Tuesday, March 1, 2016

ASURANSI DALAM TINJAUAN SYARIAT ISLAM


A. Sejarah Asuransi

Banyak dari para ahli berpendapat bahwa jenis asuransi yang pertama muncul adalah asuransi pelayaran (maritime), yang saat itu dipergunakan oleh kaum Babilonia dengan nama akad pinjam meminjam di atas kapal. Bahkan beberapa pengamat berpendapat bahwa akad pinjam-meminjanm ini telah disinggung sebelumnya oleh Hukum Amurabi tahun 250 SM. Baru kemudian akad akad ini tersampaikan kepada kaum Babilonia melalui kaum Phoenesia dan Hunud kuno. Lalu menyusul Romawi di abad 6-7 SM dan Yunani di abad 4 SM.

Tetapi, akad pinjam-meminjam ini kemudian ditentang oleh pihak Gereja Roma. Karena konon akad ini mefasilitasi timbulnya aktivitas riba. Penentangan ini yang selanjutnya menjadikan akad pinjam-meminjam ini di amandemen menjadi akad asuransi.

Dokumen asuransi pertama pasca amandeman akad pinjam-meminjam yang bisa didapatkan adalah dokumen Italia tertanggal: 23 Oktober 1347 M, tentang Asuransi maritime (pelayaran).kemudian asuransi ini mulai menggaung di beberapa kota  di Italia dan Negara-negara sekitar laut tengah. Tetapi konsep asuransi kala itu hanya terbatas pada barang dagangan yang dibawa oleh kapal, tidak pada asuransi pada kapal itu sendiri ataupun awak kapalnya.

Sementara, asuransi darat baru muncul paruh kedua abad ke tujuh Masehi di Inggris. Yakni saat terjadi kebakaran besar selama empat hari di London tahun 1666 M yang membumihanguskan lebih dari tiga belas ribu tempat tinggal dan seratusan gereja. Akhirnya dibentuk jasa asuransi kebakaran dan disusul beberapajenis lainnya. Lalu konsep asuransi ini menyebar di beberapa Negara seperti Jerman, Perancis dan Negara-negara lainnya. Kemudian konsep asuransi jiwa  mulai dirumuskan di Inggris pada awal abadke-19. Pasca Revolusi Industri di Eropa, muncul jenis asuransi baru, yakni asuransi mas’uliah (asuransi tanggung jawab).

Asuransi dengan berbagai jenisnya itu kemudian menyebar ke negeri-negeri Islam. Hanya saja kemudian tampak asuransi itu dalam pandangan syariah bermasalah, terutama karena adanya unsur gharar, gambling, riba dan sebagainya. Karenanya pada sekitar  tahun 1960-an banyak cendekiawan muslim mulai melakukan pengkajian ulang tentang penerapan system hukum Eropa ke dalam industry keuangan sekaligus memperkenalkan penerapan prinsip syariah dalam industry keuangannya. Pada awalnya prinsip syariah Islam diterapkan pada industry perbankan. Dan, Cairo merupakan Negara yang pertamakali mendirkan bank Islam sekitar tahun 1971 dengan nama “Nasser Social Bank” yang operasionalnya berdasarkan system bagi hasil. Kemudian diikuti berdiriannya bank Islam lainnya seperti Islamic Development Bank (IDB) dan The Dubai Islamic pada tahun 1975, Faisal Islamic Bank of Egypt, Faisal Islamic of Sudan dan Kuwait Finance House tahun 1977.
  
Majma’ al fiqh al –Islamy, pada kongresnya tanggal 10 Sya’ban 1398 H telah bersepakat mengharamkan asuransi konvensional (asuransi komersial/at ta’min at-tijari) dengan sejumlah alasan, yaitu: asuransi mengandung unsur judi, dan mengakibatkan memakan harta orang lain secara tidak sah.

Oleh karenanya kemudian dikembangkan asuransi dengan prosedur atau tata cara yang dinilai sesuai dengan prinsip syariah berbeda dengan asuransi komersial dan menghilangkan unsur riba, gharar, jahalah, qimar dan kezaliman. Yaitu asuransi yang bersifat tolong-menolong (ta’awun) dan saling menanggung (takafuh) diantara peserta asuransi. Asuransi yang oertama kali didirikan adalah asuransi takaful di Sudan pada tahun 1979, yang dikelola oleh Dar al-Mal al-Islami (DMI) Group. Dar al-Mal melebarkan sayap bisnisnya ke Negara-negara Eropa dan Asia lainnya. Setidaknya ada empat asuransi takaful dan retakaful pada tahun 1983, yang berpusat di Geneva, Bahamas, Luxemburg, dan Inggris.

