Masalah ketahanan pangan saat ini sedang menjadi sorotan setelah kebijakan pemerintah untuk melakukan impor beberapa tanaman pangan guna mencukupi kebutuhan dalam negeri. Isu yang cukup krusial dalam ketahanan pangan adalah soal ketersediaan. Saat ini perbandingan antara kapasitas produksi tanaman pangan dalam negeri dengan tingkat konsumsi tidak seimbang. Untuk beberapa tanaman pangan seperti beras, jagung, kedelai, gandum, selisih antara tingkat produksi dan konsumsi rata-rata mencapai 10 juta ton. Kekurangan produksi ini ditutup dengan impor yang volumenya terus meningkat tiap tahun, sehingga tingkat ketergantungan pangan Nasional secara keseluruhan terhadap impor adalah 12,9% (FAO, 2013)
Perubahan iklim, harga pangan dunia yang fluktuatif, tingkat konversi lahan pertanian ke non pertanian yang tinggi, insentif rendah bagi pelaku usaha tani merupakan beberapa faktor yang menyebabkan masalah ketersediaan pangan tak kunjung selesai. (Dokumen Agenda Riset Nasional, 2006). Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi telah merancang Agenda Riset Nasional dalam bidang Ketahanan Pangan. Ada beberapa tema riset utama, salah satunya adalah Peningkatan Kesejahteraan Petani dan Masyarakat Pedesaan.
Petani merupakan produsen tanaman pangan. Menurut data BPS pada Februari 2009, prosentase angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian jumlahnya mencapai 42,1%. Meskipun menyerap sebagian besar tenaga kerja, namun pendapatan di sektor ini tidak menjanjikan. Sebagian besar petani Indonesia hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha. Mereka inilah yang disebut dengan petani gurem (Dokumen Agenda Riset Nasional, 2006). Tidak mengherankan jika sebagian besar (63,5%) penduduk miskin Indonesia ada di pedesaan. (BPS, Maret 2009)
Salah satu tujuan riset dalam peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan adalah dengan menciptakan informasi (berbasis sms) untuk informasi pasar komoditas pertanian yang dapat di akses petani, peternak dan nelayan. Jika teknologi ini telah mampu disediakan untuk petani, maka pada tahun 2025 nanti diharapkan petani Indonesia sudah mempunyai system informasi pasar komoditas pertanian yang dapat diakses petani, peternak dan nelayan. Selain itu, tersedia pula system informasi iklim dan cuaca untuk basis penentuan musim tanam dan penangkapan ikan (Agenda Riset Nasional, 2006)
Menurut laporan Bank Dunia, beberapa Negara di Afrika dan Asia telah mengeluarkan kebijakan untuk menyediakan teknologi informasi ini kepada para petaninya. Dalam laporan yang berjudul, ‘Spreading the Wings: From Economic Growth to Shared Prosperity’, Bank Dunia menyebutkan bahwa penggunaanmobile phone pada petani di Mozambik, Kenya dan Uganda telah meningkatkan pendapatan petani. Hal ini disebabkan, petani di Negara-negara tersebut sudah memiliki informasi tentang harga, cuaca, dan beberapa informasi pertanian lainnya. Dengan dimilikinya, informasi tersebut, petani punya bargaining power untuk menentukan harga jual (The East and Southeast Africa Agriculture Network, 2013).
Temuan serupa juga terjadi di India, yakni sekitar 53% rumah tangga telah memiliki mobile phone. Mobile phone atau yang lebih dikenal dengan istilah handphone ini, selain menyediakan layanan dasarnya juga menyediakan informasi seputar pertanian. Petani di India melalui telepon seluler yang dimiliki dapat langsung mengakses informasi tentang pupuk, cuaca, musim panen dan harga. Melalui telepon seluler ini pula, para petani bisa saling bertukar informasi. Karena kondisi ini, petani di India pun mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan. (The Guardian, 2012)
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Asosiasi Telekomunikasi Indonesia, pada tahun 2011, jumlah pelanggan telepon seluler di Indonesia mencapai lebih dari 240 juta pelanggan pada akhir tahun 2011 lalu, naik 60 juta pelanggan dibanding tahun 2010 (Nugraha, 2012). Tingginya angka penggunaan telepon seluler ini sayangnya tidak berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan petani. Meskipun saat ini pemerintah pun telah mengeluarkan program Internet Masuk Desa, hal tersebut juga belum cukup efektif untuk memberi insentif bagi petani.
Mensejahterakan petani bukan hanya tentang meningkatkan pendapatan sekelompok masyarakat. Namun petani adalah salah satu elemen penting dalam mata rantai kedaulatan pangan. Jika pemerintah mampu menciptakan sebuah kebijakan yang mendorong perbaikan kehidupan petani, maka produktivitas pertanian akan meningkat. Dengan demikian, kapasitas produksi akan mampu mengimbangi laju kebutuhan pangan penduduk. Kini, teknologi sudah tersedia, saatnya bagi seluruh elemen bangsa bekerja bersama-sama untuk memperbaiki wajah pertanian nasional. (NI)
Referensi:
Dokumen Agenda Riset Nasional 2010-2014
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Bidang Ketahanan Pangan. 2006. Buku Putih, Indonesia 2005-2025.
The Guardian. 2012. Empowering Farmers Through SMS. Diakses dari http://www.guardian.co.uk/global-development-professionals-network/2012/nov/27/farmers-mobile-phones-sms-agriculture
No comments:
Post a Comment