Demikian kutipan salah satu point penting kesimpulan dalam seminar nasional Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan Plasma Nutfah Satwa Nusantara, yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Bogor, Rabu.
Seminar yang menghadirkan sejumlah pembicara di antaranya Dr. Lily Prijono (Puslit Biologi LIPI) Dr.Noviar Andayani (UI/Per) Prof. Dr. Ir. Muladno (Himpunan Ilmuwan Peternakan Indonesia) Prof. Dr. Ir. Kusuma Diwyanto (Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia; Komnas SD Ternak Lokal) menyimpulkan bahwa puluhan rumpun ternak asli Indonesia dan ratusan rumpun ternak yang telah teradaptasi dengan kondisi lokal Indonesia merupakan potensi besar sebagai penyedia bahan baku pangan dan bahan baku industri di Indonesia.
Lebih lanjut kutipan kesimpulan seminar nasional koservasi dan pemanfaatan berkelanjutan plasma nutfah satwa nusantara dipaparkan oleh Sekretaris AIPI Tati Subagyartati yang menyebutkan, dari potensi fauna yang begitu besar, yang dibudidayakan untuk manfaat kepentingan peri kehidupan bangsa Indonesia baru sebahagian saja, seperti yang sudah dilakukan sejak zaman Majapahit yaitu ikan bandeng dan domestikasi ikan tambra atau ikan kancra atau ikan batak (Labeobarbus tambriodes) yang dilakukan oleh keluarga batak di Sumatra.
"Banyak yang belum dimanfaatkan untuk tujuan produksi maupun perbaikan mutu genetik bangsa-bangsa satwa seperti banteng liar yang merupakan "stock" bibit masa depan," katanya.
Ia menyebutkan, dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak sebagai penyedia bahan baku pangan, kebijakan pemerintah dalam memanfaatkan teknologi inseminasi buatan selama puluhan tahun dengan menyilangkan ternak asli dan ternak lokal (khususnya sapi) dengan ternak exotic (impor) telah berhasil meningkatkan produksi daging dan susu secara nasional.
Namun demikian, lanjut dia, karena implementasi program persilangan tidak dilakukan secara terencana dan terarah, perhatian terhadap mutu genetik ternak lokal Indonesia sangat rendah karena banyak pihak mengklaim bahwa ternak hasil persilangan selalu lebih besar dan lebih menguntungkan secara ekonomis daripada rumpun ternak lokal.
"Demikian juga untuk implementasi teknologi transfer embrio," ujarnya.
Selanjutnya ia mengatakan, karena hampir semua komoditas ternak asli atau lokal di Indonesia tidak atau kurang diperhatikan, usaha perbibitan ternak lokal kurang dikembangkan sehingga tidak tersedia ternak berkualifikasi bibit dalam jumlah besar.
Bahkan untuk komoditas sapi dan kerbau, tidak ada satu ekor pun yang dapat dikategorikan sebagai bibit karena tidak adanya catatan asal-usul dan catatan produktivitasnya secara genetik.
Sebaliknya, kata dia, mutu genetik ternak lokal terus menurun dan beberapa rumpun ternak berstatus langka, kritis, dan hampir punah.
Lebih lanjut ia mengatakan, selain karena sebagian besar ternak lokal dikelola peternak berskala kecil sebagai usaha sampingan, kemunduran mutu genetik sumberdaya genetik ternak juga disebabkan karena perilaku eksploitatif manusia yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi tanpa mempedulikan keberlanjutannya, atau karena bencana alam dan keadaan darurat, epidemi penyakit hewan termasuk zoonosis.
"Untuk penyebab yang dapat dikontrol, perlu ada upaya pencegahan kemerosotan mutu genetik ternak lokal," katanya.
Dikatakannya, pemanfaatan bioteknologi molekuler untuk perbaikan mutu genetik ternak lokal kurang efektif karena tidak tersedianya data produksi dan reproduksi pada hampir semua komoditas ternak sebagai akibat tidak adanya usaha perbibitan ternak yang dikelola secara professional dalam populasi besar.
Usaha perbibitan ternak yang dilakukan peternak berskala kecil memiliki banyak kelemahan di hampir semua aspek usaha.
Menyadari bahwa konservasi biodiversitas yang mengoptimalkan pemanfaatan ternak lokal dengan memperhatikan pelestariannya mutlak diperlukan, lanjut Tati, maka diperlukan, program perbibitan ternak lokal harus digencarkan dengan memberikan insentif agar lebih atraktif bagi pelaku usaha untuk menanamkan modalnya di bidang tersebut mengingat usaha perbibitan memerlukan investasi besar dengan perputaran keuntungan lamban serta resiko yang tidak kecil.
Usaha perbibitan ternak yang telah dilakukan pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT Pusat) dan UPT Daerah perlu lebih mengutamakan rumpun ternak asli atau lokal serta perlu ditata ulang agar dapat menjadi rujukan masyarakat dalam menghasilkan bibit yang benar.
"Berbagai kebijakan pemerintah yang sejalan dengan arah pengembangan bibit ternak lokal perlu disosialisasikan ke masyarakat dengan memberi dukungan dan fasilitasi yang memberi keuntungan semua pihak dalam rangka menghasilkan bibit ternak lokal secara berkelanjutan. Selain itu, komitmen pemerintah untuk menjalankan semua kebijakan yang telah disusunnya perlu dijamin konsistensinya," kata dia.
Upaya lainnya, lanjut Tati, sebagai bagian dari kegiatan sosial budaya kemasyarakatan, upaya konservasi biodiversitas ternak lokal dapat dilakukan melalui kebijakan pewilayahan sumber bibit bagi ternak berstatus aman dan kebijakan pelestarian bagi ternak berstatus tidak aman, yang kedua kebijakan tersebut juga memperhatikan agroekosistemnya dalam menentukan penetapannya.
"Selain itu, Etnozoologi dan Perubatanetno (ethnomedicine) satwa harus menjadi perhatian kita (jenis-jenis ular, serangga, dan lainnya yang mempunyai bisa yang sekarang dipakai obat; dalam kaitan ini harus diupayakan adanya Bank Genom dan kriopreservasi mulai dari DNA sampai sperma dan embrio dari satwa liar, satwa domestikasi maupun ternak," katanya.
Sedangkan dari segi pemanfaatan satwa primata sebagai dalam penelitian biomedis secara lestari, lanjut Tati maka penting melakukan penangkaran sp Indonesia sebagai pendukung kegiatan penelitian biomedis dan penelitian menggunakan sp Indonesia mendukung konsep penyediaan hewan laboratorium mendukung rantai evaluasi "dari laboratorium ke percobaan klinik".
Tati menambahkan, untuk lebih mengefektifkan kegiatan konservasi sinergi antara pemerintah, akademisi atau peneliti, pelaku usaha, dan komunitas mutlak diperlukan dengan memainkan peran masing-masing pihak tersebut sesuai dengan kompetensi dan tanggungjawabnya dalam kerangka visi yang sama untuk melestarikan dan memanfaatkan biodiversitas ternak asli atau lokal secara optimal dan berkelanjutan.
"Belajar dari kegiatan konservasi biodiversitas ternak asli atau lokal Indonesia, ke depan bangsa Indonesia harus lebih mengedepankan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digali dari kekayaan bangsa Indonesia sendiri untuk kemajuan manusia Indonesia dalam berkompetisi secara internasional di komunitas global," katanya.
No comments:
Post a Comment