Dari sisi legalitas, system asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini, Majma al-Fiqhi al-Islami mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai system asuransi yang sesuai dengan syariah. Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas kreasi kebutuhan umat muslim, keimbang didorong oleh fatwa. Sistem asuransi diadopsi sebagai system saling menolong dan membantu di antara para pesertanya.

Sejak saat itu asuransi syariah berkembang bukan hanya ke negeri-negeri Islam tetapi juga keseluruh dunia. Perkembangan asuransi dibilang cukup pesat. Dari asset $550 juta pada tahun 2000, $193 juta diantaranya berada di Asia Pasifik, meningkat menjadi $1,7 milyar. Pada tahun 2004 asetnya sudah mencapai $2 milyar. Angka-angka di atas merupakan kumulasi untuk asuransi jiwa dan selain jiwa. Asuransi keluarga syariah mendominasi perkembangan asuransi dunia, mencapai 75%, dimana 60% nya berasal dari asuransi jiwa syariah.

Perkembangan asuransi syariah yang cukup progresif terjadi di Negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Bahrain. Di Bahrain pertama kali berdiri Asuransi Takaful Internasional pada tahun 1989. Pangsa pasar asuransi di Bahrain diperkirakan mencapai 65 juta dinar ($172). Di Arab Saudi berkembang perusahaan asuransi syariah diantaranya: Islamic Arab Insurance Company (al-Baraka Group tahun 1980), Islamic Arab Insurance Corporation For The Insurance Investment Dan Export Credit (1995),  Islamic Insurance Compant Ltd., Islamic Insurance And Reinsurance Company (1985), Di-Aman Co-Operative Insurance (as-rajhi tahun 1985), Global Islamic Insurance Co. (1986), Islamic Takaful And Retakaful Company (Dar Al-Mal Al-Islami (DMI) group tahun 1986). Semantara di Afrika, di Ghana pertama kali berdiri perusahaan Metropolitan Insurance Company Limited (MIT) tahun 1994 dan menjadi satu-satunya sauransi syariah di Ghana dengan system mudharabah dan takafuli. Di Nigeria, African Alliance Insurance Company Limited mendirikan Islamic Life Insurance System (takaful) pada oktober 2003. Di Senegal didirikan Islamic Takaful And Retakaful Co. dan sonar al-amane (al-baraka group). Di Trinidad and Tobago didirikan Takaful Trinidad And Tobago Friendly Society pada tahun 1999.

Sementara di Eropa, Inggris merupakan pelopor pengembangan asuransi syariah. Melalui HSBS’s Amanah, Inggris bercita-cita jadi Leading sector bagi pengembangan asuransi syariah di Eropa dan Negara lainnya. Selai itu juga berdiri international corporative and mutual insurance federation (ICMIF) yang menghimpun 150 orang dari 82 anggota organisasi dari 52 negara di dunia. Lembaga ini bertujuan untuk memajukan dan  memperkenalkan sistem asuransi syariah ke berbagai Negara.

Di Amerika, asuransi syariiah pertama kali pada Desember 1996 yaitu Takaful USA Insurance Company untuk menampung sedikitnya 12 juta penduduk muslim di sana. Di Australia berdiri Australia Takaful Association Inc. diperkenalkan di Malaysia pada tahun 1985. Malaysia mendirikan Lembaga Penelitian Dan Pelatihan Bank Syariah (BIRTI), yang kosen pada bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Sekarang ini Malaysia memiliki beberapa industri asuransi syariah, diantaranya: CIMB Aviva Takaful Berhad, Hong Leong Tokio Marine Takaful Berhad, HSBC Amanah Takaful (Malaysia) Berhad, MAA Takaful Berhad, Prudential BSN Takaful Berhad, Syarikat Takaful Malaysia Berhad, Takaful Ikhlas Sdn Berhad, Takaful Nasional Sdn Berhad.

Sementara di Indonesia, asuransi syariah mulai berkembang sejak tahun 1994. Diawali dengan berdirinya perusahaan asuransi syariah yang pertama di Indonesia yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha muslim indonesia. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan: perusahaan asuransi jiwa syariah yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan Asuransi Kerugian Syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juli 1995. Setelah takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. 

Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah. Diantaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh seperti yang dilakukan oleh Asuransi Syariah Mubarakah yang bergerka pada asuransi jiwa syariah. Sedangkan kebanyakannya dilakukan denganmembuka divisi atau cabang asuransi syariah seperti yang dilakukan oleh PT MAA Life Assurance, PT MAA Deneral Assurance, PT Great Eastern Life Indonesia, PT Asuransi Tri Prakarta, PT AJB Bumiputera 1912, Dan PT Asuransi Jiwa Bringin Life Sejahtera, dan lainnya. Saat ini sesuai data dewan syariah nasional (DSN) terdapat 42 asuransi syariah, tiga reasuransi syariah dan enam broker asuransi dan reasuransi syariah. (sumber: Yahya Abdurrahman, Asuransi dalam tinjauan syariat, hlm: 8-14)

B. Pengertian Asuransi Syariah

Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi,  dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan). 

Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-tamin yang secara bahasa berarti tuma’ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut. Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada rasa takut ataupun was-was dalam menjalani kehidupan, karena ada pihak yang memberikan jaminan atau pertanggungan. Hal ini sama dengan seseorang yang sedang kuliah atau sekolah yang keperluan sehari-harinya ada yang menjamin dalam pelaksanaan kuliah dia akan merasa tenang dan tidak perlu kuatir. Berbeda dengan seseorang yang menjalani kuliah tanpa adanya jaminan dari orang tua atau orang lain, kuliah sambil kerja, orang tersebut menjalani kuliah tidak tenang dan ada perasaan kuatir, karena harus mencari biaya sendiri selama kuliah.

Mengenai definisi asuransi secara baku dapat dilacak dari peraturan (perundang-undangan) dan beberapa buku yang berkaitan dengan asuransi, seperti yang tertulis di bawah ini:

Muhammad Muslehuddin dalam bukunya Insurance and Islamic Law mengadopsi pengertian asuransi dari Encyclopaedia Britanica sebagai suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang dapat tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok.

Lebih jauh Muslehuddin menjelaskan pengertian asuransi dalam sudut pandang yang berbeda, serta mengalami kesimpangsiuran. Ada yang mendefinisikan asuransi sebagai perangkat untuk menghadapi kerugian, dan ada yang mengatakannya sebagai persiapan menghadapi risiko. Dilihat dari signifikansi kerugian, Adam Smith berpendapat bahwa asuransi dengan menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak, membuat kerugian menjadi ringan  dan mudah bagi seluruh masyarakat.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (Ar: at-ta’min) adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.”

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”

Asuransi menurut UU RI No. 2 th. 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Sedangkan pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI, yang lebih dikenal dengan ta’min, takaful, atau tadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah . 

Definisi Asuransi Syariah menurut Kitab Al Ma’ayir Al Syar’iyah (Sharia Standards) yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) edisi tahun 2010 :

التأمين الإسلامي هو اتفاق أشخاص يتعرضون لأخطار معينة على تلافي الأضرار الناشئة عن هذه الأخطار، 
وذلك بدفع اشتراكات على أساس الإلتزام بالتبرع، ويتكون من ذلك صندوق التأمين له حكم الشخصية الإعتبارية،
 وله ذمة شخصية مستقلة، (صندوق) يتم منه التعويض عن الأضرار التي تلحق أحد المشتركين من جراء وقوع 
الأخطار المؤمن منها
(المعايير الشرعية 2010، ص 364) 

“Asuransi Islami adalah kesepakatan sejumlah orang yang menghadapi risiko-risiko tertentu dengan tujuan untuk menghilangkan bahaya-bahaya yang muncul dari risiko-risiko tersebut, dengan cara membayar kontribusi-kontribusi berdasarkan keharusan tabarru’ (hibah), yang darinya terbentuk dana pertanggungan –yang mempunyai badan hukum sendiri dan tanggungan harta independen– yang darinya akan berlangsung penggantian (kompensasi) terhadap bahaya-bahaya yang menimpa salah seorang peserta sebagai akibat terjadinya risiko-risiko yang telah ditanggung.”  

