beras dengan jumlah
sebanyak itu maka problem pangan masih akan sulit diatasi.
Persoalan
yang lain adalah transformasi struktural yang kurang berjalan. Di mana
pun di dunia ada pola bahwa peran pertanian dalam perkonomian nasional
akan semakin menurun dan ada pergerakan angkatan kerja dari pertanian ke
sektor industri dan jasa.
Di Indonesia lahan pertanian semakin
dipenuhi oleh angkatan kerja baru karena tidak ada alternatif lain untuk
mencari pekerjaan. Tentu hal ini sangat berpengaruh terhadap
produktivitas dan efisiensi produksinya. Dalam tahap tertentu tesis
Clifford Geertz tentang agricultural involution nampaknya telah berlaku.
Mencari Jalan Keluar
Penyelesaian
persoalan pertanian juga bergantung pada sektor-sektor yang lain.
Pertanian sendiri tidak akan pernah mampu menyelesaikan permasalahannya
sendiri. Perlu keterpaduan lintas sektoral untuk mengatasi persoalan
karena saling berkaitan.
Kebijakan diversifikasi pangan terkait
pengolahan pangan. Sektor perindustrian dan perdagangan akan memainkan
peran penting. Penganekaragaman pangan harus dimulai dengan serius
dengan melakukan tindakan nyata untuk menggali kembali bahan pangan
lokal terutama umbi-umbian yang tersedia melimpah. Perlu dikampanyekan
dengan sistematis sebagai substitusi beras sampai tataran tertentu.
Pengalaman
Jepang yang mengkampanyekan bahan pangan lokal dan gandum ketika
terjadi kelangkaan pangan/beras awal kekalahannya dalam Perang Dunia II
dengan menyediakan makanan untuk anak sekolah terbukti sangat efektif
mempengaruhi perilaku konsumsi pangan. Saat ini konsumsi beras orang
Jepang hanya 90 kg per orang per tahun dan cenderung semakin menurun.
Persoalan
akses petani terhadap lahan juga menjadi isu yang sangat serius.
Sebagian besar petani kita adalah petani gurem (kepemilikan kahan kurang
dari 1.000 meter), jumlah tuna kisma meningkat terus menerus. Kebijakan
land reform yang dicetuskan sejak awal pemerintahan SBY nampaknya juga
belum memberikan hasil yang jelas.
Selain implementasi nyata land
reform yang memberi akses lahan pada petani. Masalah petani gurem juga
terkait dengan transformasi struktural pedesaan dan pertanian.
Dalam
transformasi struktural penciptaan industri pedesaan melalui pengolahan
bahan pangan lokal nampaknya akan membuka lapangan kerja baru baik
dalam hal produksi, pengolahan, maupun distribusi dan pemasarannya.
Pertanian yang sehat dan produktif (viable) seyogyanya memiliki luasan
yang cukup.
Sebagian petani gurem dan tuna kisma dapat beralih
profesi ke industri pedesaan jika kesempatannya diciptakan. Secara tidak
langsung ini juga memberikan kesempatan sebagian petani untuk mengelola
lahan dengan skala ekonomi baik melalui sistem persewaan maupun bagi
hasil sehingga diharapkan produktivitasnya meningkat nyata.
Perlu
dilakukan berbagai kebijakan yang mampu memberi insentif bagi petani
untuk meningkatkan produktivitasnya. Investasi yang besar baik investasi
sumber daya manusia maupun sumber daya fisik di bidang pertanian sangat
perlu menjadi prioritas.
Penelitian dan pengembangan teknologi
serta penyuluhan pertanian baik skala nasional, regional, dan lokal
menjadi sangat urgen. Penelitian yang serius tentang benih-benih baru
dengan produktivitas tinggi melalui pendekatan bioteknologi juga menjadi
solusi yang cukup baik.
Saat ini petani semakin sulit memperolah
benih yang berkualitas karena umumnya diproduksi oleh perusahaan
multinasional yang profit oriented sehingga harganya menjadi sangat
mahal. Lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai penyedia public
goods perlu didukung penuh sehingga mampu menghasilkan teknologi dan
inovasi alternatif yang bisa diakses secara murah oleh public utamanya
petani-petani kecil di pedesaan.
Pembangunan infrastruktur
pertanian seperti saluran irigasi, jalan desa, pasar desa, dan lain-lain
menjadi vital untuk menggairahkan petani. Jika berbagai kebijakan dapat
berjalan dengan baik dan mampu memberikan insentif bagi petani maka
harapan dan optimisme keberhasilan pembangunan pertanian akan semakin
nyata. Keberpihakan dan waktu yang akan membuktikan apakah pertanian
kita akan bangkit atau justru akan semakin terkubur.
Subejo
Penulis adalah Dosen UGM, Mahasiswa S3, The University of Tokyo
Belum ada tanggapan untuk "Masa Depan Pertanian Indonesia"
Post a Comment