Definisi ringkas menurut AAOIFI edisi tahun 2010 adalah sebagai berikut :

التأمين التعاوني هو عقد تأمين جماعي يلتزم بموجبه كل مشترك بدفع مبلغ من المال على سبيل التبرع لتعويض 
الأضرار التي قد تصيب أيا منهم عند تحقق الخطر المؤمن منه
(المعايير الشرعية 2010، ص 376)

“Asuransi Islami adalah akad pertanggungan oleh sekelompok orang yang berdasarkan akad itu setiap peserta membayar sejumlah harta atas dasar tabarru’ (hibah) untuk mengganti bahaya-bahaya yang mungkin menimpa kepada siapa saja dari para peserta ketika terjadi risiko yang telah ditanggung.”  

C. Deskripsi Fakta Asuaransi Syariah

1. Dalil-dalil asuransi syariah

Dalil-dalil yang diajukan pihak yang melaksanakan Asuransi Syariah saat ini antara lain :
(1) Dalil-dalil tolong menolong (misal QS Al Maidah : 2) 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

(2) Dalil tabarru’, yaitu akad untuk kebajikan dan tolong menolong, seperti hibah.
(3) Dalil-dalil yang membolehkan mudharabah / musyarakah.
(4) Dalil-dalil ijarah (wakalah bil ujrah) 
(5) Dalil yang membolehkan ta’widh (pemberian kompensasi), yaitu hadist laa dharara wa laa dhirara. (tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain).  

لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَارَ [رواه ابن ماجه عن عباده بن الصامت, وأحمد عن ابن عياش, ومالك عن يحيى

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya)

Ada dalil hadist yang sering disebut yang diklaim sebagai dasar Asuransi Syariah, yakni hadis tentang Kaum Asy’ariyin. Dari Abu Musa RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda:

إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ 
بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ 

Bahwa kaum al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau makanan keluarga mereka di Madinah menipis, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka (HR Muttafaq ‘alaih).  

Dalil hadist lain yang juga sering disebut adalah hadist Abu Ubaidah bin Jarrah RA bahwa Rasulullah SAW pernah mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah RA bersama 300 pasukan. Di jalan bekal habis, lalu Abu Ubaidah memerintahkan pasukan mengumpulkan semua bekal makanan, lalu mereka memakannya sedikit demi sedikit sampai habis. Sampailah mereka di tepi laut dan melihat seekor ikan besar seperti bukit, lalu mereka memakan ikan itu selama 18 malam… (HR Bukhari).  

Menurut para penggagas asuransi syariah, hadist-hadist tersebut menunjukkan upaya tolong menolong dalam rangka menanggulangi musibah, sesuatu yang juga terdapat dalam akad Asuransi Syariah di jaman modern ini. 

2. Akad Asuransi Syariah

Dalam asurasi syariah transaksi atau akad yang ada di dalamnya ada tiga macam akad, yaitu akad tabarru’, akad mudharabah dan akad wakalah bil ujrah. Penggunaan ketiga akad tersebut bergantung pada model pengelolaan asuransi syariahnya. Secara garis besar asuransi syariah ada dua jenis, non saving dan yang disertai saving.

Konsep dasar asuransi syariah atau takaful adalah pembagian resiko (sharing of risk) kepada seluruh peserta asuransi. Mudahnya adalah bahwa bahwa seluruh peserta sepakat untuk saling tolong menolong dan saling menanggung diantara mereka. Maka setiap peserta menyetorkan sejumlah uang (premi) yang telah disepakati (ditentukan), dan disebut sebagai tabarru’ (derma/sumbangan). Seluruh uang premi dari seluruh peserta itu dihimpun menjadi satu dan dimasukkan dalam satu akun yang disebut dana tabarru’. Jika terjadi sesuatu yang telah disepakati pada salah seorang peserta maka akan diberi uang pertanggungan yang diambil dari dana tabarru’.

Dalam asuransi syariah (takaful) akad tabarru’ ini harus ada. Karena akad tabarru’ inilah yang menjadi konsep dasar takaful. Jika akad ini tidak ada maka dengan sendirinya takaful yang dirumuskan itu menjadi tidak ada.

Dalam asuransi yang non saving, akad yang digunakan adalah akad tabrru’. Pengelolaan atau manajemen dana tabarru’ dan saling menanggung diantara peserta diamanahkan kepada perusahaan asuransi syariah. Perusahaan asuransi syariah berhak mendapat konpensasi atas administrasi dan manajemen yang dilakukan. Akad yang digunakan dengan perusahaan dalam hal ini adalah akad wakalah bil ujrah. Sehingga akad yang ada pada asransi non saving ini ada dua akad yaitu akad hibah (tabarru’) antar sesama peserta di bawah pengelolaan perusahaan dan ijarah (wakalah bil ujrah) antara semua peserta dengan perusahaan.

Sedangkan dalam asuransi yang disertai saving, maka premi yang dibayarkan peserta sejak awal dibagi dua bagian. Sebagian diakadkan sebagai tabarru’ dan dikelola seperti pengelolaan dana tabarru’ di atas. Sedangkan sebagian lagi dan biasanya bagian yang lebih besar, di akadkan sebagai penyertaan modal. Pengelolaan dana saving ini dilakukan oleh perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola. Akad yang digunakan dalam dalam hal ini adalah mudharabah. Hasil pengelolaan dana saving ini dibagi diantara nasabah dengan perusahaan dengan nisbah tertentu misalnya 40:60. 

D. Pendapat Ulama Tentang Asuransi

Hampir semua ulama sepakat mengenai pentingnya asuransi dalam kehidupan sosial. Namun mereka berbeda pandangan ketika berbicara mengenai hukum dari Asuransi, dilihat dari sudut fiqh Islam. Secara umum, pandangan ulama terhadap asuransi terwakili dalam tiga golongan pendapat, 

1. Golongan pendapat yang menghalalkan asuransi

Diantara ulama yang menghalalkan asuransi adalah :
Syekh Abdul Wahab Khalaf, Musthafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Bahjat Ahmad Hilmi dsb. Diantara alasan pendapat yang menghalalkan asuransi adalah:

a. Tidak adanya nash Qur’an maupun hadits yang melarang.
b. Peserta asuransi dan perusahaan sama-sama rela dan ridha.
c. Tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
d. Asuransi bahkan memberikan keuntungan kedua pihak.
e. Asuransi termasuk akad mudharabah, peserta sebagai shahibul mal dan perusahaan asuransi sebagai mudharibnya.
f. Usaha asuransi sangat menguntungkan kemaslahatan umum.

2. Golongan pendapat yang mengharamkan asuransi

Diantara ulama yang mengharamkan asuransi adalah: 
Syekh Ahmad Ibrahim, Sayid Sabiq, Muhammad Abu Zahrah, Abdullah Al-Qalqili, Syekh Muhammad Bakhit Al-Mu’thi’i, dsb. Diantara alasan pendapat yang mengharamkan asuransi adalah: 
a. Asuransi mengandung unsur perjudian (maysir/ qimar)
b. Asuransi mengandung unusr ketidakjelasan dan ketidakpastian (gharar). 
c. Asuransi mengandung unsur riba. 
d. Potensi terjadi dzulm bagi nasabah yang tidak bisa melanjutkan pembayaran premi, yaitu berupa hilang atau hangusnya premi yang telah dibayarkannya.
e. Asuransi termasuk akad sharf, yaitu terjadinya tukar menukar uang, namun tidak sama dan juga tidak tunai. 

3. Golongan pendapat yang memperbolehkan asuransi dengan syarat dan catatan tertentu

Asuransi menurut golongan ketiga ini boleh tetapi dengan syarat dan catatan tertentu. Alasan mengapa golongan ketiga ini membolehkan asuransi dengan syarat tertentu adalah sbb:
a. Dalam muamalah hukum asalnya adalah boleh (ibahah), selama tidak ada nash yang malarangnya. 
b. Asuransi sudah menjadi dharurah ijtima’iyah, khususnya di negera-negera maju. 

Diantara syarat-syarat diperbolehkannya asuransi yaitu:

a. Menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan yang terdapat dalam asuransi, yaitu gharar, riba dan maisir. 
b. Merubah sistem asuransi yang bersifat jual-beli (tabaduli) menjadi sistem yang bersifat tolong menolong (ta’awuni), di mana peserta asuransi saling tolong menolong terhadap peserta lain yang tertimpa musibah.
c. Konsekuensinya adalah menjadikan premi yang dibayarkan peserta sebagiannya dijadikan tabarru’, (hibah/ derma) yang dikelola dalam satu fund khusus, yang peruntukannya khusus untuk memberikan manfaat asuransi. 
d. Pengelolaan dana atau investasinya haruslah pada proyek-proyek yang sesuai dengan syariah.

E. Tarjih

Pendapat yang paling rajih menurut kami adalah pendapat yang mengharamkan karena memang asuransi mengandung unsur riba, gharar, dan maysir. Kemudian hujjah yang digunakan oleh pendapat yang membolehkan dengan kaidah fiqih,

 الْأَصْلُ فِى الْمُعَامَلَاتِ الْإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دّلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا

“Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Kaidah ini tidak tepat dimana kaidah ini berasal dari kaidah fiqih,

الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم

“Hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan”

Padahal kaidah fiqih tersebut, hanya berlaku untuk benda (materi), tidak dapat diberlakukan pada muamalah (sebab muamalah bukan benda, melainkan aktivitas manusia). kaidah fiqih tersebut bertentangan dengan nash hadits, yg menunjukkan bahwa para sahabat selalu bertanya lebih dahulu kepada Rasulullah SAW dalam muamalah mereka. Andaikata hukum asal muamalah itu boleh, tentu mereka tak perlu bertanya kepada Rasulullah SAW.

Sebagai contoh, perhatikan hadits yg menunjukkan sahabat bertanya kpd Rasul SAW dalam masalah muamalah :

عن حكيم بن حزام رضي الله عنه أنه قال قلت يا رسول الله إني أشتري بيوعاً فما يحل لي منها وما يحرم عَلي قال : فإذا اشتريت بيعاً فلا تبعه حتى تقبضه

Dari Hakim bin Hizam RA, dia berkata,”Aku bertanya,’Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagiku dan yang haram bagiku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Jika kamu membeli suatu barang, jangan kamu menjualnya lagi hingga kamu menerima barang itu.” (HR Ahmad).

Pada pendapat yang membolehkan dengan syarat tertentu artinya asuransi ini di syariahkan meskipun syarat itu terpenuhi tetap saja haram. Berdasarkan kritik yang dilakukan oleh KH. Siddiq Al-jawi terhadap asuransi syariah yang ada berdasarkan analisis beliau. Asuransi syariah memiliki setidaknya 6 penyimpangan yang terjadi pada asuransi syariah yang berjalan sekarang yaitu sebagai berikut :

Pertama, karena dalil-dalil yang digunakan tidak tepat, khusunya hadist Asy’ariyin dan hadis Abu Ubaidah bin Jarrah RA di atas. Pada kedua hadis tersebut, peristiwa bahaya terjadi lebih dahulu, baru kemudian terjadi proses ta’awun (tolong menolong). Sedang pada asuransi syariah, sudah diadakan akad ta’awun lebih dahulu, padahal peristiwa bahayanya belum terjadi sama sekali. Menurut Syaikh ‘Atha` Abu Rasyta, menggunakan hadis Asy’ariyin sebagai dasar asuransi syariah adalah istidlal yang keliru. (Ajwibatu As`ilah, tanggal 7 Juni 2010).

Kedua, karena terjadi penggabungan dua akad menjadi satu akad (multi akad). Padahal multi akad telah dilarang dalam syariah. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA bahwa Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (HR Ahmad, hadis sahih). Yang dimaksud “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi shafqah wahidah)” adalah adanya dua akad dalam satu akad (wujudu ‘aqdaini fi aqdin wahidin). 

Fakta menunjukkan bahwa pada asuransi syariah tanpa saving, terjadi penggabungan akad hibah dengan akad ijarah. Sementara pada asuransi syariah dengan saving, terjadi penggabungan akad hibah, akad ijarah, dan akad mudharabah.

Ketiga, karena tidak sesuai dengan akad dhaman (jaminan / pertanggungan) dalam Islam. Terdapat ketidaksesuaian dalam 3 segi sebagai berikut : 

(1) Dari segi karakter akad. Karakter akad dhaman adalah akad tabarru’ (bertujuan kebajikan / tolong menolong), bukan akad tijarah (bertujuan komersial). Sedangkan asuransi syariah hakikatnya bukan akad tabarru’, tapi akad tijarah, karena peserta mengharap mendapat klaim (dana pertanggungan) dan keuntungan dalam mudharabah. Jadi pernyataan bahwa Asuransi Syariah adalah akad ta’awun dan bukan akad mu’awadhah / tabaduli (pertukaran), tidak tepat dan tidak sesuai dengan faktanya.

(2) Ketidaksesuaian dengan akad dhaman juga dapat dilihat dari segi tidak sesuainya jumlah para pihak dalam akad. Pada akad dhaman (jaminan / pertanggungan), terdapat 3 pihak, yaitu : (1) yang menjamin/ penanggung (dhamin), (2) yang dijamin / tertanggung (madhmun anhu), dan (3) yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu).

Adanya tiga pihak tersebut didasarkan pada hadis Abu Qatadah RA bahwa kepada Nabi SAW pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau menshalatkannya. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya hutang?” Para Sahabat berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau bersabda, “Shalatkan teman kalian!” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku, wahai Rasulullah.” Nabi SAW pun lalu menshalatkannya. (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i dan al-Hakim). 

Dalam hadist tersebut ada tiga pihak; Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin) adalah Abu Qatadah RA. Kedua, pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun anhu) adalah jenazah. Ketiga, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) adalah orang yang memberi utang kepada jenazah.

Sementara itu dalam Asuransi Syariah, hanya ada dua pihak, bukan tiga pihak. Dua pihak tersebut adalah : Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin), yaitu para peserta semua; kedua, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) yaitu para peserta semua. Jadi dalam asuransi syariah tidak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun anhu).

(3) ketidaksesuaian ketiga dengan akad dhaman, dapat dilihat dari segi dhammu dzimatin ila dzimmatin, yakni penggabungan tanggungan satu pihak kepada tanggungan pihak lainnya. Dalam akad dhaman telah terjadi dhammu dzimatin ila dzimmatin, sebegaimana nampak pada hadis Abu Qatadah RA di atas, bahwa Abu Watadah telah menggabungkan dzimmah (tanggungan) si jenazah, kepada tanggungan diri Abu Qatadah RA itu sendiri. Jadi tanggungan yang wajib ditunaikan jenazah, berpindah menjadi tanggungan Abu Qatadah RA. Adapun dalam asuransi syariah, dhammu dzimatin (penggabungan tanggungan) itu tidak terjadi dan tidak ada. Karena ketika seorang peserta asuransi membayar premi, dia tidak sedang mempunyai tanggungan apa pun kepada siapa pun, yang wajib dia tunaikan. Jadi, asuransi syariah tidak sesuai dengan akad dhaman dalam Islam.  

Keempat, karena akad hibah (tabarru’) dalam Asuransi Syariah tidak sesuai dengan pengertian hibah itu sendiri. Sebab hibah dalam pengertian syar’i adalah pemberian kepemilikan tanpa kompensasi / pengganti (tamliik bilaa ‘iwadh). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Hibah, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 1169)
Sementara dalam Asuransi Syariah, peserta asuransi memberikan dana hibah, tapi mengharap mendapat kompensasi (‘iwadh / ta’widh), bukannya tidak mengharap. Jadi sebenarnya tidaklah tepat Asuransi Syariah dikatakan sebagai akad hibah, tapi harus jujur disebut sebagai akad investasi yang mengharapkan keuntungan !

Kelima, karena hibah (tabarru’) yang diberikan peserta dalam Asuransi Syariah, akan kembali kepada peserta itu (jika terjadi risiko atas suatu peristiwa yang ditanggung misal kebakaran) ditambah dengan hibah dari para peserta lainnya. Menurut kami ini haram hukumnya, sebab menarik kembali hibah yang telah diberikan hukumnya haram. (Yahya Abdurrahman, Asuransi dalam Tinjauan Syariah, hlm. 42).
Sabda Nabi SAW :
العائد في هبته كالكلب يعود في قيئه

“Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Keenam, karena telah terjadi gharar (ketidaktentuan, uncertainty) dalam Asuransi Syariah. Sebab peserta tidak tahu dengan jelas apakah betul perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola, ataukah sebagai pengelola sekaligus sebagai pemodal ketika perusahaan menginvestasikan kembali dana premi ke pihak ketiga, dan seterusnya. Peserta juga tak tahu dengan jelas ke mana perusahaan asuransi akan menginvestasikan dana yang ada, apakah ke bank, bank konvensional atau bank syariah, ataukah melakukan re-asuransi ke perusahaan asuransi berikutnya, dan seterusnya. Adanya gharar ini berarti menegaskan keharaman Asuransi Syariah yang ada saat ini.

Dari penyimpangan-pentimpangan ini maka semakin menguatkan pendapat yang menharamkan asuransi. Bahkan asuransi syariah itu sendiri terjadi penyimpangan yang tentunya itu melanggar ketentuan-ketentuan syariat Islam.

F. Kesalahan Islamisasi Asuransi

Kesalahan dari islamisasi asuransi ini adalah dari islamisasi asuransi itu sendiri. Karena pada zaman Rosulullah SAW. dulu tidak pernah ada yang namanya asuransi. Asurasni ini muncul dari barat artinya asuransi ini lahir dari sistem sekuler bukan dari Islam. Dimana asuransi ini di syariahkan sebagai jalan untuk menutup berbagai hal yang menjadikan asuransi itu tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Ketika semua hal yang lahir dari sistem sekuler-kapitalisme baik itu perbankan dan produknya dan juga termasuk asuransi di islamisasi. Maka, tidak akan pernah bisa lepas dari paradigma dasar dari mana semua itu muncul. Sehingga semua itu meskipun sudah di syariahkan masih saja tidak akan pernah sesuai dengan syariah. Asuransi sebenarnya terkait dengan jaminan terhadap kehidupan/kebutuhan hidup masyarakat. Sehingga banyak orang ikut dalam asuransi ini. Karena harapannya kehidupannya dimasa yang akan datang terjamin.

Masalah asuransi ini muncul dalam konteks sistem kapitalisme dimana peran Negara harus seminimal mungkin. Masalah asuransi ini tidak akan marak dalam kerangka sistem Islam. Hal itu karena Negara berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok tiap-tiap individu rakyat, dan menjamin pemberian kemungkinan kepada tiap orang untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuannya. Kebutuhan pokok yang wajib dijamin pemenuhannya oleh Negara untuk tiap individu rakyat adalah pangan, sandang dan tempat tinggal. Negara juga wajib menjamin langsung pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Dengan demikian tentu tidak akan diperlukan adanya asuransi pendidikan dan kesehatan karena pemenuhan pendidikan dan pelayanan kesehatan diberikan Negara secara gratis dan memadai kepada setiap individu rakyat. Begitu pula dengan diterapkan sistem Islam, peluang berusaha menjadi terbuka bagi setiap orang. Dalam ketentuan Islam, Negara berkewajiban memelihara segala urusan rakyat. Diantara pemeliharaan urusan rakyat itu, Negara memberi bantuan yang diperlukan oleh rakyat dalam menjalankan usaha baik modal, sarana, informasi atau lainnya. Jika hal demikian diterapkan, maka asuransi dengan berbagai jenisnya tidak menjadi sesuatu yang penting di tengah-tengah masyarakat.

Tambal sulam atau modifikasi asuransi yang ada agar Islami, tidak akan menyelesaikan permasahan yang ada secara tuntas. Jadi untuk mensolusi masalah asuransi secara tuntas tidak lain adalah dengan menerapkan syariah Islam dalam bingkai sistem Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyah ‘ala min hajinnubuwwah. Wallahu a’lam bishowah

G. Kesimpulan

Asuransi muncul pada tahun 250 SM oleh kaum Babilonia yang pada saat itu disebut akad pinjam –meminjam di atas kapal. Kemudian terus berkembang hingga sampai saat ini. Dan kemudian terjadi Islamisasi karena menurut pandangan syariat Islam akad asuransi ini mengandung riba, gharar dan maysir. Asuransi adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah. Sesuai dengan syariah maksudnya tidak mengandung riba, gharar dan maysir. 

Ada beberapa pendapat terkait dengan asuransi terbagi menjadi tiga yaitu pendapat yang membolehkan, mengharamkan, dan membolehkan dengan syarat tertentu. Pendapat yang yang paling rajih adalah pendapat yang  mengharamkan dengan alasan yang sudah dijelaskan di atas. Dengan demikian dari kajian terkait dengan asuransi syariah ini maka dengan tegas dapat dinyatakan bahwa asuransi syariah akadnya bathil (tidak sah) dan haram hukumnya.
  
H. Saran 

Oleh karena itu disarankan bagi para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam akad haram ini bertobat dan kembali kepada kebenaran (ruju’ ilal haq) dengan ikhlas, baik pemerintah, MUI, dunia bisnis asuransi, maupun masyarakat. Marilah kita bertaubat, sebelum kita menjadi makhluk tersesat dengan memakan harta yang bathil atas nama syariah ! Astaghfirullaahal’azhiem.

No comments:

Post a Comment